Tidak sulit mencari adanya keterkaitan pemikiran Bung Karno dengan Marxisme. Bung Karno sendiri mengatakan bahwa ideologi Marhaenisme yang menjadi buah pikirnya merupakan marxisme yang diselenggarakan, dicocokkan dan dilaksanakan di Indonesia (Sjamsudin, 1984).
Selain korelasi antara Marhaenisme dan Marxisme yang sudah diulas oleh banyak kalangan, tak ada salahnya bila kita menyimak beberapa ‘persinggungan’ pemikiran Bung Karno dengan Marxisme.
‘Perjumpaan’ Bung Karno dengan paham Marxisme terjadi ketika beliau masih menuntut ilmu di HBS, sekolah menengah era Hindia Belanda. Ketika itu Bung Karno mengenal Marxisme dari seorang guru HBS yang berhaluan sosial-demokrat (sosdem), C.Hortogh (Soyomukti, 2008).
Pada masa bersekolah di HBS itu, putra sang fajar ini tinggal di rumah tokoh Sarekat Islam (SI), H.O.S Cokroaminoto. Dan di rumah itu pula sering diadakan diskusi diantara para tokoh pergerakan mengenai berbagai hal terkait perjuangan pergerakan nasional.
Beberapa diantara tokoh pergerakan itu ada yang barideologi Marxis, yakni Muso dan Alimin. Dari kedua orang ini, Bung Karno juga mengenal Marxisme secara mendalam (Soekarno, 1966).
‘Kegandrungan’ Soekarno muda pada Marxisme tampak ketika ia mengatakan dalam buku autobiografinya yang berjudul Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat (1966): “..pada waktu muda-mudi yang lain menemukan kasihnya satu sama lain, aku mendekam dengan Das Kapital.”
Das Kapital merupakan salah satu karya besar Karl Marx selaku pencetus Marxisme, yang mengupas secara mendalam mengenai kontradiksi dalam sistem produksi kapitalisme.
Kekagumannya terhadap Marxisme juga terlihat dalam artikelnya yang berjudul Memperingati 50 Tahun Wafatnya Karl Marx, yang dimuat dalam koran Fikiran Ra’jat terbitan tahun 1933. Dalam artikelnya tersebut, Bung Karno mengemukakan kekagumannya pada Karl Marx.
Berikut ungkapan kekaguman Bung Karno terhadap filsuf asal Jerman tersebut :
“Dari muda sampai wafatnya, manusia yang hebat ini tiada henti-hentinya membela dan memberi penerangan pada si miskin, bagaimana mereka itu sudah menjadi sengsara, dan bagaimana jalannya mereka itu akan mendapat kemenangan: tiada kesal dan capeknya ia bekerja dan berusaha untuk pembelaan itu: selagi duduk di atas kursinya, di muka meja tulisnya, begitulah ia pada 14 Maret 1883…melepaskan nafasnya yang penghabisan.”
Dalam artikel yang sama, Bung Karno juga menggagas ‘perkawinan’ antara paham nasionalisme di dunia Timur dengan Marxisme, sehingga melahirkan nasionalisme baru, suatu ilmu baru, satu iktikad baru, satu senjata perjuangan yang baru dan satu sikap hidup yang baru (Soekarno, 1964).
Tak hanya itu, dengan mengadopsi analisis Marx tentang nilai lebih dalam hubungan industrial kapitalisme, Bung Karno menganjurkan kaum buruh Hindia untuk melawan dan menghilangkan tiap stelsel kapitalisme, serta menggantikannya dengan stelsel produksi yang sama rata sama rasa.
Dalam artikel berjudul Bolehkah Serikat Sekerdja Berpolitik? yang ia tulis pada tahun 1933 serta dimuat di Fikiran Ra’jat, ia menegaskan:
“..antara ‘modal’ dan ‘kerja’ adalah suatu pertentangan hakekat, suatu antitesa yanng tidak bisa dihapus , walaupun oleh kepandaiannya para profesor-profesor botak dari segala sekolahan-sekolahan tinggi. Antara ‘modal dan ‘kerja itu ada tabrakan kebutuhan, oleh karena ‘modal’ itu, sebagaimana secara terang-benderang diterangkan oleh teori dialektika, meerwardee, Verelendung d.l.s, adalah hidup daripada kerja, menguruskan kerja. Oleh karena itu, maka benar sekalilah putusan kongres kaum buruh Surabaya, bahwa pergerakan sekerja harus melawan tiap stelsel kapitalisme, menghilangkan tiap stelsel kapitalisme, mengejar stelsel produksi yang sama rata sama rasa.”
Pengaruh Marxisme terhadap pemikiran Bung Karno yang begitu kental membuat seorang tokoh pergerakan nasional, Dr. Tjipto Mangunkusumo, mengatakan dalam sebuah koran yang bernama Hong Po (1941) bahwa Marxisme telah “membakar Soekarno punya djiwa”.
Di awal era Demokrasi Terpimpin, Bung Karno kembali mengutarakan pujiannya pada ajaran Karl Marx. Kali ini, ia memuji salah satu karya Marx, Manifesto Komunis, dalam pidato kenegaraan memperingati HUT Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1959 yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”.
Berikut petikan pidato tersebut :
“Siapa, kalau ia benar-benar manusia, dan bukan makhluk tanpa arah, yang membantah kebenarannya benang merah dalam ‘Manifesto Komunis’, bahwa sebagian besar umat manusia ini ditindas, di”onderdrukt”dan di-uitgebuit oleh sebagian yang lain, sehingga akhirnya kaum proletar tak akan kehilangan barang lain daripada rantai belenggunya sendiri. Mereka sebaliknya akan memperoleh satu dunia baru. Hai proletar di dunia, bersatulah!
Kalimat-kalimat atau intisari fikiran yang demikian itu mengandung kebenaran-kebenaran yang tak boleh diragu-ragukan atau diamendir. Dasar jiwanya adalah Budi-Kemanusiaan, Hati Nurani Kemanusiaan, Het Geweten van de mens, “The Conscience of Man’. Ia bukan piagam yang hanya mengenai satu bangsa saja, seperti misalnya Magna Charta-nya orang Inggris. Ia bukan pakta antara beberapa negara yang berkuasa saja, seperti misalnya Atlantic Charter. Ia bukan satu dasar untuk menyusun sesuatu Pax daripada suatu negara, seperti Pax Britanica, atau Pax Romana atau Pax Americana, atau Pax Sovietica, tidak! Ia adalah dasar untuk menyusun Pax yang meiliputi seluruh kemanusiaan, yaitu Pax Humanica, Paxnya seluruh makhluk manusia yang mendiami bumi ini.”
Dalam cuplikan pidato tersebut, Bung Karno secara tegas mengakui bahwasanya Manifesto Komunis yang menjadi salah satu inti dari Marxisme merupakan buah pikir yang mengandung nilai universal. Dan, hal tersebut beliau nyatakan dalam sebuah pidato kenegaraan yang dibacakan dalam event ‘sakral’, yakni peringatan kelahiran Republik Indonesia! Suatu hal yang tak akan mungkin terjadi pada era Orde Baru hingga reformasi kini.
Begitulah sekelumit pandangan Bung Karno mengenai Marxisme, yang juga menggambarkan besarnya pengaruh Marxisme dalam pemikiran Bung Karno selaku founding fathers negeri ini. Namun, salah satu ideologi yang berpengaruh pada pemikiran Bung Karno ini telah dilarang hidup dan berkembang di negeri ini sejak tahun 1966. Pada tahun yang sama, Bung Karno dilucuti otoritasnya sebagai Presiden oleh militer sayap kanan pimpinan Soeharto. Dan sejak itu pula, Indonesia terkungkung dalam ‘terali besi’ penjajahan gaya baru.
Hiski Darmayana, kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid