Laporan Pendidikan Anggota PRD Di Makassar: Pentingnya Pendidikan Politik Bagi Rakyat

DALAM benak Ibu Sarmiah, 35 tahun, setiap partai politik seharusnya dekat dan bekerja di tengah-tengah rakyat. Dalam setiap pemilu, Ibu Sarmiah selalu menggunakan hak pilihnya dan berharap suaranya bisa diperjuangkan.

Sayang sekali, kata Ibu Sarmiah, partai politik itu banyak yang lupa kepada rakyat ketika sudah mengecap kekuasaan. “Kami hanya dijadikan mesin suara pada setiap pemilu, lalu melupakan kami ketika berkuasa,” kata ibu rumah tangga ini.

Ibu Sarmiah adalah aktivis Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI). Ketika bersentuhan dengan organisasi pembela rakyat miskin itu, Ibu Sarmiah mulai berkenalan dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD). “Saya baru tahu kalau ada partai yang namanya PRD. Mereka turun langsung mengadvokasi orang miskin,” kenangnya.

Tanpa menunggu lama lagi, sesaat setelah mendengar kabar perekrutan anggota PRD, Ibu Sarmiah langsung mendaftarkan diri. Bersama Nurbaya, kawannya, ibu Sarmiah mendatangi kantor PRD.

Arham Tawarrang, ketua komite pimpinan kota PRD Makassar, mengatakan jumlah orang yang mendaftar di gelombang perekrutan pertama cukup banyak. “Ada 70-an orang yang mendaftarkan diri di kantor kami.”

Dalam kongresnya baru-baru ini, awal maret tahun 2010, PRD memutuskan untuk menjadi partai terbuka. Dengan keputusan baru tersebut, PRD membuka pintu selebar-lebarnya bagi setiap rakyat Indonesia untuk bergabung.

***

Setelah melakukan persiapan selama dua minggu, PRD kota Makassar pun menggelar pendidikan terbuka. Pendidikan terbuka ini digelar di gedung BPSDMA, di jalan Andi Pettarani, Makassar, dari tanggal 2 hingga 3 April 2011.

Lima-puluhan orang mengikuti pendidikan itu. Sebagian besar mereka berasal dari mahasiswa, kaum miskin kota, pedagang, dan organisasi daerah. Beberapa calon peserta berhalangan hadir karena hujan dan karena ada urusan tiba-tiba.

Mace’, seorang pedagang asongan di pantai losari, memimpin para peserta pendidikan menyanyikan lagu kebangsaan “Indonesia Raya”. Setelah itu, Arham Tawarrang, selaku ketua PRD kota Makassar, memimpin peserta untuk menyanyikan “mars PRD”.

Di atas mimbar yang tidak terlalu besar dan sudah dibalut dengan bendera PRD, pimpinan-pimpinan partai menyampaikan pidato sambutan. Nizar, ketua panitia acara, menceritakan bagaimana acara ini dipersiapkan.

Arham Tawarrang, yang berpidato di urutan pembuka, menjelaskan bahwa pendidikan politik merupakan sarana penting bagi massa rakyat untuk mengenal apa itu politik dan bagaimana mengubah keadaan.

“Siapa bilang politik itu hanya miliknya orang berkuasa, atau mereka yang berduit. Politik itu adalah seni berjuang dan mengelola kekuasaan untuk kepentingan mayoritas rakyat. Itulah politik kita, politik kerakyatan,” kata Arham dengan nada berapi-api.

Pada pidato sambutan berikutnya, giliran Wahida, seorang kader PRD yang bekerja di sektor kaum miskin kota, menyampaikan pidato berkobar-kobar. Ia menjelaskan pentingnya kaum miskin kota terlibat dalam gerakan politik, tidak sekedar berkutak pada persoalan sosial-ekonomi.

“Sebagian besar yang mempengaruhi kehidupan sosial-ekonomi kita adalah kebijakan politik. Jika kaum miskin bisa mengambil peran dalam memutuskan kebijakan, maka kita bisa menggunakannya untuk kesejahteraan mayoritas,” katanya.

Dalam perjuangan politik itulah, kata Wahida, sektor-sektor terpinggirkan bisa mengekspresikan kepentingan sosialnya. “Partai politik yang paling tepat untuk dipilih bagi kaum miskin dalam perjuangan politiknya adalah Partai Rakyat Demokratik.”

PRD, kata Wahida, sangat berbeda dengan partai-partai politik pada umumnya, terutama karena partai ini bekerja langsung di tengah massa rakyat. “Yang mengadvokasi ibu-ibu, bapak-bapak, anak putus sekolah, korban gusuran itu adalah kader-kader PRD.”

Di bagian akhir sambutan, Babra Kamal, ketua Komite Pimpinan Wilayah PRD Sulsel, menyampaikan pesan singkat tapi padat. Menurutnya, kalaupun ada orang yang belum percaya bahwa PRD serius menganut azas pancasila, maka mereka itu akan segera insyaf bahwa PRD-lah partai yang mengamalkan pancasila secara tepat dan konsisten.

***

Pada hari pertama pendidikan PRD di makassar, ada dua materi yang diturunkan: sejarah PRD dan tentang pancasila (azas PRD).

Anshar Manrulu, kader PRD yang cukup lama memimpin partai di sulsel, ditunjuk untuk membawakan materi sejarah PRD. “Saya berharap, materi ini akan mengenalkan sekilas sejarah PRD kepada kawan-kawan sekalian,” katanya.

Anshar berbicara hanya sejam lebih. Selebihnya, dia meminta peserta untuk lebih partisipatif dalam bersdiskusi. Akhirnya, begitu kesempatan bertanya diberikan, beberapa peserta langsung unjuk tangan.

Geetha Indah, seorang mahasiswi dan sekaligus aktivis kampus, mempertanyakan kenapa PRD beraliansi dengan Partai Bintang Reformasi (PBR), partai yang dikategorikan partai borjuis oleh banyak kalangan kiri di Indonesia, saat pemilu 2009 lalu.

Untuk menjawab pertanyaan itu, Anshar memulainya dengan mengacu kepada sebuah putusan kongres PRD. Dalam kongres ke-VI PRD, kata Anshar, diputuskan bahwa partai akan mengintervensi pemilu dengan alat sendiri atau front persatuan.

Tetapi, dalam perjalannya kemudian, PRD berhadapan dengan sejumlah hambatan subjektif dan objektif. “Secara subjektif proses penstrukturan partai masih sulit untuk bisa memenuhi kebutuhan lolos verifikasi, sedang hambatan objektifnya adalah adanya RUU parpol yang mempersulit parpol baru,” katanya.

Belum lagi, kata alumnus fakultas sastra Unhas ini, serangan dan teror terhadap struktur papernas-partai elektoral bentukan PRD untuk ikut pemilu 2009- di berbagai daerah sangat intensif, meskipun dianggap hal itu bukan hambatan pokok.

“Meskipun bekerjasama dengan partai lain, tetapi PRD sendiri tidak pernah kehilangan independensinya sebagai partai yang sedang berjuang melawan imperialisme. Dalam ajang pemilu itu, kader-kader PRD berkampanye habis-habisan melawan neoliberalisme,” katanya.

Pertanyaan lainnya datang dari Makbul, aktivis Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), yang mempertanyakan sepak terjang PRD dalam pemilu 1999.

Menurut Anshar, yang saat itu sudah menjadi kader PRD, sikap partai pada saat itu memang seolah-olah mendua: satu sisi, menyerukan kepada massa untuk mencoblos PRD, tetapi pada sisi lainnya, ada seruan untuk memboikot pemilu.

Sikap itu, kata Anshar, sangat mempengaruhi kemaksimalan partai dalam memanfaatkan ruang politik legal saat itu. Tetapi, dalam ingatan Anshar, sebagian pimpinan PRD juga masih dalam penjara, sehingga memang sangat sulit memaksimalkan taktik pemilu saat itu. “Sebagian pimpinan partai masih dalam penjara saat itu.”

Salah seorang peserta lainnya-lupa namanya-mengajukan pertanyaan mengenai kapan PRD akan ikut pemilu dan bagaimana mekanisme pencaleg-kannya.

“PRD maju sebagai partai sendiri tentu masih sulit. Untuk pemilu 2014, kita akan memanfaatkan kendaraan politik lain. Tetapi, dengan party-bulding sekarang ini dan kedepan, kita bisa menjadi kontestan sendiri dalam pemilu 2019,” katanya.

Disinggung oleh Anshar, bahwa dalam urusan pengajuan caleg, PRD akan memprioritaskan kader-kader dan anggotanya. Tetapi, PRD juga tidak akan menutup pintu bagi calon-calon dari luar partai, sepanjang si calon tersebut sejalan dengan garis politik dan tunduk kepada mekanisme organisasi di partai.

Selanjutnya, setelah materi sejarah PRD berhasil dituntaskan, tiba giliran untuk mendiskusikan pancasila sebagai azas PRD. Wahida, yang juga ketua DPW SRMI Sulsel, ditunjuk untuk membawakan materi ini.

Uniknya, sebelum memulai materi diskusi soal pancasila, para peserta berdiri dan menyanyikan lagu “garuda pancasila”. Dalam menjelaskan soal Pancasila ini, Wahida banyak merujuk pada pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945, sekaligus menjelaskan persamaan kepentingan antara kaum nasionalis, islamis, dan marxis untuk melawan imperialisme.

“Inilah azas-azas yang dipeluk oleh pergerakan-pergerakan rakyat di seluruh Asia. Inilah faham-faham yang menjadi roh-nya pergerakan-pergerakan di Asia itu. Roh-nya pula pergerakan-pergerakan di Indonesia-kita ini,” kata Wahida yang mengutip perkataan Bung Karno.

Tiba-tiba, di tengah Wahida sedang menjelaskan materinya, seorang peserta tiba-tiba unjuk tangan. “Siapa tokoh yang pertama-kali mengusulkan Pancasila itu?” tanya Pak Usman dengan muka serius. Wahida menjawab tangkas, “Kalau menurut saya, yang pertama kali mengusulkan adalah Bung Karno. Tetapi, ada juga yang bilang Mohammad Yamin dan Supomo.”

Kalau dilihat dari keseluruhan gagasan di dalam pancasila, kata Wahida, maka itu sangat dekat dengan gagasan-gagasan Bung Karno. “Pancasila itu dapat diperas menjadi tiga, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Sosio-nasionalisme, dan Sosio-demokrasi.”

“Wah, Bung Karno ini adalah orang yang sangat hebat ya. Sayang sekali, baru di PRD ini kami mengenal banyak sosok Bung Karno ini,” kata ibu Johari, 45 tahun, secara spontan saat diskusi masih berlangsung.

Wahida menjelaskan, Pancasila pernah diselewengkan di masa orde baru, terutama dengan menjadikan pancasila sebagai sebatas dogma untuk memaksa seluruh kekuatan politik tunduk kepada rejim Soeharto.

Sekarang ini, lanjut Wahida, para penyelenggara negara juga berusaha mengubur Pancasila. “Jika pemimpin nasional itu mengamalkan Pancasila, maka tidak ada yang namanya penggusuran paksa, tidak ada biaya pendidikan dan kesehatan mahal, tidak ada korupsi, dan tidak ada rakyat yang dibiarkan miskin,” katanya.

***

Pada hari kedua, jadwal pendidikan dibuat lebih awal karena ada tiga materi yang harus dituntaskan: Bung Karnoisme, Manifesto PRD, dan kesekretariatan dan administrasi.

Babra Kamal, ketua KPW PRD Sulsel, membawakan materi mengenai Bung Karnoisme. Ia memulainya dengan menjelaskan latar-belakang pemikiran Bung Karno. “Ketika belajar di Surabaya dan tinggal di rumah HOS Tjokroaminoto, Bung Karno banyak belajar kepada bapak pendiri Sarekat Islam (SI) itu dan juga kepada tokoh-tokoh gerakan yang rajin berkunjung ke rumah Tjokroaminoto.”

Ketika Bung Karno sekolah HBS di Bandung, kata Babra, ia kembali bertemu dengan gagasan-gagasan sosial-demokrat dan nasionalisme radikal. “Di Bandung, Bung Karno menemukan semangat lain, bukan hanya karena mendengar ceramah-ceramah orang-orang sosialis demokrat macam J.E. Stokvis dan C. Hartogh, tetapi juga karena mendapat siraman radikalisme dari tokoh-tokoh pergerakan Indische Partij, seperti Tjipto Mangkunkusumo dan Douwes Dekker.”

Setelah menjelaskan latar-belakang pemikiran, Babra mulai menjelaskan tulisan Bung Karno: Marxisme, nasionalisme, dan Islamisme, pada tahun 1921. Ia juga menjelaskan bagaimana Bung Karno merumuskan Marhaenisme. “Marhaenisme adalah marxisme yang diterapkan dalam situasi Indonesia,” kata Babra Kamal.

Makbul, aktivis LMND Makassar, mempertanyakan kenapa Bung Karno ditunjuk sebagai presiden, bukannya Tan Malaka. “Jika kita lihat gagasan Tan Malaka, maka mestinya dia bisa ditunjuk sebagai presiden,” katanya.

Dalam buku Revolusi Agustus, Soemarsono menjelaskan bahwa pada awalnya para pemuda menyepakati Amir Syarifuddin sebagai presiden, tetapi yang bersangkutan sedang dipenjara Jepang saat itu.

Akhirnya, melalui kesepakatan para pemuda, pilihan jatuh kepada Syahrir, yang saat itu juga memimpin gerakan bawah tanah melawan fasisme. Ketika delegasi mendatangi rumah Syahrir, terjadi perdebatan yang sangat sengit. Syahrir menyatakan tidak bersedia, dan malah merekomendasikan nama Bung Karno.

Tidak mau kalah, Daeng Puji, seorang aktivis SRMI, mempertanyakan metode politik apa yang dipergunakan Bung Karno untuk menyatukan tiga kekuatan: Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme.

Menjawab pertanyaan itu, Babra menjelaskan bahwa Bung Karno berusaha menarik persamaan kepentingan ketiga aliran politik itu, yaitu mencapai Indonesia merdeka. Dengan persamaan kepentingan itu, tidak ada alasan bagi masing-masing aliran politik untuk menolak proposal persatuan. “Soekarno sangat konsisten dengan persatuan tiga kekuatannya itu,” kata alumnus Fakultas Perikanan Unhas ini.

Karena alasan waktu, Babra pun meringkas materinya dan menyatakan bahwa diskusi informal bisa dilakukan untuk menjawab pertanyaan yang belum terjawab. Ia pun aktif mengajak ibu-ibu dan peserta lain berdiskui saat istirahat.

Materi selanjutnya adalah Manifesto PRD, yang dibawakan oleh Arham Tawarrang. Arham menjelaskan garis-garis umum dari manifesto PRD ini, seperti sejarah terbentuknya nasion Indonesia, situasi dunia saat ini, apa problem pokoknya, siapa kawan dan lawan dalam perjuangan saat ini, apa programnya, dan seperti apa metode perjuangannya.

Ketika sesi tanya-jawab dimulai, seorang aktivis LMND, Chiko, mempertanyakan apa pengertian manifesto. Arham pun dengan tangkas menjawab, “Manifesto adalah pernyataan politik terbuka dari sebuah kelompok, organisasi, atau partai.”

Pertanyaan lainnya datang dari Ilham, yang sehari-harinya berprofesi sebagai pedagang pisang epe, tentang sikap PRD terhadap feodalisme. Menurutnya, feodalisme adalah corak produksi lama yang di dalamnya terdapat dua kelas yang antagonistik: tuan feodal versus hamba tani.

Dengan perkembangan corak produksi kapitalisme saat ini, kata Arham, maka corak produksi feodalisme pun mulai tergantikan. “Sekarang tinggal sisa-sisa feodalisme di lapangan budaya. Dan, PRD sangat menentang sisa-sisa feodalisme tersebut.”

PRD, menurut Arham, merumuskan tahap revolusi sekarang ini sebagai nasional demokratis, yaitu bersih dari kolonialisme dan imperialisme, juga menghancurkan sisa-sisa feodalisme.

Di materi terakhir, yaitu soal administrasi dan AD/ART, Nurjaya, selaku pembawa materi, hanya menjelaskan sekilas mengenai cara kerja organisasi partai.

Rata-rata pertanyaan anggota adalah seputar organisasi dan kedisiplinan. Soal kerapian, misalnya, seorang anggota bertanya, “Apakah setiap kader dan anggota PRD harus tampil rapi?” Nurjaya pun menjawab, “Soal kerapian itu tidak diatur di dalam konstitusi, tetapi disarankan agar setiap anggota partai berpakaian rapi ketika di kantor dan saat bertemu dengan massa.”

***

Usman, anggota PRD yang bekerja sebagai pedagang pisang epe, mengaku mendapatkan pelajaran sangat berharga dari pendidikan ini. “PRD telah mengajarkan kepada kami banyak hal,” katanya.

Kesan yang sama juga dirasakan oleh Ibu Sarmiah, dari Rapokalling, bahwa pendidikan tersebut telah memberinya banyak pengetahuan baru. Hanya saja, menurut ibu Sarmiah dan banyak peserta lainnya, pemberian materi jangan terlalu banyak menggunakan istilah ilmiah.

“Kalau istilah neoliberalisme dan kapitalisme kami sudah paham, tetapi banyak istilah lain yang kami belum faham. Maklum, kami ibu rumah tangga yang jarang mendengar istilah-istilah itu,” katanya.

Keduanya pun berharap agar PRD memperbanyak pendidikan seperti ini. “Kalau perlu, setiap kampung dibuatkan pendidikan massal seperti ini,” katanya.

Ibu Sarmiah pun melontarkan keinginannya untuk mengikuti pendidikan lanjutan PRD.

“Kalau ada pendidikan lanjutan, saya mau mendaftarkan diri dan ikut lagi,” kata Ibu Sarmiah berharap.

Kedepan, Ibu Sarmiah dan Usman berharap agar PRD bisa berkembang dan menjadi salah satu kekuatan politik besar di Indonesia. “Semakin banyak orang yang bergabung dengan PRD, maka jalan untuk menyelesaikan persoalan rakyat juga akan semakin terbuka lebar,” katanya.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid