Kutukan Eskpor Bahan Mentah Dan Utang

Kondisi ekonomi Indonesia makin darurat. Mata uang rupiah makin tertekan. Hari ini, Kamis (2/8), pukul 08.36 WIB, nilai tukar rupiah di pasar spot nyaris menembus Rp 11.000 per dollar Amerika Serikat (USD),-. Situasi ini benar-benar mengkhawatirkan.

Ada dua faktor utama yang menyebabkan kejatuhan rupiah tersebut. Pertama, defisit neraca pembayaran yang kian membesar. 1) Ini dipicu oleh penurunan ekspor kita. Untuk diketahui, hampir 70% ekspor kita adalah bahan mentah, sementara pasar komoditas dunia sedang mengalami penurunan. 2) Sementara itu, nilai impor kita, khususnya impor migas dan bahan baku industri, terus meningkat. Situasi ini menyebabkan defisit neraca pembayaran kita terus meningkat. Hingga kuartal II-2013, neraca pembayaran Indonesia mengalami defisit hingga 4,4 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Selain itu, meningkatnya pembiayaan impor ini menggerus devisa kita:  pada Januari 2013 cadangan devisa kita masih 108 milyar USD, namun pada akhir Juli 2013 tinggal 92,671 milyar USD.

Kedua, meningkatnya pembayaran utang luar negeri Indonesia. Hal ini terlihat pada debt service ratio (DSR) atau rasio pembayaran pokok dan bunga utang luar negeri terhadap penerimaan ekspor yang semakin tinggi. Per triwulan II-2013, rasio pembayaran utang mencapai 41,4 persen. Di banding triwulan I-2013, terjadi peningkatan sebesar 34,8 persen.

Di sisi lain, tingkat kecukupan cadangan devisa dalam memenuhi kewajiban luar negeri jangka pendek menurun. Posisi utang luar negeri jangka pendek terhadap cadangan devisa per triwulan II-2013 sebesar 55,7 persen. Angka ini merupakan yang tertinggi sejak tahun 2012. Hal ini dipicu oleh turunnya ekspor kita di satu sisi, sementara di sisi lain utang luar negeri meningkat. Kenaikan DSR ini berdampak pada kemampuan kita untuk mendanai pembangunan. Dengan DSR yang mencapai 41,4 persen, maka sisanya untuk pembangunan tinggal 58,6 persen.

Dua faktor tersebut menggambarkan rapuhnya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Selama ini, pertumbuhan ekonomi kita memang didorong oleh faktor-faktor yang membahayakan, seperti ekspor (mayoritas bahan mentah), investasi asing, utang luar negeri, dan konsomsi. Sekarang ini, dengan merosotnya ekspor dan meroketnya rupiah, maka inflasi pun naik. Situasi jelas akan menggerus daya beli rakyat, yang berarti konsumsi domestik pun turun.

Pada tanggal 16 Agustus lalu, dalam pidato Kenegaraan, SBY menyampaikan angka-angka fantastis. Dengan kobar luar biasa, SBY berusaha menyakinkan bahwa ekonomi Indonesia makin membaik: kemiskinan yang menurun (tinggal 11,37 persen), pengangguran menurun hingga 5,92 persen, dan PDB perkapita yang sudah 3.592 dollar AS. Tidak sampai seminggu kemudian, semua klaim SBY itu rontok seketika. Dua hari lalu, SBY akhirnya menyampaikan pidato bernada pesimisme, bahwa target pertumbuhan ekonomi sebesar 6,3 persen sulit dicapai.

Inilah kutukan terhadap model pembangunan ekonomi SBY yang bergantung pada liberalisasi dan pihak asing. Selama ini SBY begitu congkak mengklaim ekonomi yang mengandalkan ekspor bahan mentah sebagai prestasi. Padahal, 60 tahun yang lalu, Bung Hatta sudah mengingatkan, ekonomi ekspor masihlah kelanjutan dari sistem ekonomi kolonial. Model ekonomi tersebut membawa dampak buruk. Satu, pengabaian terhadap pasar internal. Dua, rakyat Indonesia hanya dijadikan tenaga kerja murah. Tiga, tidak melahirkan basis untuk industrialiasi dan mendorong maju tenaga produktif di dalam negeri.

Ekonomi yang bersandar pada ekspor bahan mentah itu menyebabkan pemerintah kita tidak punya tekad mengembangkan industri dan produksi nasional. Akibatnya, ekonomi kita makin terjebak dalam ketergantungan terhadap impor. Sampai-sampai kebutuhan dasar rakyat, termasuk pangan, diperoleh melalui impor. Alhasil, setahun ini kita menyaksikan daya beli rakyat digerus oleh inflasi akibat kenaikan harga sembako dan produk pangan.

Bung Hatta pun menganjurkan agar dasar dari setiap perekonomian seharusnya adalah memenuhi kebutuhan rakyat. Dalam logika ini, tujuan utama produksi adalah kebutuhan rakyat. Barang yang diimpor seharusnya hanya barang kebutuhan rakyat yang belum sanggup diproduksi di dalam negeri. Sebaliknya, ekspor hanya boleh dilakukan untuk sekedar menutupi biaya impor.

Karena itulah, upaya pemerintah merangsang pasar internal dengan “keep and buying strategy”, yakni upaya pemerintah untuk tetap memaksa rakyat bisa membeli barang, akan menjadi absurd ketika pasar internal tetap dibanjiri oleh barang atau produk impor. Kampanye Menkeu Chatib Basri “belanja pangkal kaya” hanya akan menjebak rakyat dalam utang konsumsi. Sebab, daya beli buruh tetap rendah akibat politik upah murah dan daya tawar rendah di pasar tenaga kerja. Sementara kehidupan petani Indonesia makin melarat akibat hancurnya harga produk pertanian lantaran serbuan pangan impor.

Begitu pula dalam soal utang, yang selama ini diklaim oleh pemerintah dalam kondisi aman-aman saja. Ternyata rasio utang luar negeri jangka pendek terhadap cadangan devisa meningkat. Per 30 Juni 2013, posisi cadangan devisa 98,095 miliar dollar AS, sedangkan utang luar negeri jangka pendek 54,685 miliar dollar AS. Saat ini, posisi total utang luar negeri mencapai 257,98 miliar dollar AS, sementara nilai ekspor barang dan jasa hanya 51,297 miliar dollar AS. Hal ini tentu makin membahayakan perekonomian nasional kita.

Jadi, ambruknya nilai tukar rupiah hari merupakan kutukan terhadap kepongahan rejim neoliberal menyebut ketergantungan terhadap ekspor bahan mentah dan utang luar negeri sebagai prestasi!

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid