Kusutnya Kemerdekaan Beragama di Negeri Pancasila

Tugas negara adalah memastikan bahwa rakyatnya dapat beribadat dengan tenang tanpa perlu cemas suatu waktu rumah ibadatnya didatangi sekelompok orang atas nama melawan kebatilan lantas melakukan persekusi terhadap mereka.

RIYADHELIS PUTUHENA

Demokrasi di Indonesia telah berlangsung lebih dari dua dasawarsa. Pagi hari pada Mei 98’ rezim totaliter Orde Baru jatuh, hal itu menandai berakhirnya pengekangan negara terhadap kebebasan sipil. Namun, impian akan demokratisasi di Indonesia tak berjalan mulus pasca reformasi 98. Kultur dan struktur warisan orde baru masih dipelihara bukan hanya oleh masyarakat biasa, tetapi juga oleh organisasi bernama Negara Indonesia.

Demokrasi adalah sebuah sistem yang lahir akibat protes terhadap kekuasaan yang dijalankan dan dikelola oleh sekelompok orang saja. Pengelolaan kekuasaan yang demikian dianggap melahirkan kesewenang-wenangan yang berujung pada praktik kekerasan. Sayangnya, demokrasi di Indonesia masih permisif terhadap tindak-tanduk kekerasan baik yang dilakukan negara ataupun masyarakat sipilnya, tak terkecuali kekerasan terhadap pemeluk agama.

Indonesia bukanlah negara teokrasi yang meletakkan satu ajaran agama tertentu sebagai dasar negara, tetapi eksistensi agama dan jalinannya dengan politik di Indonesia adalah sebuah realitas objektif dan fakta historis. Sejak awal berdirinya, agaknya sulit mengabaikan peran agama bagi negara ini. Kesadaran religius ini yang mengilhami kepala para santri untuk melaksanakan resolusi jihad demi kemerdekaan Indonesia. Begitu pun semangat persaudaraan yang dibangun oleh Johannes Leimena dalam membentuk poros Kristen untuk mengawal perjalanan negara ini. Mengabaikan eksistensi agama dalam kehidupan negara tentu merupakan pandangan yang ahistoris. Permasalahannya terletak pada fakta bahwa agama merupakan suatu hal yang abstrak dan tak berwujud (intangible). Meributkan sesuatu hal yang tidak berwujud akan sama halnya dengan melemparkan garam ke lautan.

Kenyataannya, agama merupakan hak (bukan kewajiban) yang bersifat fakultatif di mana keputusan untuk menggunakan atau tidak menggunakan hak tersebut berada pada si pemangku hak yaitu manusia/ individu/ warga negara. Hal ini merupakan makna dari ketentuan Pasal 28I ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.  Adalah sebuah kebebasan manusia yang tidak dapat dibatasi (non-derogable rights) untuk memeluk kepercayaan atau agama tertentu. Agama adalah suatu hal yang bertempat di dalam pikiran dan perasaan manusia. Cogitationis poenam nemo patitur adalah sebuah asas hukum yang memiliki arti seseorang tidak dapat dihakimi karena pikiran ataupun keyakinannya. Dengan demikian keputusan untuk memilih suatu agama tertentu adalah pilihan yang bebas dari konsekuensi mendapat penghukuman.

Di sisi lain negara kerap kali abai terhadap kelompok-kelompok kekerasan non negara (vigilante)yang menggunakan justifikasi agama untuk mempertontonkan praktik-praktik anti-demokrasi. Bentuk kekerasan yang kerap terjadi ialah penyerangan tempat ibadah dan intimidasi terhadap kelompok minoritas. Intimidasi dalam hal ini dapat mewujud dari ucapan hingga mobilisasi masa untuk kepentingan politik. Bahkan eskalasi ini dapat terlihat terang ketika kelompok vigilante ikut terlibat dalam arena pemilu dan berhasil menjadi  pemenang. Ian Wilson lewat tulisannya berjudul “Reconfiguring rackets: Racket regimes, protection and the state in post -New Order Jakarta”yang dimuat dalam buku The State and Illegality in Indonesia (2010) memaparkan bagaimana kelompok kekerasan di Indonesia pada era pasca Soeharto mampu bertransformasi demi kelangsungannya. Ian menjelaskan bahwa relasi preman dan negara dilakukan demi mendapatkan kembali sedikit kontrol negara atas penguasaan “jalanan”. Hal demikian menjadi gambaran bahwa kelompok kekerasan sipil kerap dijadikan “kawan” oleh negara untuk mencapai tuntutan tertentu.

Human Rights Working Group (HRWG) dalam laporannya yang berjudul “Kejahatan Kemanusiaan Terhadap Jamaah Ahmadiyah di Indonesia” pada tahun 2011 menerangkan bahwa terdapat pelanggaran ham yang terjadi akibat kebijakan yang diskriminatif, lemahnya penegakkan hukum, dan pembiaran terhadap aksi-aksi “hate speech”. Hal yang demikian membuka ruang bagi praktik-praktik kekerasan yang dilakukan oleh kelompok non-negara seperti organisasi kemasyarakatan.

Tanpa disadari diskriminasi telah menjadi kebiasaan dan suatu hal yang lumrah dalam keseharian kita. Pemukiman yang dipisahkan berdasarkan agama tertentu seperti yang digambarkan dalam artikel Tirto, “Perumahan Khusus Muslim dan Ancaman Toleransi di Yogyakarta” mungkin dapat menjadi contoh konkret betapa diskriminatifnya perilaku kita. Hal ini adalah wujud stagnasi –jika tak ingin disebut kemunduran− dalam upaya demokratisasi negara. Alih-alih merawat keragaman, negara lebih banyak diam dan malah mempertontonkan watak diskriminatifnya dengan memanfaatkan kepatuhan ideologis warga negaranya. Negara menciptakan dikotomi antara seorang “Pancasilais” dan melabeli sebagian lainnya sebagai anti Pancasila. Genosida tahun 1965 adalah fase paling ekstrem ketika negara mewujud dalam bentuk kekerasan dan membiarkan jutaan nyawa hilang atas nama ideologi tertentu.

Negara seharusnya hadir untuk menjamin hak memeluk dan beribadat menurut agamanya. Bukan justru menjadi ustad, pendeta, pastor, biksu, ataupun brahma  bagi warga negaranya. Tugas negara adalah memastikan bahwa rakyatnya dapat beribadat dengan tenang tanpa perlu cemas suatu waktu rumah ibadatnya didatangi sekelompok orang atas nama melawan kebatilan lantas melakukan persekusi terhadap mereka. Negara harus memproteksi penyelenggaraan ritual keagamaan dan bukan malah diam saat vigilante merusaknya. Karena itulah hakikat demokrasi, ketika setiap orang dapat hidup damai tanpa rasa takut keyakinannya dapat dijadikan sebagai pembenaran untuk melakukan kekerasan.

Negara diserahkan kedaulatan oleh rakyat untuk mengelola hajat hidup orang banyak. “Orang banyak” adalah istilah untuk menggambarkan masyarakat umum dan bukan kelompok atau golongan masyarakat tertentu. Demokrasi pula menghapus diversifikasi sosial pada era feodal. Dalam kehidupan demokrasi setiap orang memiliki hak yang sama dan negara hadir untuk menjamin terdistribusinya hak-hak tersebut. Bagaimana mungkin negara absen ketika hak-hak mendasar seperti penjaminan untuk menjalankan ritual keagamaan sedang mengalami serangan dari kelompok yang berlainan kepercayaan? Berapa lama kita harus menunggu hingga akhirnya negara sadar bahwa ada (orang) banyak warga ahmadiyah, syiah, dan kelompok minoritas lain yang tidak mendapatkan haknya. Ya, negara abai karena minoritas punya harga murah dalam politik elektoral 5 tahunan.

Demokrasi adalah sebuah situasi di mana Anda bebas berekspresi tanpa perlu takut pertumpahan darah dan kehilangan nyawa. Selamat Hari Natal!

RIYADHELIS PUTUHENA, Peneliti Muda di LBH Surabaya Pos Malang

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid