Kolonialisme Di Sektor Pertambangan

Pada saat revolusi Agustus masih berkobar, rakyat Indonesia berhasil merebut sejumlah perusahaan milik Belanda, termasuk perusahaan pertambangan. Di ladang-ladang minyak, muncul perusahaan yang diorganisasikan oleh pejuang republik, yang sering menyebut dirinya “laskar minyak”.

Itulah cikal-bakal berdirinya Perusahaan Minyak Indonesia (Permiri) di Sumatera Selatan, Perusahaan Minyak Negara Republik Indonesia (PMNRI) di Sumatera Utara, dan Perusahaan Tambang Minyak Nasional (PTMN) di Jawa Tengah.

Itu hanya secuil kisah tentang bagaimana kehendak revolusi agustus, juga semangat seluruh rakyat Indonesia, berusaha mengakhiri praktek kolonialisme di lapangan ekonomi. Meskipun semangat itu menemui banyak kendala, bahkan perusahaan yang sudah direbut berakhir macet, tetapi ada hal yang tak dapat dibantah: rakyat tak menghendaki kolonialisme merampok kekayaan alam kita.

Tetapi semangat itu benar-benar berhenti pada tahun 1967. Saat itu, Soeharto, setelah membuat perjanjian khusus dengan para kolonialis di Jenewa, segera membuka pintu bagi modal asing di berbagai sektor ekonomi di dalam negeri. Salah satunya kehadiran PT. Freeport di Papua.

PT. Freeport melakukan penambangan di dua kawasan, yaitu tambang Ertsberg (dari 1967 hingga 1988) dan tambang Grasberg (sejak 1988). Konon, sejak tahun 1968 hingga sekarang pertambangan itu telah mengasilkan 7,3 juta ton tembaga dan 724,7 juta ton emas. Kalau diuangkan dalam bentuk rupiah: taruhlah harga emas Rp300.000/gram, maka 724.700.000.000.000 gram x Rp300.000= Rp 217.410.000.000.000.000.000 atau Rp217.410 biliun.

Apakah Indonesia mendapat untung? Tidak. Menurut Surjono H. Sutjahjo, dari Fakultas Pertanian IPB, prosentase bagi hasil antara pihak Indonesia dan pihak PT. Freeport sangat tidak adil: Indonesia mendapat 1% dan Freeport mendapatkan 99%.

Rejeki nomplok Freeport belum berakhir di situ. Ketika emas dan tembaga di kawasan itu mulai menipis, tetapi di bawahnya, tepatnya di kedalaman 400 meter, ditemukan kandungan uranium. Uranium punya harga seratus kali lebih mahal dari emas.

Nasib buntung juga dirasakan Indonesia saat sejumlah ladang minyak dikuasai oleh perusahaan Shell (Belanda). Pada tahun 2005, misalnya, pendapatan Shell di Indonesia mencapai US$ 178 miliar (Rp 1.600 triliun), sementara Pertamina hanya mendapat untung sebesar Rp 322 triliun. Keuntungan Shell itu bahkan melebihi anggaran APBN Indonesia pada saat itu yang berjumlah Rp 463,3 triliun (kalau tidak salah).

Tetapi bukan cuma penerimaan negara yang cekak. Terdapat puluhan perusahaan-perusahaan asing yang menunggak pajak, dan itu dilakukan selama lima kali pergantian Menteri Keuangan.

Perlu kami tambahkan pula, pekerja Indonesia di perusahaan-perusahaan asing terkadang tidak mendapat perlakuan yang wajar. Mereka sering mendapat perlakuan diskriminatif, sehingga upah atau kesejahteraan mereka lebih murah ketimbang pekerja asing.

Ada benarnya apa yang pernah dikatakan Bung Karno 81 tahun silam, tepatnya ketika menyampaikan pidato pembelaan di hadapan pengadilan kolonial, bahwa kolonialisme dan imperialisme hanya butuh empat hal: bahan baku, pasar untuk barang-barang mereka, tempat penanaman modal, dan tenaga kerja murah.

Tetapi, pada tanggal 1 Juni 2011 lalu, saat peringatan lahirnya Pancasila, Presiden SBY sudah mengeluarkan janji mahal: renegosiasi semua kontrak pertambangan yang merugikan bangsa Indonesia.

Kita belum tahu seperti apa janji itu dijalankan. Kita juga belum tahu apakah pemerintah sudah membentuk panitia atau tim kerja khusus untuk urusan itu. Bahkan, kita tidak pernah dengar seperti apa kemajuan rencana itu, dan perusahaan mana saja yang setuju dan tidak setuju dengan renegosiasi.

Akan tetapi, dalam keyakinan kami, sepanjang proses renegosiasi ini tidak melibatkan partisipasi rakyat, maka isu renegosiasi hanya akan menjadi “pintu baru” untuk kongkalikong antara pemerintah Indonesia dan perusahaan asing. Sebab  kami tahu betul watak dan mental pemerintah Indonesia yang sangat inlander itu.

Padahal, semua itu tidak perlu terjadi jikalau saja pemerintah setia dan mau menjalankan konstitusi dengan benar, khususnya pasal 33 UUD 1945.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid