Ketika SBY Bicara Karakter Bangsa

Selasa, 16 Juni lalu, dalam acara buka puasa bersama dengan pimpinan media dan wartawan, Presiden SBY menyampaikan refleksinya terhadap 14 tahun perjalanan reformasi. Salah satu point refleksinya menyinggung soal pembangunan karakter bangsa (character nation).

Menurut SBY, character building menjadi isu sentral bagi sebuah bangsa yang ingin menjadi negara yang maju. Namun, SBY mengingatkan, hal penting yang harus dipunyai bangsa Indonesia bila ingin maju adalah semangat percaya diri (confidence). “Untuk menjadi bangsa yang besar, bangsa kita tidak boleh kerdil, kerdil dalam pemikiran,” katanya.

Namun, seperti apa semangat percaya diri yang dimaksud SBY itu? Hal itu terjawab di akhir pidatonya. Ketika bicara soal peran pers sebagai agen character building, SBY berpesan, “pers juga ikut membangun optimisme, pikiran yang positif, dan kepercayaan diri yang lebih tinggi dari bangsa ini, bukan angin surga, bukan meninabobokan, just telling the truth.

Ironisnya, yang dimaksud SBY dengan tugas pers membangun optimisme adalah selalu menyajikan good news (kabar baik). “Kalau pers dan media massa selama 15 tahun ke depan, misalnya, tidak ada liputan good news sama sekali, hanya bad news semata, maka bagaimana rakyat bisa percaya pada dirinya sendiri,” ujar SBY.

Di sini, seperti biasanya, SBY menyuguhi kita dengan penjelasan yang mengawan-awan. Pertama, SBY gagal menjelaskan pembangunan karakter bangsa sebagai bagian dari proyek membangun bangsa itu sendiri. Akibatnya, pijakan pembangunan karakter bangsa ala SBY tidak punya pijakan yang jelas.

Seperti pernah dijelaskan Bung Karno, nation building dan character building bukan dua hal yang terpisah satu sama lain, tetapi nation building impliceert (tersirat) dalam character building. “Character building adalah di dalam nation building,” tambahnya.

Bung Karno menjelaskan, nation and character building merupakan tingkatan kedua dari Revolusi Indonesia. Tingkatan pertamanya adalah pemerdekaan atau liberation. Di tingkatan pertama, yakni liberation, kita melepaskan rantai-rantai penjajahan yang membelenggu selama ratusan tahun. Kemudian, pada tahap nation and character building,  kita membangun jiwa dan mental manusia Indonesia, dari jiwa dan mental manusia terjajah menjadi jiwa dan mental manusia merdeka.

Bangsa Indonesia terjajah cukup lama, yakni ratusan tahun. Dalam proses itu, supaya kolonialisme bisa berkuasa secara hegemonik, jiwa dan mental bangsa Indonesia ditaklukkan. Karenanya, tugas besar kita begitu merdeka bukan hanya melikuidasi sisa-sisa kolonialisme di bidang ekonomi, politik, dan sosial-budaya, tetapi juga membebaskan jiwa bangsa Indonesia yang ratusan tahun terinjak-injak oleh kolonialisme. Untuk itu, mental bangsa terjajah, seperti perasaan rendah diri di hadapan bangsa lain (inferiority complex), sikap tidak percaya pada kemampuan sendiri, mental bangsa kuli, dan lain-lain, harus dihancur-leburkan. Bung Karno kemudian menyerukan agar bangsa Indonesia memiliki sikap “self-reliance” (jiwa yang percaya kepada kekuatan sendiri) dan “self help” (jiwa berdikari).

Kemudian Bung Karno juga mengingatkan, proyek nation building harus inheren dengan pelaksanaan revolusi mental. “Memperbaharui mentalitet sebuah bangsa bukan seperti orang ganti baju,” demikian serunya. Untuk itu, Bung Karno buru-buru menggaris-bawahi, bahwa untuk mengubah mentalitet sebuah bangsa, ada tiga hal yang patut dirombak: cara berfikir; cara kerja/berjuang; dan cara hidup. Ketiga-tiganya harus dirombak agar sejalan dengan kemajuan dan cita-cita bangsa Indonesia menuju masyarakat adil dan makmur.

Yang menarik, dalam rapat dengan para pimpinan ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia), 17 Juni 1965, Bung Karno mempertegas pokok dari nation building itu, yakni membangun Indonesia yang politiknya berdaulat, yang ekonominya berdikari, yang kebudayaannya berkepribadian.

Jadi, dari penjelasan di atas, kita bisa mengambil beberapa kesimpulan. Satu, proyek nation-character building tidak muncul begitu saja, melainkan sebuah keharusan objektif bagi Indonesia sebagai bangsa yang baru keluar dari alam penjajahan. Dua, proyek nation-character building ini akan melahirkan manusia Indonesia yang baru, yakni manusia yang merdeka (anti-kolonialisme dan anti-imperialisme) dan punya pikiran, cara kerja, dan cara hidup yang maju/progressif. Tiga, proyek nation-character building dilakukan bersamaan dengan pelikuidasian sisa-sisa kolonialisme dan penghancuran penyakit warisan feodalisme.

Kedua, mimpi SBY membangun karakter bangsa bertolak-belakang dengan kebijakan rezimnya. Kita bisa mengambil beberapa contoh. Di bidang ekonomi, SBY sangat bergantung kepada kapital asing. Seringkali, sebagai pembenaran atas kebijakannya ini, SBY meniupkan alasan seperti kita tidak mampu: tidak punya SDM, modal, dan teknologi. Bung Hatta menyebut ini sebagai penyakit economische minderwaardigheid, yakni penyakit rendah diri dalam perekonomian.

Contoh lainnya: SBY tidak serius menyikapi menyeruaknya praktek intoleransi dan kekerasan terhadap minoritas. Ini nampak jelas dalam kasus Ahmadiyah, Syiah, dan lain-lain. Padahal, menurut Bung Karno, perwujudan manusia baru Indonesia adalah penerimaannya hingga ke tulang sungsumnya prinsip: Indonesia buat semua. Pembiaran terhadap praktek intoleransi dan kekerasan terhadap minoritas ini sangat mengancam eksistensi kita sebagai sebuah bangsa. Jika dibiarkan, bisa-bisa kita sebagai sebuah bangsa bubar.

Yang lainnya, misalnya, adalah sikap SBY menyerahkan institusi pendidikan kepada neoliberalisme. Padahal, lembaga pendidikan merupakan instrumen penting untuk membangun karakter bangsa.

Ketiga, SBY salah menempatkan posisi pers dalam proyek membangun karakter bangsa. Dengan memaksa pers mengambarkan yang baik-baik saja (good news), berarti SBY telah membunuh kemerdekaan pers. Seharusnya, pemberitaan yang negatif (kritik), sepanjang berbasiskan pada fakta, menjadi masukan bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi dan koreksi terhadap kebijakannya.

Pers memang bisa memainkan peranan penting dalam pembangunan karakter bangsa, misalnya: 1) tidak memberi tempat pada pemberitaan atau opini yang memprovokasi pertikaian SARA; 2) memberikan informasi yang sehat dan mendidik bagi rakyat; 3) pers Indonesia, sebagaimana sejarah kelahirannya, harus berjiwa anti-kolonialisme dan anti-imperialisme.

Risal Kurnia, kontributor Berdikari Online

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid