Ketika Petani Menuntut Land Reform

Persoalan ketidakadilan agraria tidak bisa dianggap sepele. Di tahun 2012 lalu, ketidakadilan agraria itu memicu 198 konflik agraria. Artinya, dalam setiap dua hari, terjadi satu konflik agraria di negara ini. Hingga akhir tahun 2012 lalu, Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengakui, masih ada 4.005 kasus sengketa lahan yang tak terselesaikan.

Sebuah data mengungkapkan, indeks gini kepemilikan tanah di Indonesia sudah mencapai 0,6 persen. Sementara mantan Kepala BPN Joyo Winoto pernah mengungkapkan, ada 0,2 persen penduduk Indonesia menguasai 56 persen aset di tanah air. Dan sebagian besar aset itu berupa tanah dan perkebunan.

Akses rakyat terhadap tanah juga makin mengecil. Joyo Winoto menyebutkan, sekitar 84 persen petani di Indonesia menguasai tanah kurang dari 1 hektar. Sementara rata-rata masyarakat perkotaan menguasai tanah kurang dari 200 meter persegi.

Situasi ini makin diperkeruh oleh kebijakan pemerintah yang sangat pro-liberalisasi, termasuk liberalisasi agraria. Di bawah kebijakan liberal ini, pola peruntukan tanah sebagian besar untuk kepentingan kapital. Akibatnya, terjadi praktek perampasan lahan milik rakyat secara massif.

Situasi itulah yang membuat daerah pedesaan Indonesia terus bergolak dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan, pergolakan itu telah memicu radikalisasi di kalangan gerakan petani. Akhirnya, sejak 12 Desember 2012 lalu, puluhan petani Jambi menggelar aksi long-march ke Jakarta. Begitu mereka melintasi wilayah Mesuji, Lampung, petani Mesuji juga menyatakan bergabung dalam aksi ini.

Lalu, pada 11 Januari lalu, ratusan petani Mataraman—Blitar dan sekitarnya—juga menggelar aksi long-march dari Blitar, Jawa Timur, menuju Jakarta. Hingga kemarin (20/1), petani Mataraman sudah menginjakkan kaki di kabupaten Batang, Jawa Tengah.

Para petani ini–Jambi, Mesuji, dan Blitar—mengusung tuntutan yang sama: mengakhiri ketidakadilan agraria di Indonesia melalui pelaksanaan land-reform. Dan sebagai pijakannya, mereka menuntut pemerintahan SBY untuk konsisten menjalankan pasal 33 UUD 1945 dan UUPA 1960.

Land-reform menjadi keharusan saat ini. Ketidakadilan agraria di Indonesia, yang tercermin pada ketimpangan kepemilikan lahan, telah memicu meluasnya konflik dan sengketa agraria di berbagai pelosok Indonesia.

Selain itu, ketidakadilan agraria ini juga mengarah pada proses pemiskinan. Menurut data pemerintah, dari total kemiskinan di Indonesia, sebanyak 66 persen berada di daerah pedesaan. Data lainnya menyebutkan, bahwa dari konfigurasi kemiskinan itu, 56 persen itu menggantungkan hidupnya di sektor pertanian.

Ketidakadilan agraria itu juga memicu de-peasantization, yaitu fenomena petani atau rumah tangga petani telah kehilangan kapasitas mereka sebagai produsen atau unit ekonomi. Inilah yang kemudian bertransformasi menjadi sektor informal dan buruh migran.

Namun, sebagai negara agraris, penyelesaian persoalan agraria merupakan aspek mendasar. Tidak ada negara agraris bisa berkembang menjadi negara industri tanpa proses land-reform.  Sebab, land-reform merupakan upaya merombak struktur agraria yang timpang agar lebih demokratis dan menjadi basis untuk kemakmuran rakyat.

Indonesia seharusnya sudah menyelesaian land-reform ini ketika revolusi nasional meletus. Dan memang, ketika Republik Indonesia ini baru seumur jagung, land-reform itu hendak dijalankan. Lahirlah Undang-Undang Nomor 13 tahun 1946 tentang penghapusan hak istimewa elit-elit desa di desa-desa “perdikan” di Banyumas. Lalu, pada tahun 1948, lahir UU Darurat nomor 13/1948 tentang land-reform di wilayah Surakarta dan Jogjakarta. Pada tahun itu juga dibentuk Panitia untuk menyiapkan UU Agraria pengganti UU agraria kolonial. Inilah yang bermuara pada lahirnya UU nomor 5 tahun 1960 tentang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

Sayang, semua proses itu diinterupsi oleh kudeta militer kanan, yang disokong oleh negeri-negeri imperialis. Dan sejak orde baru berkuasa hingga sekarang, agenda land-reform hilang dari agenda ekonomi-politik kebangsaan kita.  Ini membawa malapetaka, seperti tidak berkembangnya perekonomian dan kekuatan produktif di pedesaan, keterpisahan yang sangat lebar antara desa dan kota, urbanisasi yang tidak terkendali, kegagalan mencapai kedaulatan pangan, dan kegagalan menjalankan industrialisasi. Bahkan, tidak selesainya land-reform berkontribusi pada ketidakmampuan kita menjadi bangsa produktif.

Karena itu, agenda perjuangan petani Jambi, Mesuji, dan Blitar bisa menjadi “letupan awal” untuk menandai kebangkitan gerakan tani dan gerakan rakyat pada umumnya dalam menuntut pelaksanaan land-reform sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa dan termaktub dalam konstitusi kita.

[post-views]