Kerusuhan Buol: Mentalitas Polisi Belum Berubah

Dalam syarat-syarat gencarnya serangan neoliberal yang memiskinkan rakyat dan seruan umum untuk berkonfrontasi dengan Malaysia, pasukan Polri sedang bertempur dengan rakyat sendiri di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah. Dalam pertempuran yang tidak seimbang itu, sedikitnya 10 orang rakyat dinyatakan tewas dan puluhan lainnya masih dirawat di Rumah Sakit.

Ya, di penghujung bulan kemerdekaan Indonesia, puluhan rakyat Indonesia meregang nyawa di Buol akibat diterjang peluru aparat Negara sendiri. Kerusuhan terjadi selasa malam (31/8), ketika ribuan warga mendatangi Mapolsek Biau untuk mempertanyakan tewasnya seorang warga, Kasmir Timumum, yang diduga dianiaya oleh anggota kepolisian saat ditahan.

Sebetulnya, kemarahan ribuan warga itu tidak perlu terjadi, seandainya saja Polisi menggunakan cara-cara professional dan demokratis saat mengurusi persoalan kriminalitas. Kasmir Timumum, yang bersalah karena menabrak kepolisian, tidak seharusnya dijadikan objek kekerasan hingga merenggut nyawanya.

Inilah yang sering terjadi; Polisi tidak segan-segan untuk berlaku keras terhadap rakyat biasa yang terlibat kriminalitas biasa, namun, ironisnya, polisi tidak bisa berbuat apa-apa terhadap pelaku kejahatan besar, terutama koruptor. Padahal, dosa seorang pelaku korupsi (ekstra-ordinary crime) jauh lebih besar ketimbang pelanggar lalu lintas.

Kejadian ini mencerminkan suatu hal, bahwa polisi belum merubah mentalitas yang sangat buruk, anti-demokrasi, dan tidak sesuai dengan tuntutan reformasi. Pertama, Polisi masih menempatkan rakyat biasa sebagai musuh, bukan sebagai golongan yang harus dilindungi. Lihat saja perilaku Polisi saat menghadapi unjuk rasa, melakukan penggusuran, menangkap pelaku criminal biasa, dan lain sebagainya. Kedua, Polisi masih sering menggunakan pola “pengkambing-hitamaan’ terhadap kelompok masyarakat tertentu sebagai “dalang kerusuhan”, “provokator”, dan “penganggu ketertiban”. Sebuah prasangka yang sangat subur dipergunakan di jaman kolonial dan diwarisi dengan baik oleh Kepolisian Indoensia saat ini.

Jadinya, kita pun mempertanyakan seberapa besar setiap anggota kepolisian menghayati dan menjalankan slogan mereka; Melindungi, Mengayomi, dan Melayani Masyarakat. Alih-alih menjadi pelindung dan pelayan masyarakat, Polisi malah sering berbenturan dengan masyarakat itu sendiri, seperti yang baru saja dipertontonkan di kabupaten Buol itu.

Kalau Polisi benar-benar mencermati slogan tersebut, maka tidak sepantasnya satu butir peluru pun dipergunakan untuk membunuh rakyat. Kecuali, jika polisi berhadapan dengan aksi kejahatan yang mengancam rakyat banyak, misalnya terorisme dan perampokan bersenjata.

Terkait kejadian di Buol itu, semua pihak semestinya mulai mempertanyakan sejauh mana proses reformasi di tubuh Polri itu sendiri. Karena, seperti kita ketahui, reformasi itu seharusnya menanamkan nilai-nilai penghargaan terhadap Hak Azasi Manusia (HAM) dan demokrasi, disamping persoalan kecintaan terhadap rakyat dan dedikasinya terhadap Negara.

Karena itu, kita sangat berharap agar petinggi Polri segera melakukan investigasi dan pengusutan tuntas atas kejadian di Buol. Pimpinan Polri tidak perlu ragu untuk menjatuhkan sanksi berat dan pemecatan terhadap personilnya yang menindas rakyat, termasuk Kapolres yang bertanggung jawab atas situasi keamanan di sana.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid