Kepergian Musisi Kerakyatan

Pada hari Rabu, 20 April 2011 lalu, dunia musik Indonesia kembali kehilangan salah satu musisi terbaiknya: Franky Sahilatua. Dia bukan saja sempat menjadi maestro di masanya, tetapi berkali-kali menciptakan karya yang membuat orang bangkit dan berlawan.

“Tidak ada revolusi tanpa lagu-lagu,” demikian tertulis di sebuah spanduk saat kampanye Allende, presiden sosialis Chile yang terbunuh oleh kudeta berdarah Augusto Pinochet, tahun 1973. Spanduk itu menceritakan pengaruh kuat lagu-lagu kerakyatan Chile dalam perjuangan revolusioner, termasuk di dalamnya adalah Victor Jara.

Franky Sahilatua sangat mengagumi Victor Jara. Ia banyak membaca fikiran dan kisah perjuangan Victor Jara melalui internet. Dalam sebuah wawancara dengan Tempo-interaktif, Franky mengaku ingin seperti Victor Jara yang menyanyi di tengah-tengah rakyat.

Dalam sebuah diskusi di Berdikari Online, Franky juga mengutarakan arti-penting sebuah lagu dalam menyemangati perjuangan. Katanya, sebuah lirik akan memiliki energi jikalau bisa mencerminkan keresahan rakyat.

Dalam dunia musik, menurut Franky, selalu ada dua kutub: musik pop dan musik perlawanan. Di jaman orde baru, katanya, musik pop bisa ditunggangi untuk menyampaikan aspirasi perlawanan. Itu dibuktikan sendiri dengan kehadiran lagu “perahu retak” (1996), yang katanya bisa menginspirasi pemuda dari gang-gang sempit dan pemukiman kumuh untuk melawan Soeharto.

Sekarang ini, katanya lagi, musik pop sudah tidak bisa lagi ditunggangi untuk menyuarakan perlawanan. “Sekarang musik pop murni dipergunakan untuk mencari popularitas dan uang,” katanya. Karena itu, Franky pun menyatakan dengan tegas: “kita harus tegas memilih apakah bermusik untuk menciptakan uang atau bermusik untuk menciptakan sejarah.”

Franky memilih untuk menciptakan sejarah. Salah satu perkataan Franky Sahilatua yang sangat kuat adalah: “Seorang seniman, pada akhirnya, harus membuat lagu berdasarkan fikiran rakyat, bukan membuat lagu berdasarkan fikiran subjektif. Rakyat harus menangkap dari nada dan lirik lagu itu, bahwa “its our problem, its my song”. Liriknya harus mudah dipahami oleh rakyat, membekas dan terpatri dalam sanubarinya, dan pemilihan katanya.” harus memiliki energi yang kuat.

Yah, beberapa tahun terakhir, Franky semakin dekat dengan politik dan perlawanan. Syair lagu-lagunya pun semakin politis dan radikal. Ia pun semakin sering tampil di tengah-tengah aksi massa, di tengah petani, pemogokan buruh, dan panggung-panggung kerakyatan.

Sayang sekali, hampir mirip dengan penyair WS Rendra yang cepat berpulang ketika ia semakin radikal dan politis, Franky pun buru-buru meninggalkan kita bersama. Meski begitu, apa yang sudah dikerjakannya sudah menjadi pijakan untuk lahirnya musisi-musisi kerakyatan Indonesia berikutnya.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid