Kepemilikan Sosial

Masih adakah kepemilikan sosial di jaman sekarang? Kapitalisme telah mengubah segala sesuatu yang punya nilai guna menjadi komoditi. Bahkan, beberapa saat mendatang, udara yang kita hirup pun akan diubah menjadi komoditi.

Sekarang ini, misalnya, negeri-negeri kapitalis maju melarang kita menebang pohon di hutan-hutan kita. Kelihatannya, larangan itu baik untuk masa depan manusia. Tapi, tunggu dulu, larangan itu punya niat buruk: mereka mau memprivatisasi hutan dan menjadi komoditi mereka untuk perdagangan karbon.

Kapitalisme punya kredo: akumulasi, akumulasi, dan akumulasi! Untuk itu, kapitalisme mengkomoditifikasi segala sesuatunya: sekolah dikomoditifikasi, kesehatan dikomoditifikasi, layanan publik dikomoditifikasi, segala-galanya dikomoditifikasi.

Logika kapital sangat berlawanan dengan tuntutan pembangunan manusia. Soal alam dan lingkungan, misalnya. Untuk bisa menjaga kelangsungan kehidupan, manusia membutuhkan lingkungan yang sehat. Karena itu, pemanfaatan alam tidak boleh melanggar kepentingan manusia yang lebih jangka-panjang. Tetapi, bagi kapital, alam sekedar dijadikan sarana untuk mengakumulasi keuntungan.

Kapitalisme juga memprivatisasi ruang-ruang publik. Taman-taman kota, yang sebagian besar dibangun dengan pajak rakyat, telah diprivatisasi dan dikuasai kapitalis untuk kepentingan akumulasi keuntungan. Di kota-kota besar, rakyat hampir tidak bisa menemukan lagi ruang-ruang publik yang gratis.

Sebetulnya, jika kita menelusuri kembali sejarah pendirian negara kita, maka konsep kepemilikan sosial sangat diakui. Dalam konstitusi kita, khususnya pasal 33 UUD 1945, terdapat pengakuan terhadap model kepemilikan sosial itu.

Lihatlah pasal 33 UUD 1945 ayat (2) yang berbunyi: “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Di sini, negara hanya bertindak sebagai fasilitator yang bertugas mengatur pendistribusian kekayaan sosial itu.

Kepemilikan sosial juga diberlakukan terhadap kekayaan alam: “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (Pasal 33 UUD 1945 ayat 3) .”

Dengan demikian, konsep ekonomi pasal 33 UUD 1945 adalah konsep ekonomi yang membatasi keleluasaan kapital. Memang, dalam derajat tertentu, kepemilikan pribadi dan swasta diakui. Akan tetapi, yang boleh dikuasai swasta hanya pada sektor yang tidak menguasai hajat hidup rakyat. Itupun, seperti ditekankan Bung Hatta, kepemilikan swasta itu tidak boleh mendatangkan eksploitasi atau penghisapan.

Bung Hatta sendiri pernah membuat tulisan berjudul “Kolektivisme Tua Dan Baru”. Di situ, Bung Hatta menerangkan bahwa bangsa Indonesia sudah sejak lama mengenal sistim kepemilikan bersama. Lebih jelasnya, dalam soal tanah, misalnya, dikenal istilah kepemilikan komunal atau kepemilikan desa.

Dalam proses berproduksi pun, kata Bung Hatta, bangsa Indonesia mengenal kolektifisme yang disebut “tolong-menolong” atau “gotong-royong”. Menurut Bung Hatta, model tolong-menolong itu dapat diteruskan hingga jaman modern, antara lain, dengan mengadakan koperasi-produksi.

Sebenarnya, jika bangsa Indonesia konsisten berpegang pada pasal 33 UUD 1945, maka privatisasi tidak punya tempat di Indonesia. Selain itu, keserakahan dan ketamakan, yang merupakan ciri mendasar sistim yang mengejar keuntungan, juga tidak perlu muncul di bumi nusantara ini.

Juga, seandainya ekonomi kita dikelola menurut pasal 33 UUD 1945, maka pengelolaan alam dan kekayaan alamnya juga bisa demokratis. Rakyat Indonesia akan dilibatkan dalam pengambilan keputusan pembangunan dan pengorganisasian ekonomi.

[post-views]