Pemimpin Libya, Muammar Khadafi, dilaporkan sudah tewas di tangan para pemberontak dalam sebuah pertempuran di kota kelahirannya, Sirte. Ia dilaporkan tertembak di bagian kepala dan perut.
Abdel Hafez Ghoga, juru bicara Dewan Transisi Nasional (TNC), seperti dikutip Al-Arabiyaa, telah mengkonfirmasi kematian Khadafi. “Ini adalah momen bersejarah. Ini adalah akhir dari sebuah kediktatoran,” katanya.
Al-Jazeera TV menayangkan beberapa gambar dari ponsel yang memperlihatkan mayat Khadafi diseret-seret oleh pemberontak. Sementara sebuah laporan lain menyebutkan, Khadafi sempat ditangkap dalam keadaan luka berat dan kemudian dieksekusi.
TV Al-Arabiyah, jaringan televisi Arab Saudi yang pro-barat, juga melaporkan kematian Saif Al Islam, putra sulung Khadafi, pada hari yang sama. Anak Khadafi lainnya, Motassim, dilaporkan juga tewas tidak jauh dari benteng pertahanannya di kota Sirte.
Laporan Reuters menyebutkan, Khadafi tertangkap dan terluka setelah konvoinya diserang oleh pasukan NATO di Sirte. Sementara Menteri Pertahanan Perancis mengklaim bahwa Khadafi tewas akibat serangan bom pesawat tempur Perancis.
Akan tetapi, sejumlah media pro-Khadafi membantah keras rumor bahwa Khadafi sudah meninggal. Menurut media-media tersebut, gambar tentang kematian Khadafi yang diedarkan di Internet adalah gambar palsu. Lebih lanjut, mereka mengklaim bahwa Khadafi masih dalam kondisi sehat di tempat persembunyiannya.
Kegembiraan Penjahat Dan Kolonialis
Berita kematian Khadafi segera dirayakan oleh para pemberontak dan pendukungnya. Para pejabat Dewan Transisi Nasional, sebuah pemerintahan yang melantik dirinya sendiri atas restu dari barat, menganggap kematian Khadafi sebagai “akhir dari sebuah tirani”.
Dentuman senjata dan tembakan ke udara menandai ‘pesta kemenangan’ para pemberontak di sejumlah kota di Libya. Para pemberontak ini menyebut kemenangan ini sebagai “pembebasan”.
Presiden Amerika Serikat Barack Obama segera bersuka cita dengan berita kematian Khadafi ini. “Ini menandai akhir perjuangan panjang dan menyakitkan rakyat Libya. Kini saatnya takdir sendiri untuk Libya baru yang lebih demokratis,” kata Obama dalam pidatonya menyambut kemenangan itu.
Selain itu, Obama menegaskan, selama empat dekade Khadafi memerintah Libya dengan kekuasaan tangan besi. “Tidak ada hak azasi manusia. Rakyat sipil ditahan, dipukuli, dan dibunuh,” katanya.
Obama juga menegaskan bahwa Amerika Serikat siap menjadi mitra rakyat Libya dalam membangun masa depan yang lebih bermartabat, bebas, dan penuh keberuntungan.
Sementara Sekjend PBB, Ban Ki-Moon, menyebut kematian Khadafi sebagai “transisi bersejarah” menuju periode baru: demokrasi, kebebasan, pembangunan kembali negeri itu dari kehancuran.
Libya Jatuh Ke Tangan Neokolonialisme
Sementara itu, kabar kematian Khadafi menimbulkan duka mendalam bagi rakyat dan pemimpin-pemimpin progressif di Amerika Latin.
Di Caracas, Venezuela, Presiden Hugo Chavez menggambarkan kematian Khadafi sebagai “pembunuhan” yang dilakukan oleh AS dan sekutunya.
Lebih lanjut, Chavez menganggap Khadafi sebagai seorang pejuang besar, seorang revolusioner dan martir. “Kami akan mengingat Khadafi dalam seluruh kehidupan kami sebagai seorang pejuang besar, seorang revolusioner, dan martir,” kata Chavez.
Tajeldine Basem, anggota pusat pengetahuan Afrika, menganggap kematian Khadafi sebagai era dimulainya neoliberalisme di Libya dan Afrika utara. “Ini adalah bagian dari terror yang ditebarkan AS dan sekutunya untuk mengusai dunia.”
Ia menuding serangan AS terhadap Libya, Suriah, dan negara-negara yang relatif independen sebagai perang perebutan sumber daya untuk menghidupi ekomomi AS yang sedang krisis.
“Kita harus mewaspadai bahwa Venezuela akan menjadi target selanjutnya,” kata Tajeldine.
Kecurigaan bahwa Venezuela akan menjadi target berikutnya, kata Tajeldine, diambil dari pernyataan Obama saat mengomentari kematian Khadafi. Di situ, Obama menegasan bahwa hal itu akan terjadi pada semua diktator dengan tangan besi.
Amerika Serikat, negeri yang berkontribusi besar dalam sejarah perbudakan dunia, selalu menuding negeri-negeri yang menolak kontrolnya sebagai “diktator” dan anti-demokrasi.
Mumia Abu-Jamal, seorang pejuang anti-imperialis yang ditahan oleh AS, menyebut gejala ini sebagai fenomena “neo-neokolonialisme”, sebuah gejala dimana bentuk baru neo-kolonialisme berpura-pura mengibarkan bendera demokrasi dan humanisme.
“Kekuatan-kekuatan kolonial lama bermunculan, seperti rombongan vampire keluar dari tempat persembunyian, mencari sesuatu untuk dimakan.
Chris Nineham, seorang aktivis anti-perang di London, menyebut kematian Khadafi sebagai hasil logis dari sebuah perang illegal untuk mengubah pemerintahan resmi di Libya.
“Ini sebenarnya adalah operasi kolonial untuk menghapuskan sebuah pemerintahan di Afrika Utara oleh kekuatan AS dan eropa,” kata Chris, seperti dikutip oleh Russian Today.
Kematian Khadafi telah menandai era baru neokolonialisme di Libya dan Afrika utara. Ini bukanlah era “pembebasan” sebagaimana diklaim oleh para bandit bersenjata (TNC) yang didanai oleh imperialisme Amerika dan negara-negara barat.
Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, pemerintahan Khadafi telah berusaha membangun Libya sebagai sebuah bangsa mandiri dan berdaulat.
Libya adalah pemilik 3,5% dari cadangan minyak dunia–dua kali lebih besar dibanding yang dipunyai AS. Libya adalah negara dengan peringkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tertinggi di Afrika. Rakyat Libya juga menikmati pendidikan gratis, kesehatan gratis, perumahan gratis, pinjaman bebas bunga, dan lahan bagi mereka yang mau bertani.
Semua itu telah berakhir akibat campur tangan AS dan sekutunya. Kedepan, kita akan mendengar bagaimana kekayaan minyak Libya yang besar itu, akan dijarah habis-habisan oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Inilah tujuan sebenarnya dari apa yang disebut “intervensi kemanusiaan” di Libya.
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid