HUT Jakarta Dan Segudang Masalahnya

JAKARTA memperingati ulang tahunnya yang ke-484. Jakarta lebih tua daripada salah satu kota terbesar di Amerika, New York. Belanda pun punya andil dalam pendirian kota New York itu—dulunya dinamai New Amsterdam. Namun, seiring dengan perjalanan waktu, New York berkembang menjadi kota termegah di dunia, sedangkan Jakarta menjadi kota yang terus-menerus direndam banjir.

Saat ini, jumlah penduduk Jakarta sudah menghampiri 10 juta jiwa, dan menempatkan Jakarta sebagai salah satu kota terpadat di dunia. Karena itu, setiap kilometer persegi tanah di Jakarta dihuni sesak oleh sedikitnya 15 ribu orang. Dilema muncul ketika ledakan penduduk ini tidak disambut dengan sebuah program pemerintah yang terencana: pembukaan lapangan kerja, perumahan, layanan publik (kesehatan, pendidikan, transportasi, dll).

Karena dilema tersebut, Jakarta pun berhadapan dengan persoalan kemiskinan dan pengangguran. Pemda DKI mencatat, jumlah penduduk miskin di Jakarta mencapai 312 ribu orang. Sedangkan jumlah penduduk yang menganggur berkisar 600 ribu orang. Karena data diatas sebagian besar versi pemerintah, maka bisa saja angka realnya melebihi angka-angka tersebut.

Jakarta, yang sebagian besar penduduknya adalah kaum pekerja, juga belum berhasil menetapkan Upah Minimum yang manusiawi. Pekerja pun harus mengencangkan ikat pinggang guna menyiasati ketidaksesuaian antara upah dengan kenaikan harga kebutuhan pokok.

Selain kedua persoalan itu, Jakarta juga berhadapan dengan kemacetan yang sangat parah. Menurut perkiraan sebagian pengamat, jika tidak ada pembenahan soal kendaraan dan jalan, maka Jakarta akan macet total pada tahun 2014. Kemacetan membawa konsekuensi-konsekuensi tidak produktif: keterlambatan, pemborosan BBM, pencemaran udara, dan lain sebagainya.

Penduduk Jakarta pun harus berebut udara segar. Gara-gara pembangunan yang sembrawut, ditambah ketundukan birokrat Jakarta kepada pemilik modal, banyak Ruang Terbuka Hijau (RTH) telah berubah menjadi pusat bisnis, perkantoran, pusat belanja, dan lain-lain. Jakarta pun dinobatkan sebagai kota terjorok dan terkotor ketiga di dunia.

Jakarta juga menjadi langganan banjir. Ini memang masalah kota Jakarta sejak masih menggunakan nama Batavia. Akan tetapi, situasi Jakarta sekarang sudah sangat parah: hujan biasa pun pasti menyisakan genangan air di jalan-jalan kota Jakarta. Bahkan, menurut mantan Menteri Lingkungan Hidup RI Sonny Keraf, Jakarta bisa tenggelam dalam lima tahun kedepan jika kebijakan pembangunan tidak segera diubah.

Layanan publik di Jakarta juga sangat buruk. Sistem transportasi, misalnya, Jakarta belum punya alat transportasi massal yang bisa mengangkut rakyatnya. Buruknya layanan transportasi di Jakarta membuat mobilitas rakyatnya harus mengeluarkan banyak biaya. Bahkan, karena Jakarta sudah ketinggalan jauh dari kota Solo dalam urusan sistem transportasi, maka pejabat pemerintah di Jakarta pun diminta belajar pada kota Solo.

Sebagian besar layanan publik di Jakarta, khususnya pendidikan dan kesehatan, juga terancam oleh swastanisasi. Sebagian besar masyarakat Jakarta pun kesulitan mengakses kedua layanan publik itu. Ini tidak terlepas dari kepatuhan Pemerintah Kota Jakarta terhadap sistim neoliberalisme.

Karena berbagai persoalan di atas, usulan agar Ibukota Negara dipindahkan dari Jakarta ke kota lainnya pun mencuat. Dalam beberapa hal, usulan itu sangat tepat mengingat bahwa konsentrasi penduduk dan ekonomi di Jakarta sudah berlebihan. Jakarta perlu diberi sedikit ruang untuk bernafas. Karenanya, usulan pemindahan Ibukota jangan sekedar sebuah wacana, tetapi perlu dikonkretkan sejak sekarang.

Leave a Response