Diskusi Pancasila Di Pinggir Jalan

Ada banyak diskusi tentang Pancasila, tetapi paling banyak dilakukan di ruang-ruang seminar atau cafe-cafe. Akibatnya, yang mendatangi diskusi semacam itu hanyalah orang-orang politik, aktivis, orang pemerintahan dan penggiat kegiatan sosial. Sedangkan rakyat banyak, karena berbagai rintangan dan kesibukan, akhirnya sangat jarang mengikuti diskusi semacam itu.

Di Makassar, Sulawesi Selatan, bertepatan dengan peringatan Hari Lahirnya Pancasila, sekelompok aktivis menggelar diskusi dan renungan tentang Pancasila di pinggir jalan. Ya, tepatnya di jalan Jend. Soedirman, tepat di depan Monumen Mandala.

Pelaksana kegiatan ini adalah sekelompok aktivis yang tergabung dalam Gerakan untuk Kemerdekaan Nasional (Graknas), semacam aliansi yang menghimpun 24 organisasi pergerakan di Makassar. Meskipun dibikin di pinggir jalan, tetapi diskusi ini tetap berlangsung serius dan malah diikuti banyak orang.

Para aktivis pun sengaja memilih malam hari, supaya kebisingan akibat kendaraan yang lewat tidak begitu terasa, juga agar lebih banyak masyarakat yang bisa datang. Malam itu, sekitar pukul 20.30 WITA, lagu “Indonesia Raya dan Garuda Pancasila” membahana dan sekaligus membuka diskusi ini.

Selain aktivis mahasiswa, gerakan buruh, dan partai politik, diskusi ini juga dihadiri sejumlah akademisi dari berbagai kampus. Ada tiga dosen yang hadir, sekaligus menjadi pembicara dalam diskusi ini, yaitu: Drs. Berto Tandiyayu (Universitas Atmajaya), Amiruddin, S.Pd (IAIN Alauddin), dan Dr. Firdaus Muhammad, S.E (IAIN Alauddin). Pembicara lainnya adalah Babra Kamal, ketua Partai Rakyat Demokratik (PRD) Sulsel.

Lunturnya Nilai-Nilai Pancasila

Drs. Berto Tandiyayu memulai diskusi ini. Dosen muda dari Universitas Atmajaya itu menganggap nila-nilai luhur Pancasila sudah banyak merosot. Indikatornya, kata dia, adalah sejumlah UU yang berbau neoliberal, padahal setiap UU semestinya mengacu kepada Pancasila sebagai filosofi dasar.

Lebih lanjut, Berto Tandiyayu mengatakan, ““Pancasila adalah rumusan bagi kesatuan berbagai suku, ras, dan agama di Indonesia. Suka atau tidak, adalah fakta bahwa Indonesia dibangun dari perjuangan keberagaman tersebut.”
Bagi mantan aktivis PMKRI ini, ancaman terhadap keberagaman di Indonesia, adalah ancaman terhadap Pancasila itu sendiri. “Pancasila menjamin keberagaman itu. Dan, keberagaman adalah kondisi real yang membentuk bangsa ini,” katanya.

Pendapat Berto Tandiyayu diperkuat oleh Amiruddin, S.Pd, pembicara dari IAIN Alauddin. Menurutnya, ada sebuah upaya sistematis dari sekelompok kaum fundamentalis untuk mengganggu persatuan bangsa itu, yang salah-satunya dengan mengusik keberagaman agama di Indonesia.

“Ini berpotensi memecah-belah bangsa ini, karena masyarakat kita terdiri dari berbagai kebudayaan, suku-bangsa dan agama,” kata Dosen IAUN Alauddin ini.

Ideologi Besar

Dr. Firdaus Muhammad, S.E, dosen dari IAIN Alauddin, memulai pemaparannya dengan mengangkat latar-belakang historis Pancasila dan kaitannya dengan berbagai ideologi besar pada jaman itu. “Tidak ada bangsa besar di dunia ini tanpa ideologi besar yang menopangnya,” kata mantan aktivis tahun 1998 ini.

Firdaus ingin menekankan bahwa usaha Bung Karno menggali Pancasila, lalu menjadikannya sebagai filosofi bangsa, adalah bagian dari mimpi besarnya menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar.

Tetapi pancasila juga punya kandungan ideologis yang kiri. Adalah Babra Kamal, ketua Komite Pimpinan Wilayah Partai Rakyat Demokratik (KPW-PRD) Sulsel, yang berusaha menjelaskan bagaimana Pancasila itu juga adalah kiri.

Menurutnya, empat prinsip dari Pancasila, yaitu Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau kemanusiaan, mufakat atau demokrasi, dan kesejahteraan sosial, adalah sejalan dengan nilai-nilai sosialisme.

Bung Karno, di mata alumnus Fakultas perikanan Unhas ini, selalu menolak politieke democratie (demokrasi politik) semata, tetapi selalu menekankan bahwa harus ada politieke democratie (demokrasi politik) dan ekonomische democratie (demokrasi ekonomi).

Pernah Diselewengkan

Diskusi tadi malam juga diramaikan oleh tanggapan para peserta diskusi. Salah seorang mempertanyakan, “kenapa Pancasila belum bisa mengubah nasib bangsa Indonesia menjadi lebih baik.”

Pembicara menjawab: “Karena Pancasila belum sepenuhnya dijalankan oleh bangsa Indonesia, khusunya para pemimpin nasional.”

Seorang peserta diskusi lainnya, Wahida Baharuddin Upa, dari Serikat Rakyat Miskin Indonesia, menceritakan bagaiaman Pancasila diselewengkan sejak jaman Orde Baru hingga sekarang ini.

Menurutnya, ketika Orde Baru berkuasa selama 32 tahun, Pancasila telah mengalami reduksi dan pendistorsian habis-habisan. “Saat itu, Pancasila identik dengan rejim Soeharto. Jadi, siapa yang menentang rejim Soeharto dan kebijakannya, maka mereka akan dicap sebagai anti-Pancasila,” kata aktivis yang turut melawan kediktatoran Orde Baru ini.

Sekarang ini, kendati pancasila tidak lagi paksakan seperti di jaman orde baru, tetapi benar-benar telah menghilang dari kehidupan bangsa Indonesia. “SBY menyebut dirinya masih setia pada Pancasila, tetapi kenyataannya dia adalah seorang neoliberal dan pendukung politik liberalisme,” kata Wahida.

Oleh karena itu, bagi Wahida, yang terpenting adalah bagaimana menerapkan dan mempraktekkan nilai-nilai Pancasila, bukan sekedar menghafal ataupun membacanya dalam teks-teks pidato.

>>>

Diskusi itu berjalan santai, hingga akhirnya berakhir pada pukul 22.00 WITA. Sebelum acara diskusi ditutup, para seniman dari Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (Jaker) tampil dengan membacakan puisi dan memainkan lagu perjuangan.

Lagu ‘Blowing In The Wind”, karya Bob Dylan, mengalun dan sekaligus menutup diskusi Pancasila di pinggir jalan ini.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid