Politik Musik RATM

“Aku memikirkan sesuatu yang secara metaforis menggambarkan kemarahan kami terhadap Amerika, terhadap sistim kapitalisme, yang telah memperbudak dan menciptakan ketidakadilan terhadap rakyat banyak.”

Begitu kata Zack de la Rocha, vokalis legendaris grup musik Rage Against The Machine (RATM), perihal asal-usul nama grup musik yang didirikannya. Tahun 1991, di Los Angeles, California, Amerika Serikat, ia dan kawannya, Tom Morello, mendirikan RATM.

Boleh dikatakan, Zack de la Rocha dan Tom Morello adalah nyawa utama RATM. Uniknya, kedua anak muda ini tumbuh dari tradisi kiri yang sangat kuat. Mereka bermusik bukan untuk sekedar juru-hibur, apalagi sekedar untuk keren-kerenan, tetapi untuk mengekspresikan sebuah tujuan politik.

Dua anak muda ini punya leluhur yang revolusioner. Kakeknya Zack adalah seorang revolusioner yang terlibat Revolusi Meksiko. Sedangkan bapaknya Tom, Ngethe Njoroge, anggota gerakan Mau-Mau yang memperjuangkan kemerdekaan Kenya. Kemudian pamannya Tom, Jomo Kenyatta, adalah pemimpin perjuangan kemerdekaan Kenya.

Tak heran, di usia belia, keduanya akrab dengan bacaan kiri. Si Tom, misalnya, sudah melahap karya-karya Kwame Nkrumah, bapak pembebasan Afrika. Ia juga punya koleksi buku Che Guevara, Guerilla Werfare.

Tapi keduanya tak punya darah Amerika murni. Itu sebabnya, dari kecil hingga remaja tanggung, di tahun 1970-an hingga 1990an, keduanya sangat kenyang dengan perlakuan diskriminatif dan rasisme.

Jangan ragukan riwayat pendidikan dua anak muda ini. Zack mendapat gelar Ph.D bidang Antropologi di University of California Irvine (UCI). Sedangkan Tom adalah alumnus ilmu politik Harvard University. Hebat, kan?

Tumbuh sebagai anak muda, keduanya tertarik dengan musik. Terutama yang berwana hip-hop dan metal alternatif. Maka si Tom bikin band metal, Lock Up. Sedangkan Zack bikin band hardcore Punk, Inside Out. Tapi dua-duanya tidak puas dengan band pertama mereka.

Mendukung Zapatista

Tahun 1991, ketika RATM memulai debutnya, kapitalisme sedang jaya-jayanya. Di belahan dunia lain, sosialisme lama sedang bangkrut. Jerman timur runtuh. Uni Soviet juga ambruk.

Tetapi, di belahan dunia lain, tepatnya di Meksiko, gerakan kiri lain sedang terbentuk. Di sana lahir Tentara Pembebasan Nasional Zapatista (EZLN). Tak terpungkiri, EZLN sangat mempengaruhi RATM.

Kalau sedang manggung, RATM kerap memasang latar belakang panggung mereka dengan gambar bintang merah. Itu identik dengan lambing EZLN. RATM juga kerap memasang wajah Che Guevara di panggungnya.

Album pertama RATM dinamai “Rage Against The Machine”. Sampul kasetnya mengambil gambar biksu di tengah kobaran api. Itu adalah foto Thích Quảng Đức, seorang biksu di Vietnam, yang melakukan aksi bakar diri sebagai bentuk protes terhadap persekusi orang Budha.

Album pertama langsung meledak. Lagu-lagu kebangsaan RATM, seperti Bombtrack, Killing in The Name, Take the Power Back, Know Your Enemy, dan Freedom, ada di album ini.

Album pertama ini sempat Billboard Top 50, UK Top 20, hingga meraih status penjualan triple platinum.

Tanggal 1 Januari 1994, bersamaan dengan dimulainya penerapan Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA), 3000-an kader EZLN merebut sejumlah kota di negara bagian Chiapas Meksiko.

Tak hanya mengumumkan pemberontakan terhadap negara Meksiko, EZLN juga mengumandankan perang tanpa damai terhadap neoliberalisme dan kapitalisme. Mereka juga mendirikan daerah bebas yang merdeka dan otonom.

Revolusi ala EZLN memikat RATM, terutama Zack. Tak hanya aktif menggalang donasi, RATM juga menjadi penyambung lidah EZLN untuk dunia luar. “Ini penting untuk saya, sebagai seorang artis yang populer, untuk memperlihatkan pemerintahan AS dan Meksiko yang meskipun menebar intimidasi dan ketakutan, dengan senjata, dengan hukum imigrasi dan militer, mereka tak akan sanggup mengisolasi rakyat Chiapas dari rakyat AS,” kata Zack, seperti dikutip Paul Stenning dalam “Rage Against the Machine: Stage Fighters”.

Tidak salah, di album yang kedua, Evil Empire, ada tiga lagu yang dipersembahkan untuk perjuangan dengan EZLN, yaitu “People of the Sun”, “Wind Below”, dan “Without a Face”.

Selain mendukung perjuangan EZLN, RATM juga memperjuangkan pembebasan Leonard Peltier, seorang aktivis masyarakat asli Indian-Amerika, yang dipenjara karena tuduhan membunuh dua petugas FBI. Lagu berjudul “Freedom” dipersembahkan khusus untuk Peltier.

RATM juga memperjuangkan pembebasan Mumia Abu-Jamal, aktivis cum jurnalis yang dipenjara karena tuduhan membunuh seorang petugas polisi. Selain menggelar konser untuk menggaungkan seruan pembebaasan Mumia, RATM juga mempersembahkan lagu khusus: Voice of the Voiceless.

Tak hanya itu, RATM—terutama Tom Morello—juga mendukung perjuangan gerilyawan Maois di Peru, Sandero Luminoso atau Shining Path. Meskipun Zack kurang mendukung strategi perjuangan kelompok tersebut.

Kiri Sekiri-kirinya

Jika banyak musisi takut berpihak secara politik karena takut kehilangan dukungan pasar, RATM justru tegas-tegasan menunjukkan posisi politiknya.

Mereka jelas penentang kapitalisme, sebuah sistim yang [oleh Zack de la Rocha] dianggap mengeksploitasi, memperbudak, dan menciptakan ketidakadilan bagi rakyat banyak.

RATM adalah satu-satunya band di bawah kolong langit ini yang berhasil manggung di Wall Street, jantungnya kapitalisme dunia. Bahkan, mereka berhasil menutup sebentar New York Stock Exchange. Itu terjadi tahun 2000, saat pengambilan video clip untuk lagu “Sleep Now in the Fire”. Gara-gara itu, semua personil RATM digelandang polisi.

“Untuk beberapa menit, RATM berhasil menghentikan kapitalisme Amerika,” kata Michael Moore, sutradara Amerika yang menyutradarai video clip tersebut.

Tahun 2001, Tom Morello, Tim Commerford dan Brad Wilk terlibat dalam aksi menentang agenda Perdagangan Bebas Amerika Utara (FTAA) di San Ysidro, California.

RATM juga kerap mendukung Serikat buruh dan perjuangan kelas pekerja. Seperti di tahun 1997, di Santa Monica, California, RATM mendukung perjuangan buruh garmen melawan upah murah dan kondisi kerja yang buruk. Gara-gara aksi itu, Tom sempat digelandang oleh polisi.

RATM sadar bahwa musik bukan hanya senjata. Seperti yang diakui drunmer mereka, Brad Wilk: “Suara dan musik kami adalah senjata kami.” Lebih dari itu, seperti dikatakan Tom dalam wawancara yang dikutip oleh socialistworkers.org, “RATM adalah jembatan antara musik dan pergerakan.”

Meski lahir, besar dan hidup di Amerika, bukan berarti RATM menganggap “AS harga mati. Jadi, kalau kau ngefans berat dengan mereka, jangan coba-coba suguhi mereka dengan jargon: “NKRI harga mati”. Mereka sangat membenci nasionalisme chauvinis.

Pernah terjadi, saat tampil di konser musik paling bergengsi di dunia, Woodstock tahun 1999, RATM membakar bendera Amerika Serikat di atas panggung. Ya, di atas panggung, di New York, di hadapan 200-an ribu orang.

Ceritanya, ketika lagu “Killing in the Name” sedang mengalun, lalu si Zack tiba di lirik: “Fuck you, I won’t do what tou tell me,” api sudah melalap The Star-Spangled Banner.

Mereka juga muak sistem demokrasi liberal, terutama model two-party system, yang diadopsi oleh Amerika. Makanya, ketika dua partai utama di AS itu bikin konvensi, baik Republik maupun Demokrat, RATM akan bikin panggung protes.

Tak hanya itu, mereka juga bicara tentang hak-hak imigran, menentang perang, menentang rezim tukang sensor, menentang rasisme, menentang persekusi terhadap kelompok minoritas, dan pernah memprotes penjara Guantanamo.

Kalau kau dengar lagu-lagu dan irama musik RATM, jangan harap air matamu akan menetes karena kelingan mantan pacarmu yang tega meninggalkanmu. Malah sebaliknya, kau akan melompat-lompat, mengentak-entak, adrenalinmu naik, dan mengancunkan tangan terkepal.

Sayang, usia RATM tidak panjang. Hanya 9 tahun. Pada oktober 2000, Zack meninggalkan band yang ia dirikan dan besarkan. Ia menuding pengambilan keputusan di RATM sudah tidak lagi demokratis dan kolektif.

Pasca itu, tahun 2001, tiga personil tersisa RATM mengajak Chris Cornell membentuk band baru: Audioslave. Sayang, band baru ini tidak seprogressif dan sepolitis RATM. Meskipun Audioslave tercatat sebagai band Amerika pertama yang pernah manggung di negara komunis Kuba.

Audioslave mentok. Tom kadang nyanyi solo dengan nama: The Nightwatchman. Ia juga terlibat dalam aksi-aksi menentang FTAA dan Occupy Wall-Street.

Tahun 2016, seakan ingin melanjutkan api RATM, Tom bersama Tim dan Brad mengajak veteran revolusioner dari grup band lain, seperti DJ Lord dan Chuck D dari Public Enemy, kemudian B-Real dari Cypress Hill, untuk membentuk Prophet of Rage.

Memang, di tahun 2007-2008, Zack dan kawan-kawannya bisa sepanggung lagi lewat konser-konser reuni. Tapi, ya, mereka tidak se-klop sebelumnya.

Dunia Butuh Musik Mereka?

Dunia pasca hilangnya RATM makin timpang dan bergejolak. Dekade ini, dunia memasuki tingkat ketimpangan terparah dalam sejarahnya. Berdasarkan catatan OXFAM, kekayaan 26 orang terkaya setara dengan 3,8 milyar atau separuh dari penduduk bumi ini.

Konflik dan perang juga tak berjeda. Malahan, dunia baru saja menyaksikan satu bentuk kekejian dan kebrutalan luar biasa pasca kekejian NAZI, yaitu perang dan terorisme yang dikobarkan oleh ISIS, Al-Qaeda, dan kelompok sektarian sejenis di berbagai belahan dunia.

Sementara itu, politik kanan yang fasistik sedang naik daun di negeri-negeri yang dianggap paling kaya dan mapan kehidupan demokrasinya. Bahkan, dua negara terkuat di dunia ini, Amerika Serikat dan Inggris, sedang diperintah oleh saudara kembar yang demogog, rasis, fasis, dan misoginis: Donald Trumpdan Boris Johnson.

Dunia kita juga makin genting. Tak hanya berhadapan dengan ketimpangan, kemiskinan, ancaman terhadap kebebasan dan demokrasi, tetapi juga terancam keberlangsungannya oleh krisis perubahan iklim.

Namun, seperti bait-bait puisi Wiji Thukul: jangan terus tindas rakyat yang membisu/ jika demikian/ kau seperti membangun bendungan yang bakal jebol/ arus menggasak/ hingga tamatlah kekuasaanmu.

Di berbagai tempat, kebrutalan neoliberalisme sedang mendapat perlawanan. Di Amerika latin, benua yang tak pernah sepi dengan perlawanan, dalam satu dekade sejak menghilangnya RATM (2000-2010), perlawanan terhadap neoliberalisme telah melahirkan pasang merah, yakni berkuasanya politisi atau partai kiri di lusinan negara Amerika latin.

Di tahun 2019 lalu, dunia sangat bergolak, bahkan melebihi pasang perlawanan di tahun 1960-an. Ada 24 lebih Negara yang digundang oleh protes besar rakyatnya.

Di Chile, salah satu negara yang diguncang aksi protes besar sejak Oktober 2019, sekelompok demonstran meng-cover lagu RATM, Killing in the Name, lalu menyanyikannya dengan bahasa lokal.

Dalam situasi itu, orang mengingat RATM. Dulu, tahun 1991, ketika RATM lahir, dunia masih dikuasai kanan. Neoliberalisme sedang digdaya. Hanya EZLN yang berhasil menggemparkan dunia kala itu.

Sekarang, neoliberalisme sudah di puncak krisis. Sudah banyak yang menyebutnya sistim yang gagal. Bahkan Francis Fukuyama, si intelektual yang pernah bilang bahwa sejarah sudah berakhir dan kapitalisme-liberal sebagai pemenangnya, sekarang meralat kesimpulannya. Sekarang dia bilang, Karl Marx ada benarnya dan sosialisme akan kembali.

Dalam situasi ini, RATM dirindukan. Lagu-lagu dan musiknya dirindukan orang agar membuat rakyat di seluruh dunia bangkit melawan kapitalisme. Make people rage again!

Karena, memplesetkan kata-kata Rene Descartes, Cogito Ergo Sum, maka kita akan bilang: “Demi melawan kapitalisme, RATM ada.”

Raymond Samuel

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid