Dari 1 Persen, Oleh 1 Persen, untuk 1 Persen!

Ini adalah artikel lama: tahun 2011. Namun, tema dan persoalan yang diangkat artikel ini sangat relevan untuk konteks sekarang. Sebelumnya, artikel ini dimuat di Vanity Fair.

Tidak ada gunanya menyangkal apa yang nyata terjadi seolah-olah tak terjadi. Bahwa 1 persen orang terkaya di Amerika menguasai seperempat dari pendapatan Negara setiap tahunnya. Bila ukurannya kekayaan, maka 1 persen orang terkaya menguasai 40 persen kekayaan nasional.

Banyak dari mereka yang hidupnya meningkat sangat pesat. Kira-kira 25 tahun yang lalu, angkanya masih di kisaran 12 persen dan 33 persen. Mungkin salah satu respon untuk merayakan kecerdikan dan keberuntungan orang-orang ini adalah pendapat bahwa pasang naik telah mengangkat naik semua perahu.

Respon itu jelas salah arah. Sementara 1 persen terkaya kekayannya meningkat 18 persen dalam dekade terakhir, maka mereka yang berada di lapis tengah justru mengalami penurunan pendapatan.

Mereka yang hanya lulusan sekolah menengah atas, penurunan pendapatan mereka sangat drastis—sekitar 12 persen dalam seperempat abad terakhir. Hampir semua pertumbuhan ekonomi dalam dekade terakhir mengalir ke lapis atas.

Dalam hal kesetaraan pendapatan, Amerika tertinggal sangat jauh dibanding negara-negara paling tua lainnya dan negara mana pun di Eropa. Yang agak dekat hanya dengan Rusia dengan oligarkinya, juga Iran. Di beberapa Negara yang dulu menjadi lubangnya ketimpangan di Amerika latin, seperti Brazil, sedang berjuang beberapa tahun terakhir, dan kelihatannya berhasil, untuk menaikkan derajat kaum miskin dan mengurangi ketimpangan. Sementara Amerika seakan membenarkan ketimpangan itu kian melebar.

Para ekonomi semenjak dari dahulu berusaha membenarkan ketidaksetaraan yang meluas dan meresahkan di pertengahan abad ke-19—ketidaksetaraan yang tak seberapa dibanding dengan apa yang kita lihat di Amerika sekarang ini. Pembenaran yang mereka pakai adalah “teori produktivitas marjinal”. Singkatnya, teori ini mengaitkan pendapatan yang tinggi, kontribusi yang tinggi, dan kontribusi yang lebih besar bagi masyarakat.

Ini adalah teori yang disukai oleh kaum kaya. Namun, bagaimana pun, validitasnya kurang. Para bos perusahaan yang berkontribusi pada resesi terakhir—yang kontribusinya pada masyarakat, juga perusahaan mereka sendiri, sangat negatif—justru menerima bonus besar.

Dalam banyak kasus, banyak perusahaan yang malu-malu menyebut pemberian bonus itu sebagai “bonus kinerja”, sehingga mengganti namanya menjadi “bonus retensi” (sekalipun yang mau dipertahankan itu sesuatu yang negatif alias buruk).

Sementara mereka yang telah menyumbangkan inovasi besar bagi masyarakat kita, dari pelopor penemuan genetika hingga perintis era informasi sekarang ini, justru menerima bayaran sangat kecil dibandingkan dengan mereka yang bertanggung jawab inovasi sektor keuangan yang membawa ekonomi global ke ambang kehancuran.

Banyak orang yang melihat ketimpangan pendapatan dan mengangkat bahu mereka. Jadi, siapa yang untung dan siapa yang buntung? Apa yang penting, kata mereka, bukan tentang bagaiamana kue itu dibagi, tetapi ukurannya.

Tentu saja, argument itu salah. Pengorganisasian ekonomi yang menyebabkan sebagian besar warganya justru terpuruk dari tahun ke tahun—seperti perekonomian Amerika sekarang ini—kemungkinan besar tidak akan berhasil dalam jangka panjang. Setidaknya karena beberapa alasan.

Pertama, melebarnya ketimpangan hanyalah sisi lain dari sesuatu yang lain: menyempitnya kesempatan. Dan ketika terjadi ketimpangan kesempatan, berarti kita tidak berhasil menggunakan seluruh aset kita yang paling berharga—rakyat kita—untuk menjadi produktif.

Kedua, banyak distorsi yang memicu ketimpangan—misalnya praktek monopoli dan Preferential tax  (pemberian fasilitas pajak kepada wajib pajak agar basis pajaknya mengecil)—merusak efisiensi perekonomian.

Ketimpangan belakangan ini menciptakan distorsi baru, yang makin merusak efisiensi perekonomian. Misalnya, banyak dari anak-anak muda kita yang paling berbakat, yang karena melihat keuntungan yang luar biasa, memilih terjun ke bidang keuangan ketimbang ke bidang ekonomi yang lebih produktif dan sehat.

Ketiga, mungkin ini yang terpenting, ekonomi modern membutuhkan “aksi kolektif”—pemerintah perlu banyak berinvestasi untuk infrastruktur, pendidikan, dan pengembangan teknologi.

Amerika serikat dan banyak negara lain di dunia mendapat manfaat besar dari penelitian yang disponsori oleh negara terkait internet, misalnya untuk memajukan kesehatan masyarakat dan lainnya. Tetapi Amerika sudah cukup lama dirugikan oleh minimnya investasi untuk infrastruktur (lihatlah kondisi jalan, jembatan, rel kereta api dan bandara kita), pada kegiatan penelitian, dan pendidikan di semua jenjang. Pengurangan anggaran untuk sektor-sektor di atas masih akan terus berlangsung.

Semua itu tidak mengejutkan—itu lumrah terjadi ketika distribusi kekayaan di masyarakat sangat timpang. Semakin masyarakat itu terbelah karena kekayaan, maka si kaya juga makin pelit mengeluarkan uangnya untuk kepentingan umum. Orang kaya tidak membutuhkan pemerintah hanya demi taman, pendidikan, kesehatan, dan perlindungan keselamatan pribadi—mereka bisa membeli semua itu dengan uangnya.

Dalam prosesnya, mereka makin berjarak dengan rakyat kebanyakan, bahkan kehilangan empatinya. Mereka khawatir dengan pemerintahan yang kuat—terutama yang dapat menggunakan kekuasannya untuk mengatur keseimbangan, mengambil sebagian  harta mereka (misalnya, pajak progressif), lalu menginvestasikannya untuk kepentingan bersama (program sosial).

Kaum 1 persen mungkin mengeluh dengan jenis pemerintahan di Amerika serikat, tetapi sebetulnya mereka menikmatinya: distribusi kekayaan yang macet dan pajak yang terlalu rendah.

Para ekonomi kurang percaya diri untuk menjelaskan melebarnya ketimpangan di Amerika. Dinamika permintaan dan penawaran mungkin berpengaruh: penggunaan teknologi mengurangi kelas buruh kerah biru. Globalisasi menciptakan pasar berskala global, yang mempersaingkan tenaga kerja kurang terampil berupah mahal di Amerika dengan pekerja kurang terampil berupah rendah di dunia ketiga.

Perubahan sosial juga berpengaruh—seperti merosotnya serikat buruh, yang dulunya mewakili sepertiga pekerja Amerika dan sekarang tinggal 12 persen.

Tetapi alasan terbesar mengapa ketimpangan kian melebar adalah karena kaum 1 persen memang menginginkannya. Contoh konkretnya: kebijakan soal pajak. Pajak yang rendah terhadap keuntungan modal (capital gains), yang memperlihatkan bagaimana si pemilik modal mendapat porsi terbesar pada pendapatannya, membuat orang terkaya Amerika seperti mendapat tumpangan gratis.

Monopoli dan hampir monopoli selalu menjadi sumber kekuatan ekonomi—dari John D. Rockefeller di permulaan abad 20 hingga Bill Gates sekarang ini. Penegakan hukum UU antitrust yang lemah, terutama ketika partai Republik yang memerintah, menjadi berkah bagi kaum 1 persen.

Ketimpangan sekarang ini paling banyak disebabkan oleh manipulasi sistem keuangan, yang memungkinkan utak-atik aturan terkait dibeli dan dibayar oleh industri keuangan itu sendiri.

Pemerintah meminjamkan uang kepada industri keuangan dengan bunga 0 persen, lalu memberikan gelontoran dana talangan yang mudah diakses dan syarat-syarat menguntungkan. Regulator kadang-kadang tutup mata terhadap kurangnya transparansi dan konflik kepentingan.

Kalau anda semata-mata hanya melihat tumpukan kekayaan yang dikuasai oleh kaum 1 persen, ini tampak menggoda untuk melihat melebarnya ketimpangan sebagai pencapaian Amerika—awalnya AS peringkat belakang, tetapi sekarang ketimpangannya terparah di dunia. Dan tampaknya, kita akan terus membangun hal semacam ini (baca: ketimpangan) hingga bertahun-tahun mendatang. Sebab, mereka yang diuntungkan cenderung memperkuat diri.

Sewaktu skandal pinjaman tahun 1980an—skandal yang dimensinya, bila memakai standar sekarang, terbilang sangat aneh—bankir Charles Keating ditanyai oleh Komite Kongres, apakah uangnya senilai 1,5 juta USD disebar ke sejumlah pejabat terpilih bisa benar-benar membeli pengaruh. “Saya tentu berharap demikian,” jawabnya.

Mahkamah Agung AS, dalam kasus “Citizen United” (skandal dana pemilu dari korporasi) baru-baru ini, telah melegalkan hak korporasi membeli pemerintah, dengan menghapus batasan maksimum belanja kampanye.

Kepentingan pribadi dan politik benar-benar bertaut sempurna. Hampir semua senator di AS, juga sebagian besar anggota DPR, adalah bagian dari kaum 1 persen ketika mereka sudah terpilih.

Mereka terpilih berkat sokongan uang dari kaum 1 persen. Mereka juga sangat sadar bahwa jika mereka melayani kaum 1 persen dengan sebaik-baiknya, maka mereka akan mendapat penghargaan dari kaum 1 persen itu bila sudah tak menjabat lagi.

Umumnya, pembuat kebijakan di eksekutif pun, terutama yang berurusan dengan kebijakan ekonomi dan perdagangan, juga berasal dari kalangan kaum 1 persen.

Ketika perusahaan farmasi menerima hadian triliunan dollar—melalui UU yang melarang pemerintah (pembeli terbesar obat-obatan) untuk tawar menawar harga—harusnya kita tak perlu heran.

Tidak perlu kaget kalau kebijakan pajak yang disahkan oleh Kongres adalah pemotongan pajak yang besar bagi si kaya. Beginilah cara sistem (ekonomi dan politik) ini bekerja: melayani kaum 1 persen.

Ketimpangan telah mendistorsi masyarakat Amerika dengan berbagai cara. Ada, misalnya, efek gaya hidup—orang-orang di luar kaum 1 persen hidup di luar kemampuan mereka karena meniru kaum 1 persen. Efek menetes ke bawah (trickle down effect) secara ekonomi mungkin hanya sebatas angan-angan, tetapi gaya hidup yang menetes ke bawah justru sangat nyata.

Ketidaksetaraan juga mendistorsi politik luar negeri kita. Kaum 1 persen sangat jarang yang mengabdi sebagai tentara. Kemudian, kaum 1 persen tidak merasa terjepit akibat pajak yang lebih tinggi ketika negerinya berperang: uang pinjaman bisa membayar semua itu.

Aturan main globalisasi sengaja dirancang untuk menguntungkan si kaya. Mereka mendorong persaingan antar negara dalam bisnis, yang konsekuensi kebijakannya adalah penurunan pajak, berkurangnya perlindungan kesehatan dan lingkungan, dan menghilangnya apa yang disebut hak normatif pekerja.

Coba bayangkan dunia ketika aturan mainnya memang dirancang untuk mempersaingkan antar negara. Harusnya, negara bersaing untuk memberi perlindungan ekonomi, pajak yang rendah untuk penerima upah minimum, pendidikan yang baik, dan lingkungan yang bersih. Tapi kaum 1 persen tak peduli dengan persoalan-persoalan di atas.

Lebih tepatnya, mereka (kaum 1 persen) tidak berpikir untuk itu (perlindungan sosial dan ekologi). Dari semua dampak kebijakan yang dipaksakan oleh kaum 1 persen terhadap rakyat (kaum 99 persen), mungkin ini yang paling mengerikan: lunturnya rasa identitas kita, juga aturan main yang adil, kesetaraan kesempatan, dan rasa kebersamaan sebagai warga.

Dari dahulu kala Amerika membanggakan diri sebagai masyarakat yang adil, di mana setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang maju. Tetapi fakta menunjukkan kenyataan lain: peluang warga negara yang miskin, bahkan kelas menengah, untuk melakukan mobilitas sosial justru paling kecil dibandingkan dengan negara-negara Eropa.

Perasaan bahwa sistem ini tidak adil, tidak mendapat perlakuan dan kesempatan yang sama, telah menyulut api kemarahan di Timur tengah: kenaikan harga pangan dan meningkatnya pengangguran di kalangan kaum muda menjadi penyulutnya.

Dengan pengangguran kaum muda di AS yang mencapai 20 persen (di beberapa tempat, dan di kelompok sosio-demografis tertentu, angkanya malah dua kali lipat), dengan 1 dari 6 orang Amerika yang mencari pekerjaan paruh waktu gagal mendapatkannya, juga 1 dari 7 orang Amerika menerima “food stamp” (bantuan makanan), semua ini menunjukkan bahwa kekayaan itu tidak menetes ke bawah (kekayaan menumpuk di tangan 1 persen).

Semua kenyataan itu menciptakan efek alienasi—jumlah pemilih yang berusia 20 tahun dalam pemilu terakhir hanya 21 persen (sebanding dengan jumlah pengangguran).

Dalam beberapa minggu terakhir, kami menyaksikan jutaan orang turun ke jalan untuk memprotes kondisi politik, ekonomi, dan sosial yang mengorbankan kaum 99 persen (rakyat banyak). Pemerintahan telah digulingkan di Mesir dan Tunisia. Protes juga meledak di Libya, Yaman, dan Bahrain.

Keluarga penguasa yang lain di kawasan lain sekarang memandang dunia dengan cemas dari apartemen mewah mereka. Akankah mereka akan menjadi target berikutnya? Mereka berhak untuk khawatir.

Ini adalah sebuah masyarakat di mana sebagian kecil anggotanya—kurang dari 1 persen—menguasai sebagian besar kekayaan nasional. Padahal, kekayaan merupakan faktor penentu relasi kuasa. Seringkali korupsi menjadi gaya hidup mereka. Dan si kaya (kaum 1 persen) menikmati semua kebijakan yang seharusnya dipakai untuk melayani kepentingan bersama.

Saat melihat berbagai kemarahan rakyat di jalanan (di negara-negara tersebut di atas), satu pertanyaan yang muncul dari sanubari kita: kapan itu terjadi di Amerika? Perlu diingat, negara kita, Amerika, bisa menjadi seperti salah satu dari negara yang bergolak dan bermasalah itu.

Alexis de Tocqueville pernah menggambarkan apa yang dilihatnya sebagai bagian penting dari kecerdasan masyarakat Amerika yang khas: sesuatu yang ia sebut “lebih memahami kepentingan pribadinya”.

Dua kata terakhirlah kata kuncinya. Setiap orang memiliki kepentingan pribadi dalam pengertian sempit: Saya ingin sesuatu yang baik untukku sekarang!  

“Memahami kepentingan sendiri” punya pengertian berbeda. Ini bermakna kita mengakui bahwa setiap orang punya kepentingan masing-masing. Dengan kata lain, ada kepentingan bersama. Kepentingan bersama ini merupakan prasyarat kesejahteraan setiap orang.

Tocqueville tidak menganggap ada sesuatu yang mulia dan idealis dalam pandangan ini. Dia justru beranggapan sebaliknya. Itulah bukti pragmatisme Amerika. Tiap orang Amerika yang berpikir menyadari betul kenyataan mendasar ini: bekerjasama dengan orang lain tidak hanya baik untuk jiwa, tetapi juga untuk bisnis/segala urusan.

Kaum 1 persen memiliki rumah termewah, pendidikan terbaik, dokter terbaik, dan gaya hidup terbaik, tetapi ada satu hal yang tak bisa dibeli dengan uang: pengertian bahwa nasib mereka sangat berkelindan erat dengan kehidupan rakyat 99 persen. Sepanjang sejarah, inilah yang kemudian dipahami oleh kaum 1 persen. Tetapi terlambat.

JOSEPH E. STIGLITZ, Professor ekonomi dan peraih penghargaan Nobel ekonomi

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid