Ada yang menarik dari penyampaian Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Andrinof Chaniago, saat menghadiri pembukaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Regional, di Palu, Sabtu (6/12/2014).
Dia menyoroti soal melebarnya jurang kesenjangan antara kaum kaya dan kaum miskin di Indonesia. Ia menggunakan indikator rasio gini. Menurutnya, rasio gini Indonesia saat ini sudah mencapai 0,43. “Rasio Gini ini sudah lampu kuning, sama dengan situasi sebelum meledaknya krisis 1997-1998,” kata Chaniago.
Isu penguasaan aset dan sumber daya ekonomi oleh segelintir orang bukan lagi cerita baru. Hingga saat ini, hanya 0,2 persen penduduk Indonesia menguasai 67 persen aset nasional. Malahan, baru-baru ini Ketua Majelis Permusyawatan Rakyat (MPR), Zulkifli Hasan, membeberkan: 4 persen warga Indonesia menguasai 95 persen potensi perekonomian yang ada, sementara ada 96 persen warga lainnya hanya berebut sisanya.
Yang saya lihat, kekhawatiran pemerintah soal melebarnya kesenjangan ekonomi ini masih berkutat pada dua hal: pertama, melihat kesenjangan ekonomi ini sebagai bias dari kebijakan pembangunan; dan kedua, pembahasan soal isu kesenjangan ini lebih didorong akan ketakutan atas imbas sosial-politiknya, yakni gejolak sosial-politik.
Cita-Cita Keadilan Sosial
Yang dilupakan, ada cita-cita besar yang dikumandangkan oleh negara ini sejak diproklamirkan, yaitu cita-cita mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh Rakyat-nya. Cita-cita besar ditorehkan dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 dan Pancasila sila ke-5.
Dalam pidato tanggal 1 Juni 1945, yang direkam sejarah sebagai Hari Lahirnya Pancasila, Bung Karno mengajukan pertanyaan mendasar: “Apakah kita hendak mendirikan Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang untuk sesuatu golongan? Mendirikan negara Indonesia Merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan kepada satu golongan yang kaya, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan? Apakah maksud kita begitu?”
Lalu Bung Karno menjawab sendiri. “Kita hendak mendirikan suatu negara semua buat semua. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi semua buat semua,” katanya.
Lebih lanjut, Bung Karno berbicara tentang cita-cita “keadilan sosial/ sociale rechtvaardigheid”. Konsepsi ini merupakan antitesa terhadap model kapitalisme di Eropa, yang hanya memakmurkan segelintir orang, tetapi menyengsarakan banyak orang. Konsep keadilan sosial menghendaki kemakmuran bersama.
Sistem Ekonomi Yang Berkeadilan Sosial
Jelaslah, keadilan sosial adalah cita-cita kemerdekaan sekaligus mimpi dari para pendiri bangsa kita. Namun, sebagai sebuah cita-cita besar, keadilan sosial masihlah sebuah lukisan ideal tentang bangunan masyarakat masa depan.
Kita sadar, antara lukisan sebuah cita-cita dan praktek di dunia nyata terdapat sebuah medan yang disebut ‘perjuangan’. Perjuangan inilah yang akan mewujudkan sebuah cita-cita menjadi realitas konkret. Nah, agar perjuangan ini berada di koridor yang tepat, tidak melenceng dari cita-cita ideal, para pendiri bangsa kita memberikan patokan-patokan idealnya. Dan, patokan ideal dalam memperjuangkan cita-cita keadilan sosial itu dirumuskan di dalam pasal 33 UUD 1945.
Pasal 33 UUD 1945 menganut demokrasi ekonomi. Pertama, pengorganisaian ekonomi yang berbasiskan pada usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Ini mengisyaratkan adanya pemilikan sosial terhadap alat-alat produksi. Pemilikan sosial terhadap alat produksi akan mencegah tampuk produksi berada di bawah genggaman ‘orang-seorang’ yang menentukan nasib rakyat banyak.
Kedua, produksi diselenggarakan secara sosial di bawah prinsip ‘produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat’. Hal ini akan mendorong demokrasi dalam penyelenggaraan produksi, termasuk di tempat kerja. Selain itu, produksi secara sosial ini akan mengubah relasi produksi diantara produsen, yakni dari relasi produksi kapitalistik menjadi demokratis-humanis.
Ketiga, orientasi produksi haruslah ditujukan pada kemakmuran semua orang atau rakyat. Dengan sendirinya, prinsip ini akan menjungkalkan logika produksi kapitalis, yakni memaksimalkan keuntungan (profit) bagi si kapitalis. Dalam hal ini, kepentingan masyarakat atau manusia-lah yang diutamakan, bukan orang-seorang/kapitalis.
Keempat, penguasaan negara—sebagai representasi dari kekuasaan rakyat—terhadap faktor-faktor produksi yang strategis dan menguasai hajat hidup orang banyak. Kendati demikian, harus disadari bahwa kepemilikan negara belum berarti pemilikan sosial. Hal ini sangat bergantung pada karakter kekuasaan yang sedang memerintah—seberapa jauh kekuasaan tersebut merepresentasikan kehendak dan kepentingan rakyat banyak.
Kelima, penguasaan negara terhadap sumber daya dan kekayaan alam nasional, yang meliputi bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, untuk kemakmuran rakyat. Di sini negara tampil sebagai pemegang mandat dari rakyat untuk mengelola sumber daya dan kekayaan alam nasional agar bisa memakmurkan rakyat.
Yang perlu diingat, bangunan masyarakat yang berkeadilan sosial bukanlah ‘makluk asing’ bagi bangsa Indonesia. Pengalaman historis di masa lampu, yakni masyarakat desa yang asli, pernah mempraktekkan kehidupan yang kolektif dan berkeadilan sosial.
Bung Hatta banyak mengulas karakter sosialistik masyarakat desa yang lampau melalui berbagai risalah dan pidatonya. Setidaknya ada tiga karakter pokok dari masyarakat desa tersebut: pertama, pemilikan sosial terhadap tanah sebagai alat produksi terpenting dalam masyarakat bercorak agraris; kedua, banyak pekerjaa, termasuk dalam lapangan berproduksi, dikerjakan secara gotong-royong; ketiga, semua hal yang menyangkut kebutuhan hidup bersama dan keperluan rakyat desa diputuskan melalui rapat desa alias musyawarah-mufakat (Kumpulan Pidato Muhammad Hatta, II, 1983).
Sayangnya, kolonialisme yang berlangsung beratus-ratus tahun banyak meruntuhkan tiang-tiang masyarakat desa yang asli itu. Ditambah lagi, praktek destruktif di era Orde Baru dan gempuran neoliberalisme sekarang ini. Namun demikian, puing-puing dari sendi-sendi kolektivisme desa masih ada yang bersisa hingga kini. Dan itu merupakan warisan historis yang bisa memperkaya perjuangan kita kedepan untuk mewujudkan masyarakat berkeadilan sosial yang lebih modern dan sesuai semangat zaman.
Kapitalisme Dan Kesenjangan
Sayangnya, sejarah memberi tahu kita fakta lain. Sejak rezim Orde Baru hingga sekarang, model ekonomi pasal 33 UUD 1945 hanya tertulis di atas lembaran kertas, tetapi tersisihkan dari ranah kebijakan ekonomi resmi pemerintah.
Sebaliknya, penyelenggara negara sejak era Orde Baru hingga sekarang ini lebih mengakomodasi model ekonomi kapitalistik, yang bertumpu pada akumulasi kapital, dengan ketergantungan yang sangat tinggi terhadap kapital asing.
Hal tersebut membawa konsekuensi. Pertama, sebagaian besar sarana produksi, dari mesin, pabrik, hingga tanah, tersentralisasi kepemilikannya di tangan segelintir orang. Selain itu, kegiatan ekonomi besar, seperti perdagangan, transportasi, perkebunan, dan sektor jasa, didominasi oleh pemodal besar, baik swasta domestik maupun asing. Sementara mayoritas rakyat menghidupi diri dan keluarganya melalui produksi kecil-kecilan. Pada tahun 1920-an, Soekarno mendefenisikan produsen kecil-kecilan ini sebagai ‘marhaen’.
Situasi tersebut melahirkan lautan marhaen yang mendominasi struktur ekonomi produksi di Indonesia. Ini bisa dilihat pada struktur produsen di Indonesia. Pada tahun 2008, dari 51,262 juta unit usaha di Indonesia, 50,697 atau 98,9% adalah usaha mikro, 520.221 (1,01%) usaha kecil, 39.657 (0,08%) usaha menengah, dan hanya 4.463 (0,01%) usaha berskala besar.
Kedua, negara—yang menghamba pada model ekonomi kapitalistik—menyerahkan pengelolaan sebagian besar sumber daya alam nasional, seperti tanah, air, hutan, bahan tambang, kepada kapitalis besar. Sementara rakyat kecil, seperti petani dan masyarakat adat, disingkirkan dari pengelolaan sumber daya alam tersebut.
Ketiga, untuk menopang proses akumulasi keuntungan yang berkelanjutan bagi para kapitalis, negara konsisten menerapkan politik upah murah. Akibatnya, kaum buruh dipaksa hidup dengan upah sangat rendah. Situasi ini diperparah oleh tidak adanya jaminan atas pekerjaan, kondisi kerja yang layak, dan sistim jaminan sosial.
Keempat, model ekonomi sepanjang orde baru hingga sekarang ini tetap mengadopsi model ekonomi kolonial, yakni ekonomi ekspor. Model ekonomi ini menyerupai ‘ekstraktivisme’, yang menekankan pada eksploitasi sumber daya alam secara intensif dan brutal untuk diekspor dalam bentuk bahan baku ke pasar dunia. Dalam hal ini, Indonesia diposisikan sebagai pengekspor bahan mentah dengan harga murah untuk menyuplai kebutuhan bahan baku bagi industri di negara-negara kapitalis maju.
Model ekonomi ekspor alias ekstraktivisme ini membawa dampak buruk bagi ekonomi nasional: satu, pengabaian terhadap pasar internal. Dalam hal ini, pemerintah tidak peduli dengan peningkatan daya beli rakyat. Dua, mengabaikan pembangunan industri olahan sebagai basis untuk membangun industri nasional. Dan ketiga, tidak berkepentingan untuk memajukan pengetahuan dan keterampilan sebagai basis memajukan kekuatan-kekuatan produktif.
Lebih lanjut, kombinasi dari berbagai konsekuensi di atas melahirkan ketidakadilan dalam proses redistribusi keuntungan dan kekayaan nasional. Inilah yang terus-menerus menggali jurang yang kian lebar antara segelintir kaum kaya dan mayoritas rakyat yang melarat.
Belum lagi, di bawah sistem neoliberalisme seperti sekarang ini, negara dipaksa untuk memangkas anggaran atau belanja sosial yang berpotensi mendorong redistribusi kekayaan, seperti kebijakan subsidi, jaminan sosial, dana pensiun, dan lain-lain.
Dengan demikian, pangkal soalnya sudah jelas: model ekonomi yang kapitalistik. Kapitalisme merupakan sistim ekonomi yang bekerja untuk menumpuk kekayaan individu/kapitalis dengan mengabaikan pemenuhan kebutuhan masyarakat/manusia. Dalam kapitalisme, yang bekerja adalah logika kapital, yakni menumpuk laba sebesar-besarnya bagi si kapitalis. Karena itu, keserakahan merupakan hal yang inheren dalam kapitalisme.
Kapitalisme adalah musuh dari keadilan sosial. Logika kapitalisme adalah mencari laba. Selain itu, kapitalisme juga mengekalkan kepemilikan pribadi dan persaingan bebas. Jadinya, di bawah motif pencarian laba itu, pemilik alat produksi yang sekaligus pemilik kekayaan berkuasa penuh atas produksi dan keuntungannya. Dan, karena produksi dan keuntungannya dikuasai oleh si kapitalis, maka mayoritas rakyat akan kesulitan mengakses sumber daya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Di tahun 1932, melalui risalah yang berjudul Kapitalisme Bangsa Sendiri, Soekarno menyebut kapitalisme sebagai sistim yang memisahkan kaum buruh dari alat-alat produksi cenderung melahirkan “verelendung” (pemiskinan) terhadap massa-rakyat. Sementara Bung Hatta mengatakan, “semakin dalam kapitalisme masuk ke dalam masyarakat Indonesia, semakin rusak penghidupan rakyat yang tidak punya pertahanan lagi.”
Saya kira, itulah yang menjadi alasan bagi kedua pendiri bangsa itu untuk menolak kapitalisme. Keduanya membuang jauh-jauh model ekonomi kapitalistik dari pilihan sistim ekonomi Indonesia merdeka. Sebaliknya, keduanya mengadvokasi model ekonomi yang mengedepankan keadilan sosial.
Lonceng Peringatan
Saya kira, makin melebarnya jurang kesenjangan antara kaum kaya dan kaum miskin di negeri ini telah menabuh lonceng peringatan kepada penyelenggara negara sekarang ini, pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, untuk beberapa hal.
Pertama, melebarnya jurang kesenjangan sosial selalu dibuntuti oleh potensi gejolak sosial. Dan pemerintah manapun pasti tahu, setiap gejolak sosial akan merembes pada ketidakstabilan politik. Karena itu, jika pemerintah tidak mengambil langkah konkret untuk mengatasi kesenjangan itu, maka sama saja dengan membiarkan dirinya berada di bibir jurang.
Kedua, kesenjangan sosial yang kian melebar itu bukan sekedar ekses dari kebijakan pembangunan, melainkan konsekuensi tak terelakkan dari model ekonomi kapitalistik. Bagi kami, kesenjangan ekonomi inheren dalam sistim kapitalisme.
Ketiga, proses penyelenggaraan negara selama ini, terutama sejak Orde Baru hingga sekarang ini, terutama dalam sistim ekonomi dan politiknya, telah gagal mewujudkan janji-janji kemerdekaan. Para penyelenggara negara terbukti mengabaikan cita-cita besar kemerdekaan, yakni keadilan sosial.
Saya kira, kenyataan di atas mendesak pemerintahan Jokowi-JK pada pilihan tak terelakkan: melanjutkan penyelenggaraan negara yang memunggungi cita-cita keadilan sosial atau mengembalikan penyelenggaraan negara ini pada cita-cita keadilan sosial.
Sayang, kalau kita lihat praktek kebijakannya selama 6 bulan ini, pemerintahan Jokowi-JK masih melanjutkan model ekonomi yang menyimpang dari cita-cita keadilan sosial. Pendekatan kebijakannya belum bergeser dari agenda neoliberal: mencabut subsisi sosial, menyerahkan harga kebutuhan pokok dan layanan publik pada mekanisme pasar, bersandar pada investasi asing, dan bergantung pada utang luar negeri.
Rudi Hartono, Wakil Sekretaris Jenderal Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (KPP-PRD) dan pemimpin redaksi Berdikari Online
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid