Bung Karno, Arsitek Sebuah Bangsa

Saya tidak yakin di kemudian hari akan menjadi pembangun rumah. Tujuan saya ialah untuk menjadi pembangun sebuah bangsa.” Begitulah kata Bung Karno kepada seorang gurunya di Sekolah Teknik Bandung, Professor Ir Wolf Schoemaker, yang menawarinya pekerjaan merancang pembangunan perumahan Bupati.

Meski ditolak, Sang guru terus mendesak Soekarno. “Jangan ambil pekerjaan jangka lama. Bangunlah satu rumah ini saja untuk Bupati,” kata sang Professor merayu bekas muridnya. Bung Karno tak bisa menolak lagi. Pekerjaan itu diterimanya dan berhasil dilakukan dengan baik.

“Aku membuat rencana (rancangan) kabupaten hanya karena sangat menghargai dan menghormati professor itu. Akan tetapi, ini adalah pertama dan terakhir aku bekerja untuk pemerintah,” kata Bung Karno.

Pekerjaan sebagai insinyur, di jaman itu, sangatlah bergengsi. Di kalangan pribumi, jumlah insinyur bisa dihitung jari. Saat itu, di sekolah Teknik di Bandung, hanya ada 11 orang pribumi. Salah satunya adalah Bung Karno.

Tanggal 25 Mei 1925, Bung Karno resmi menyandang gelar “insinyur”. Ia menjadi spesialis di bidang teknik jalan raya, konstruksi pelabuhan dan pengairan. Di samping itu, Bung Karno punya keahlian dalam hal perencanaan kota. Tak heran, tawaran pekerjaan bertalu-talu datang kepadanya.

Ia pernah mengeritik tata-ruang kota Bandung kala itu. Katanya, kota Bandung dirancang tak ubahnya kandang ayam. Rumahnya dibangun sempit, jalanannya pun sempit, bahkan lahan untuk membangun rumah/gedung juga sempit. Bung Karno menganggap teknik ini mengambil semangat pedagang rempah-rempah.

Tahun 1926, sekalipun tidak menerima tawaran pekerjaan dari pemerintah, Bung Karno membuka biro arsitek bersama kawannya, Ir Anwari. Beberapa rumah, dengan ukuran kecil-kecil, berhasil dibangun Bung Karno dari tahun 1925-1929. “aku ini berpikiran besar, tapi yang aku rancang rumah-rumah kecil,” keluhnya. Beberapa rumah buah tangan Bung Karno di kota Bandung, Jawa Barat, masih bertahan hingga sekarang.

Pada tahun 1932, sekeluarnya dari penjara Sukamiskin Bandung, Bung Karno kembali membangun biro arsitek. Kali ini ia menggandeng kawannya yang lain, Ir Rooseno. Saat itu, Bung Karno mengerjakan rancangan dari rumah-rumah yang hendak dibangunnya, sedangkan Rooseno membuat hitungannya (kalkulasi). “Rencanaku (rancangan) bagus-bagus. Tidak begitu ekonomis (mahal) tetapi indah,” puji Soekarno terhadap karyanya sendiri.

Namun, bagi Soekarno, usahanya membangun biro arsitek hanyalah untuk “menyambung kehidupan”. Pada kenyataannya, sebagian besar waktunya dipergunakan untuk pergerakan politik. Ia pun akhirnya membangun sebuah partai politik radikal-progressif: Partai Nasional Indonesia (PNI).

Membangun bangsa (nation building)

Satu hal yang menonjol dari Bung Karno, yang membedakannya dengan pendiri bangsa yang lain, adalah kerja-kerasnya untuk membangun bangsa dengan karakter dan jiwanya sebagai manusia baru Indonesia. Manusia baru itu adalah manusia merdeka, anti-kolonial, dan anti-imperialisme.

Bagi Soekarno, bangsa yang pernah ratusan tahun diinjak-injak kolonialisme harus dibebaskan terlebih dahulu jiwanya. Mental bangsa terjajah, seperti perasaan rendah diri (inferiority complex), harus disikat habis. Untuk itu, rakyat harus dibangkitkan rasa percaya diri dan kemampuannya.

Bung Karno menyebut usahanya sebagai tahap “nation building”. Ia berseru-seru agar bangsa Indonesia meninggalkan segala macam mental keinlanderan. Ia menyerukan perlunya memperbaharui mentalitas sebuah bangsa. Ia meminta manusia baru Indonesia agar menjadi patriot bangsa dalam kesederhanaan. Sebagai pembenarannya, ia mengutip George Bernard Shaw: kebahagiaan sejati adalah membaktikan dirimu pada sesuatu yang besar.”

Soekarno, yang ahli memahami jiwa massa itu, menganggap perlu memberi kebangaan nasional kepada rakyatnya. “Kalau aku sudah berangkat, maka satu-satunya alat pemersatu yang akan mengikat seluruh tanah-airku adalah kebanggaan nasionalnya yang sudah tertanam di dalam dada masing-masing,” katanya.

Pada tahun 1960, ia sudah merancang pembangunan 350-an proyek penting untuk dibangun. Sebagai tahap awal, ia berusaha mengimplementasikan idenya itu pada Ibukota Republik, Jakarta. Sekalipun Jakarta masih berlumpur dan jalannya masih sangat sedikit, Bung Karno telah membangunkannya gedung-gedung bertingkat, jembatan berbentuk daun semanggi, stadion terbesar di asia kala itu, patung-patung, monumen, dan lain-lain.

Bung Karno berambisi mengubah Jakarta dari kota kolonial menjadi kota kebanggan bangsa Indonesia. Dan, supaya tak asal bangun, maka ia menunjuk seorang seniman Lekra, namanya Henk Ngantung, sebagai gubernur. Baginya, menata kota tak bisa dilepaskan dari visi seniman.

Tetapi, tidak sedikit orang yang mengeritik proyek Bung Karno itu. Bagi mereka, proyek Bung Karno itu, sering disebut “politik mercusuar”, telah menghambur-hamburkan uang rakyat. Soekarno lantas menjawab, “memberantas kelaparan memang penting, tetapi memberi makan kepada jiwa yang telah diinjak-injak oleh kolonialisme, dengan sesuatu yang membangkitkan kebanggaan mereka, inipun penting.”

Penulis buku “Biografi Politik Soekarno”, Kapitsa MS dan Maletin NP, mengatakan, tugas “revolusi kerohanian” memang penting bagi negara baru, tetapi tidak bisa mengesampingkan pembangunan ekonomi. Bagi penulis Soviet ini, pembangunan mental dan pembangunan ekonomi mestinya berjalan beriringan. Sebab, kegagalan ekonomi, khususnya pemenuhan hak dasar rakyat, bisa menjadi pintu masuk bagi imperialis untuk melakukan sabotase dan destabilisasi. Inilah yang terjadi pada kekuasaan Bung Karno.

Meski demikian, kita tidak bisa menihilkan kontribusi besar proyek “nation building” Bung Karno itu. Kalau tak ada proyek nation-building itu, mungkin Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah tercabik-cabik seperti Yugoslavia.

Ira Kusumah, aktivis dan contributor Berdikari Online

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid