Pada zaman dahulu, menurut novel atau film silat populer, kesaktian biasa diidentikkan dengan tenaga supranatural yang dimiliki para pendekar sehingga mereka dapat menembus dinding, menghilang dari pandangan, atau berada pada dua tempat yang berjauhan dalam waktu bersamaan. Namun, pada era modern sekarang ini, agar dapat “sakti” seperti demikian seseorang tidak perlu mengenal ilmu kebatinan apapun. Ia hanya perlu fasih berbudaya KKN- Korupsi, Kolusi atau Nepotisme- seperti halnya Gayus Tambunan sehingga mampu menembus dinding rutan, menghilang dari pandangan aparat penegak hukum, atau berada di Bali menonton tennis dan di Jakarta mendekam di rutan pada waktu yang bersamaan. Selain Gayus yang memang fenomenal di tahun 2010, publik di Indonesia sempat juga mengenal “kesaktian” serupa yang diperagakan Artalyta Suryani di tahun 2000-an ataupun Edy Tansil di tahun 1990-an. Semakin kuat budaya KKN seseorang, maka dapat dipastikan semakin “sakti” dia. Dan semakin banyak orang yang berbudaya KKN, maka semakin banyaklah orang “sakti” di negeri ini. Wajar kalau akhirnya dapat kita simpulkan bahwa Indonesia adalah gudangnya orang sakti.
Kini, seiring semakin terbukanya arus informasi dan meningkatnya kebebasan media massa paska Reformasi, semakin terang benderang budaya KKN nyatanya telah berakar kuat dalam kepala manusia Indonesia yang (sialnya) bekerja menyangga birokrasi trias politica NKRI, seperti contohnya oknum di kepolisian, kejaksaan, kehakiman, departemen-departemen, gubernur, bupati, hingga DPR maupun DPRD. Publik menjadi saksi, bagaimana tanpa kenal lelah setiap harinya media elektronik atau cetak menyuguhkan berita KKN tentang aparat polisi yang disuap, jaksa yang disuap, hakim yang disuap, menteri yang korupsi, dirjen yang korupsi, gubernur yang korupsi, bupati yang korupsi, DPR yang disuap, DPRD yang korupsi, dan sebagainya. Kesemua ini adalah realitas, bahwa KKN sejatinya adalah kebudayaan yang menghegemonik kuat dalam birokrasi negara kita.
Darimanakah sebenarnya asal budaya KKN ini? Budaya KKN berakar pada sisa-sisa feodalisme, budaya tidak produktif, primordialisme, dan juga mental inlander. Sisa-sisa feodalisme menyisakan kebiasaan menarik dan menerima upeti (suap), budaya tidak produktif menyuburkan mental korup, primordialisme berujung pada nepotisme, dan mental inlander berakibat pada rendahnya rasa tanggung jawab dan jatuhnya martabat sebagai manusia yang beradab. Karena itu sangat lumrah budaya KKN sering didapati pada sosok manusia yang berwatak yang reaksioner, konservatif/feodal, kesukuan/primordial, yang pastinya bermuka tebal.
Akhirnya kami berkesimpulan, bahwa ternyata 12 tahun Reformasi tidak membawa Indonesia kepada situasi yang lebih baik. Sudah saatnya rakyat melirik pada Revolusi, tidak lagi terbius oleh segala jargon reformasi. Reformasi birokrasi terlalu lamban dan tidak akan sanggup menyelesaikan persoalan KKN yang berakar dan semakin menggurita- apalagi pemberantasannya kerap dilakukan secara tebang pilih dan selalu terbentur mafia peradilan yang masih sangat kuat bercokol. Perlu juga kita apresiasi dukungan luas dan massal dari masyarakat demi pemberantasan KKN tanpa tebang pilih, sehingga saat ini tidak ada calon kepala daerah yang tidak mencantumkan program pemberantasan korupsi sebagai program unggulannya jika kelak terpilih.
Sudah saatnya Negara membuka diri bagi terciptanya suatu Revolusi di dalam birokrasi. Revolusi birokrasi dari atas dapat dilakukan pertama-tama dengan memotong angkatan tua yang konservatif, demi melakukan peremajaan dalam birokrasi. Semisal dengan memensiunkan dini seluruh PNS berusia 35-40 tahun ke atas, kemudian mengganti pos-pos yang ditinggalkan kaum tua dengan pemuda-pemudi lulusan kampus atau SMU terpilih. Setelah sistem peremajaan berjalan, wajib dilakukan mutasi berkala di eselon-eselon yang rawan KKN. Secara hukum, selain dengan mengganti seluruh pimpinan kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman dengan para perwakilan masyarakat sipil yang kredibel dan terkontrol publik, akan diberlakukan hukuman kurungan seumur hidup bagi setiap pelanggaran hukum terkait KKN baik ringan maupun berat.
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid