Buah Pahit Sidang Paripurna DPR

Apa yang dihasilkan Sidang Paripurna DPR pada 30 Maret 2012 lalu: Harga BBM ‘tidak jadi naik’ pada tanggal 1 April 2012. Anggapan itu betul, dan pada 1 April kemarin harga BBM memang belum naik. Dengan demikian, di mata banyak orang, DPR—yang seolah merespon protes rakyat itu—telah menunda kenaikan harga BBM. Tapi benarkan kenaikan harga BBM ditunda?

Hasil Sidang Paripurna DPR itu bukan menunda kenaikan harga BBM, melainkan menemukan “jalan baru” untuk menghantarkan harga BBM di Indonesia sampai pada mekanisme pasar dunia. Dan, setelah melalui ‘perdebatan yang seolah-olah sangat sengit’, Sidang Paripurna DPR pun menemukan jalan baru itu: UU APBN-P tahun 2012 pasal 7 ayat 6 (a); “dalam hal harga rata-rata minyak Indonesia (Indonesia Crude Oil Price/ICP) dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan rata-rata sebesar 15 persen dalam enam bulan terakhir dari harga minyak internasional yang diasumsikan dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2012, maka pemerintah berwenang untuk melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukungnya”.

Pasal 7 ayat 6 (a) ini membawa dua konsekuensi: Pertama, harga BBM di Indonesia akan disesuaikan dengan harga minyak internasional. Kita tahu, penetapan harga rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP) ditentukan dengan mengacu pada West Texas Instrument (WTI) dan NYMEX (pasar komoditas New York). Kedua, keputusan menaikkan harga BBM sepenuhnya di tangan Presiden. Dengan demikian, ketika harga ICP sudah rata-rata 15% di atas asumsi APBN selama 6 bulan, maka Presiden bisa mengumumkan kenaikan harga BBM tanpa menunggu persetujuan DPR.

Dengan melihat pasal 7 ayat 6 (a) itu, maka kenaikan harga BBM sebetulnya bisa terjadi dalam waktu dekat. Asumsi harga minyak yang disepakati APBN-P 2012 adalah 105 dollar AS. Dengan demikian, ambang penaikan harga BBM adalah 120,75 USD, sedangkan ambang penurunan harga BBM adalah 89,25 USD.

Berdasarkan data pemerintah, ICP pada bulan oktober mencapai 109,25 USD perbarel, November mencapai 112,94 USD per barel, Desember mencapai 110,70 USD per barel, Januari mencaia 115,90 USD per barel, Februari 122,17 USD per barel, dan Maret 128 USD per barel. Artinya, rata-rata ICP dalam enam bulan terakhir sudah berkisar 116,66 USD per barel.

Dengan demikian, jika ICP bulan April melebihi 135 USD per barel, maka rata-rata ICP dalam kurun enam bulan terakhir sudah melebihi ambang batas, yaitu 120,75 USD per barel. Artinya, jika benar terjadi demikian, maka Presiden SBY bisa menaikkan harga BBM pada bulan Mei mendatang. Dan, itu tidak perlu menunggu persetujuan DPR.

Situasi ini menempatkan bangsa Indonesia dalam situasi sangat berbahaya. Gejolak harga minyak dunia saat ini sangat ditentukan oleh aksi-aksi spekulasi bursa komoditi berjangka. Artinya, jika mekanisme penentuan harga BBM Indonesia mengacu pada harga minyak dunia, maka pemerintah sama saja membiarkan nasib 230 juta rakyat Indonesia dipertaruhkan di ujung “kertas” yang dipegang segelintir bank-bank raksasa, korporasi minyak, dan hedge fund di Wall Street.

Penetapan pasal 7 aya 6 (a) telah membuka jalan bebas hambatan kepada pemerintah untuk menyerahkan harga BBM sesuai mekanisme pasar. Ketentuan ini juga sejalan dengan keinginan lembaga-lembaga asing, seperti IMF, Bank Dunia, USAID, ADB, dan OECD, yang menghendaki penghapusan subsidi di Indonesia. Inilah konsekuensi dari jalan neoliberal yang terus-menerus dilakoni sebagai haluan ekonomi oleh rezim SBY-Budiono.

Kondisi itu  sebenarnya sangat berlawanan dengan konstitusi; UUD 1945. Dalam pasal 33 UUD 1945—yang sering didaulat sebagai landasan konstitusional perekonomian Indonesia—prinsip utama pengelolaan sumber daya alam, termasuk energi, adalah mendatangkan sebesar-besarnya kemakmuran bagi rakyat. Hal itu hanya mungkin terjadi jikalau rakyat berdaulat penuh atas pemilikan, pengelolaan, dan peruntukan keuntungan dari kekayaan alam tersebut.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid