Apa Hubungan Kemiskinan Dan Bencana Alam?

Dalam setiap uraian mengenai hubungan kemiskinan dan bencana alam, pihak pejabat pemerintahan selalu membuat uraian terbalik, yaitu, bahwa bencana merupakan salah satu faktor yang menghambat pemberantasaan kemiskinan. Seperti pernyatan Menkokesra Agung Laksono beberapa pekan yang lalu, yang dengan jelas menuding bencana sebagai penghambat program pemerintah untuk mengurangi angka kemiskinan.

Sebaliknya, sangat sedikit sekali analisis yang mengungkapkan kenyataan bahwa orang miskin merupakan “makanan paling empuk” dari setiap bencana alam. Ada yang mengatakan, bencana alam tidak akan pernah melihat siapa korbannya, entah orang miskin atau kaya. Iya, pernyataan itu ada benarnya. Tetapi, kenyataan menunjukkan fakta bahwa, dalam berbagai bencana alam yang terjadi di Indonesia dan negeri-negeri lain, orang miskin selalu menjadi paling rentan untuk menjadi korban bencana.

Amukan gunung Merapi beberapa hari terakhir mengkonfirmasi kebenaran dari kesimpulan di atas. Meskipun pemerintah telah mengeluarkan himbauan agar rakyat meninggalkan daerah-daerah yang dianggap tidak aman dari erupsi merapi, sebagian masyarat tetap memilih untuk bertahan atau bolak-balik ke kampungnya guna memastikan keadaan ternaknya.

Ternak, bagi masyarakat di sekitar Merapi, adalah sumber penghidupan mereka. Mereka kembali ke lereng Merapi lantaran sapi-sapi itu merupakan satu-satunya harta benda yang mereka miliki. Setelah memberi pakan pada ternaknya, mereka kembali ke pengungsian. Tapi, apa daya, bencana datang tanpa disangka-sangka.

Demikian pula dengan rakyat yang ditinggal di sepanjang garis pantai di kepulauan mentawai. Sebagian besar warga yang tinggal di sepanjang garis pantai adalah nelayan dan mereka yang bergantung secara ekonomis pada kegiatan wisata. Akan menjadi sebuah anjuran yang bodoh dan tolol, seperti baru-baru dinyatakan ketua DPR Marzuki Ali, untuk meminta warga menjauh dari laut tanpa memberikan pekerjaan yang lebih baik dari aktivitas sebagai nelayan dan bisnis wisata.

Pertama, Bagi rakyat miskin, karena tekanan-tekanan ekonomis yang sangat berat dan bersifat darurat, memiliki sedikit sekali pilihan-pilihan untuk memilih atau tinggal di daerah yang aman.

Kedua, Karena posisi ekonomi dan keterbatasan aksesnya terhadap sumber daya (alat transportasi, saluran komunikasi, dll), maka orang miskin sangat sulit untuk melakukan evakuasi diri ketika terjadi bencana.

Ketiga, Karena orang-orang miskin kesulitan mengakses pendidikan dan informasi, sehingga mereka kurang pengetahuan pula untuk mengenali tanda-tanda bencana dan sedikit tahu cara menghindarinya.

Meskipun faktor-faktor lain selain kemiskinan, seperti takhyul dan kepercayaan tradisional, juga seringkali menjadi penghambat kelompok masyarakat dievakuasi dari lokasi bencana alam.

Dikarenakan orang-orang miskin memiliki sedikit pilihan dan terpaksa mendiami daerah-daerah berbahaya, maka geopolitik kemiskinan punya keterkaitan dengan geografi bencana. Bukankah sudah umum dikatakan, bahwa orang miskin yang punya keterbatasan hanya bisa bergantung kepada kemurahan alam di sekitarnya.

Inilah yang terlupakan oleh pemerintah. Alih-alih memikirkan cara untuk memindahkan orang miskin dari daerah-daerah rawan bencana, pemerintah justru menghancurkan sarana-sarana produksi mereka. Sebagian besar orang miskin berpindah dari lahan atau tempat-tempat produktif karena kebijakan pemerintah, seperti PHK massal, penggusuran, dan perampasan tanah. Disamping kebijakan-kebijakan pemiskinan lainnya.

Menurut hemat kami, program kesejahteraan rakyat harus berjalan berbarengan dengan upaya menciptakan rasa aman bagi rakyat dari bencana. Demikian pula dalam setiap evakuasi masyarakat, pemerintah perlu memberikan jaminan keamanan terhadap harta benda rakyat di lokasi bencana atau setidaknya menyediakan ganti-rugi kepada rakyat.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid