Antara Kematian dan Jejer Kemanusiannya

O, surem-surem diwangkara kingkin
Lir manguswa kang layon
Sirna ilang dennya memanise
Wadananira landhu kumel kucem
Rahnya mratani
Marang sariranipun
Meles dening ludira kawang-wang

—Sendon Tlutur

Terdapat salah satu fragmen dalam novel Arundhati Roy, The God of Small Things, yang melukiskan kematian laiknya semut yang merayap di dalam kaos kaki. Novel itu, seingat saya, juga cukup apik dalam melukiskan ketakluhuran kaum komunis di Kerala, India.
Tentang kategori luhur ataupun tak luhur tentu saja tak merepresentasikan keseluruhan sebuah golongan, paham ataupun ideologi. Humanisme universal, yang merupakan turunan dari liberalisme Barat, dan kredo-kredo politik kebudayaan yang mengklaim religius, pernah pula menyuguhkan ketakluhuran-ketakluhuran itu. Di bawah matahari seolah-olah memang tak ada yang benar-benar suci.
Apakah lukisan tentang kematian dari seorang Arundhati Roy itu cukup representatif?
Dalam kebudayaan Jawa sepertinya kematian tak semenggelikan rayapan semut pada kulit manusia. Banyak kisah tentang kematian justru adalah pengalaman-pengalaman dalam menjelangnya yang direkam oleh orang-orang yang ditinggalkan: capek, pucat, didatangi oleh orang-orang yang sudah meninggal terlebih dahulu, dosa-dosa masa silam yang timbul-tenggelam seperti menonton sinema..
Dalam Sendhon Tlutur yang ditembangkan secara pedih pun, pada pertunjukkan wayang kulit, lukisan kematian itu masih berangkat dari perspektif orang-orang yang masih hidup.
O, suram matahari
Seperti mencium mayat
Sirna hilang manisnya
Layu wajahnya kumal kusam
Darahnya berlumuran
Pada jasad
Lemas pucat oleh darah yang tampak

Sementara pada Jenar, atau yang dikenal pula sebagai Pangeran Lemah Abang, kematian itu justru adalah peristiwa yang patut untuk dirindukan. Pandangan inilah yang kemudian di Jawa menelurkan istilah “manising pati patitis” yang laik dipersiapkan seutuhnya. Bahkan konon, prinsip untuk tak merepotkan orang ketika mati menjadi salah satu dari ideal tertingginya.

Seorang pujangga Pura Pakualaman, Raden Panji Natarata, yang kondang dengan nama pena Sasrawijaya, konon pernah pula hidup seperti gelandangan gila yang ingin berguru tentang kematian, yang tentu saja tak mungkin digurukan pada orang-orang yang masih hidup.

Untuk menyitir Immanuel Kant, jelas kematian adalah sebuah noumenon yang oleh Wittgenstein di-“hukumi” dengan diam: “What we cannot speak about, we must pass over in silence.”

Namun sebuntu itukah kematian ketika orang, karena tuntutan-tuntutan eksistensial, berupaya mengakrabinya?

Ada satu prinsip dalam kebudayaan Jawa, sebagaimana yang diajarkan oleh kisah-kisah Wayang Purwa, tentang “pedoman” dalam kehidupan dan bahkan sampai kematiannya. Prinsip ini dikenal sebagai prinsip “jejer”.

Taruhlah Rsi Bhisma, Karna, Rsi Drona, dan bahkan Sengkuni, yang cukup paham bahwa Kurawa itu jahat dan buruk. Namun, tokoh-tokoh itu tak surut untuk berperang dan bahkan mengorbankan nyawa mereka. Dalam hal ini, kemanisan dan ketepatan kematian bukanlah yang menjadi ukuran sebuah keluhuran atau ketakluhuran. Tapi keluhuran dan ketakluhuran itu justru berada pada kondisi dalam menyandang jejer-nya.

Bhisma, Karna, Drona, dan bahkan Sengkuni, tahu bahwa mereka—baik langsung ataupun tidak—berpihak pada keburukan. Namun, berhubung mereka adalah rsi-rsi Hastina, adipati, dan patih Hastina, mereka tak bisa mengelak dari jejer-jejer yang sudah ditetapkan dan disandangnya. Pada point ini kesetiaan pada jejer adalah sebuah nilai tersendiri. Bukankah banyak kemudian sanggit atau tafsir-tafsir wayang yang tak hitam-putih dalam memandang ketokohan mereka?

Tentu saja, dalam hal ini, kisah-kisah kematian—untuk meminjam tilikan Heidegger—sama sekali tak berkaitan dengan si mati. Bukan karena Heidegger itu seorang penganut Muhammadiyah, namun berdasarkan pandangan Heidegger memang tak ada ukuran yang tunggal tentang kematian, apalagi pasca kematian. Kisah-kisah tentang kematian akan kembali pada yang ditinggalkan. Barangkali, fenomena inilah yang dalam bahasa lain disebut sebagai “keabadian.”

(Heru Harjo Hutomo)

Leave a Response