Ada wacana liar yang mengusulkan amandemen konstitusi demi mengakomodir masa jabatan Presiden menjadi bisa tiga periode. Wacana liar ini sudah bergulir sejak pertengahan tahun lalu.
Lalu, bagaimana kita menyikapi wacana liar ini?
Bukan teks sakral
Saya tidak anti terhadap upaya amandemen konstitusi. Bagi saya, konstitusi bukanlah teks hukum yang sakral, layaknya Orde Baru memperlakukan UUD 1945.
Zaman terus berubah, cara hidup, kebiasaan, pandangan hidup, dan tuntutan manusia pun berubah. Konstitusi sebagai teks hukum untuk mengatur kehidupan bersama harus menyesuaikan diri dengan keadaan-keadaan baru itu.
Tidak ada teks hukum yang bisa relevan dalam semua zaman dengan berbagai dinamikanya. Karena itu, memaksakan sebuah teks hukum yang dibuat puluhan tahun lalu, bahkan mungkin ratusan tahun, sama saja mengabaikan kehendak dan pengetahuan masyarakat yang terus berkembang.
Dalam konteks UUD 1945, sikap saya jelas. Pembukaan UUD 1945, sebagai manifestasi deklarasi kemerdekaan dan tujuan berbangsa, tidak bisa diubah. Tujuan kemerdekaan tidak pernah berubah, yaitu masyarakat adil dan makmur.
Tetapi batang tubuh, yang berisi pasal-pasal normatif, bisa diubah atau disusun ulang sesuai kehendak rakyat. Hanya saja, perubahan itu tidak menghilangkan jiwa dari konstitusi 1945, yaitu prinsip kedaulatan rakyat, persamaan di depan hukum, perlindungan HAM, kemerdekaan berkeyakinan, demokrasi politik (kemerdekaan berserikat dan menyatakan pendapat), dan demokrasi ekonomi (jiwa pasal 33).
Jadi, kalau pun diperlukan amandemen, demi penyesuaian dengan situasi baru, ada dua prinsipnya. Pertama, amandemen harus membuat konstitusi kita lebih baik. Kedua, amandemen tidak melucuti jiwa konstitusi.
Amandemen untuk Tiga Periode?
Bagi saya, wacana liar untuk amandemi konstitusi demi mengakomodir ini perlu dihadang, dibongkar kesesatan berpikirnya, dan bahayanya bagi kehidupan bernegara di masa mendatang.
Reformasi 1998 merupakan tonggak sejarah yang menandai zaman baru politik Indonesia, yaitu berakhirnya era kegelapan kediktatoran dan terbitnya fajar baru demokrasi.
Nah, salah satu mandat terpenting dari reformasi 1998 adalah pembatasan masa jabatan Presiden hanya maksimal dua periode. Itu yang dituangkan dalam konstitusi hasil amandemen: pasal 7 UUD 1945.
Tentu saja, amandemen konstitusi demi mengakomodasi tiga periode mengingkari mandat reformasi 1998. Alih-alih membuat Indonesia lebih baik, ini justru berpotensi mengembalikan awan gelap otoritarianisme.
Referendum Sebagai Manifestasi Kedaulatan Rakyat
Masalahnya, dengan melihat perimbangan kekuatan politik di parlemen sekarang ini, wacana amandemen konstitusi demi tiga periode ini sangat mungkin akan bergulir tanpa hambatan.
Potensinya sangat besar. Mari lihat ketentuan UUD 1945 soal amandemen: Bab XVI, pasal 37 (ayat 1-5). Di situ syarat dan prosedurnya sangat mudah.
Pengusulan amandemen hanya mensyaratkan ⅓ anggota MPR (gabungan DPR dan DPD). Berarti hanya butuh 237 orang dari 711 anggota MPR. Untuk diketahui, pemerintahan Jokowi sekarang ini didukung oleh 7 partai di DPR dengan 471 kursi (81,9 persen).
Agar sidang MPR untuk amandemen bisa dilakukan, syaratnya hanya ⅔ anggota MPR (474 orang). Sedangkan untuk persetujuan mensyaratkan 50% tambah 1 suara (356 anggota MPR).
Jadi, kalau melihat perimbangan kekuatan di MPR, peluang untuk amendemen itu terbuka sangat besar. Potensi berhasilnya juga sangat besar.
Namun, di sinilah letak masalahnya. Ketentuan amandemen itu membuka peluang bagi kepentingan sempit dan jangka pendek segelintir elit untuk mendorong amandemen konstitusi.
Ada hal yang terlupakan di sini, yaitu prinsip kedaulatan rakyat. Bahwa negara kita dibangun di atas prinsip kedaulatan rakyat, bukan kekuasaan segelintir orang (elit), bukan pula negara kekuasaan (Machtstaat). Prinsip yang selalu dianut oleh semua konstitusi Indonesia, dari UUD 1945, UUD RIS, UUDS 1950, hingga UUD 1945 pasca reformasi (amandemen).
Esensi kedaulatan rakyat ini sederhana. Kekuasaan negara bersumber dari rakyat; tidak ada kekuasaan politik (jabatan maupun kebijakan) tanpa mandat rakyat. Bahwa rakyat harus ikut serta menentukan peraturan tentang hidup bersama dalam bernegara (Hatta, pidato Pamong Praja, 1946).
Dalam hal konstitusi, yang menyangkut hidup bersama dalam bernegara, proses amandemen atau pembuatan UUD baru mendapat persetujuan rakyat. Di bawah kolong langit ini, ada jalan untuk meminta persetujuan rakyat dalam pengubahan atau pembuatan UUD baru, yaitu referendum.
Referendum sebagai syarat mengubah Konstitusi maupun pembuatan konstitusi baru merupakan kelaziman. Setidaknya, ada 98 negara yang mensyaratkan referendum untuk perubahan konstitusi, sementara 95 negara tidak mempersyaratkan referendum.
Setidaknya, ada dua alasan kuat untuk menjadikan referendum sebagai syarat mengubah atau menyusun ulang konstitusi.
Pertama, konstitusi yang kuat adalah konstitusi yang mendapat legitimasi, yang pengubahan atau penyusunannya mendapat persetujuan rakyat.
Kedua, agar perubahan konstitusi tak sekedar mengakomodasi kepentingan sempit dan jangka pendek segelintir elit politik, seperti dalam wacana perpanjangan masa jabatan Presiden sekarang ini.
Konstitusi memang bukan barang sakral, tapi juga bukan teks hukum biasa yang bisa diutak-atik seenaknya. Yang terpenting, konstitusi harus mencerminkan kehendak rakyat dan tuntutan zamannya.
RUDI HARTONO
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid