Cita-cita keadilan sosial, sebagaimana termaktub di dalam Pancasila dan UUD 1945, masih jauh dari kenyataan. Proses penyelenggaraan negara juga tak kunjung mengarah pada cita-cita tersebut.
Tak usah jauh-jauh bila ingin bukti. Ketidakadilan membelit hampir segala aspek kehidupan rakyat Indonesia, seperti ekonomi, politik, sosial-budaya, hukum, dan lain-lain.
Ketimpangan ekonomi makin melebar. Kue ekonomi hanya dinikmati oleh segelintir kapitalis: asing dan domestik. Ini terlihat dari data yang dilansir oleh Perkumpulan Prakarsa, bahwa kekayaan 40 orang terkaya Indonesia sebesar Rp680 Triliun (71,3 miliar USD) setara dengan 10,33% PDB.
Indeks Gini, yang mengukur tingkat kesenjangan pendapatan, terus meningkat. Pada tahun 1990, rasio gini Indonesia masih 0,29. Lalu pada tahun 2005 meningkat menjadi 0,33. Dan pada tahun 2011 rasio gini Indonesia sudah mencapai 0,41.
Namun, ketidakadilan di lapangan ekonomi tidak hanya terlihat pada ketimpangan distribusi pendapatan, tetapi juga sangat nampak pada penguasaan sumber daya. Tanah, misalnya, sebagian besar dikuasai oleh korporasi asing dan domestik.
Begitu pula dengan pengelolaan kekayaan alam, termasuk tambang. Pemerintah lebih senang mengobral ijin kepada korporasi besar ketimbang kepada koperasi atau tambang-tambang rakyat. Padahal, jika diberdayakan, tambang-tambang rakyat itu bisa berkembang.
Neoliberalisme paling berkontribusi pada penciptaan ketimpangan di lapangan ekonomi ini. Di bawah dikte kebijakan neoliberal, seperti liberalisasi investasi dan privatisasi, pemanfaatan sebagian besar SDA dan aset-aset strategis lebih diprioritaskan kepada korporasi asing.
Di bawah neoliberalisme, layanan publik—pendidikan, kesehatan, air minum, transportasi, dll—juga diprivatisasi. Akibatnya, terjadi praktek diskriminasi dan ketidakadilan: hanya mereka yang punya uang (daya beli) yang bisa mengakses layanan publik tersebut. Sudah begitu, kualitas layanan juga tergantung dari besar-kecilnya kemampuan membayar.
Model pembangunan ekonomi, yang bersandar pada kapital asing, juga menyebabkan ketimpangan antar daerah. Sebagian besar kue ekonomi terkonsentrasi di Jawa dan Sumatera: PDRB Jawa mencapai 57,6 persen dari total PDB dan Sumatera 23,3 persen (BPS). Artinya, dua pulau itu menguasai 82 persen PDB Indonesia. Sedangkan Kalimantan, Sulawesi, Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara hanya kebagian 18 persen.
Ketidakadilan di lapangan ekonomi merembes pada ketidakadilan di lapangan kehidupan yang lain. Banyak rakyat, terutama kaum miskin, tercerabut atau terabaikan hak-hak politiknya. Di hadapan hukum, orang-orang miskin jelas tak berdaya.
Kegagalan penyelenggara negara, terutama sejak orde baru hingga sekarang ini—dengan pengecualian Gus Dur—adalah bentuk inkonsistensi terhadap cita-cita pendirian Republik Indonesia. Di dalam pembukaan UUD 1945 tegas dikatakan: membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial!
Dengan demikian, cita-cita keadilan sosial adalah “raison d’etre” pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Artinya, kalau penyelenggara negara mengabaikannya, berarti ia telah menyeleweng dari cita-cita pembentukan negara.
Sebetulnya, para pendiri bangsa sudah mewariskan dua alat pemandu utama, yakni Pancasila dan UUD 1945, agar supaya proses penyelenggaraan negara tidak melenceng dari cita-cita keadilan sosial.
Sayangnya, para penyelenggara negara hanya menjadikan Pancasila dan UUD 1945 sebagai frasemologi belaka, tetapi tidak pernah melaksanakannya dalam praktek. Bahkan, sistem ekonomi kita tidak mengabdi pada UUD 1945, khususnya pasal 33 UUD 1945.
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid