5 Alasan Mengapa Obama Mengubah Kebijakan AS Terhadap Kuba

Presiden Barack Obama akan mengunjungi Kuba hari Minggu (20/3/2016). Ini adalah kunjungan Presiden Amerika Serikat (AS) pertama setelah 88 tahun.

Presiden AS yang mengunjungi Kuba paling terakhir adalah Calvin Coolidge. Itu terjadi di tahun 1928. Saat itu Calvin mengunjungi negara berhaluan komunis itu dengan menumpang kala perang.

Kunjungan Obama ini terjadi setelah Amerika Serikat secara resmi menormalisasi hubungan diplomatik dengan Kuba. Pertanyaan yang mungkin masih mengganjal di benak sebagian pembaca: kenapa Obama mengubah kebijakan luar negeri AS terhadap Kuba?

Beberapa saat lalu, intelektual progressif Amerika Noam Chomsky mengatakan, alasan utama Washington mengubah kebijakan lamanya mengisolasi komunis Kuba terjadi setelah opini publik dan sektor bisnis di Amerika Serikat mendukung diakhirinya kebijakan tersebut.

“Selama beberapa dekade survei menunjukkan, rakyat Amerika menyatakan dukungan mereka terhadap normalisasi hubungan diplomatik,” kata Chomsky dalam wawancara dengan koran Meksiko, La Jornada.

Namun, kata Chomsky, opini publik AS itu diabaikan. Yang menarik, sektor yang berpengaruh di AS, yakni kaum pemodal, mendukung ide normalisasi itu. Terutama sektor farmasi, energi, agro-industri, dan sektor lainnya.

“Biasanya, sektor inilah yang memutuskan kebijakan. Dan ketika itu diabaikan, ini menunjukkan bahwa ada kepentingan lebih besar dari pemerintah,” jelasnya.

Pengamat Amerika Latin dari Sorbonne Paris Jeanette Habel dan ilmuwan politik dari McGill University Kanada Arnold August (penulis buku Cuba and Its Neighbours: Democracy in Motion) menjelaskan 5 faktor yang menyebabkan Obama mengubah secara radikal kebijakannya terhadap Kuba.

Pertama, pudarnya pengaruh AS di Amerika Latin

Baik Habel maupun Arnold sepakat, bahwa faktor utama yang memaksa Obama mengubah kebijakannya terhadap Kuba adalah menurunnya pengaruh AS terhadap Amerika latin. Sebelumnya, Amerika latin selalu dianggap “halaman belakang” AS oleh doktrin Monroe.

Habel mengingat, keputusan Obama memulai normalisasi pada Desember 2014 hanya berselang empat bulan menjelang penyelenggaran Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke VII negara-negara Amerika.

Saat itu mayoritas pemimpin Amerika Latin mengancam akan memboikot KTT itu jika Kuba tidak diperbolehkan ikut serta. Takut dengan kegagalan diplomasi yang lebih besar, tim Obama akhirnya mengajak Kuba untuk negosiasi dan memastikan hadir di KTT itu. Inilah langkah awal normalisasi diplomtik.

Professor William M. LeoGrande dari American University dan analis senior dokumen luar negeri Peter Kornbluh juga menekankan ini di buku mereka, Back Channel to Cuba, sejak awal revolusi Kuba, ada banyak Presiden AS yang berusaha menormalisasi hubungan diplomatik dengan Kuba, seperti John F Kennedy dan Henry Kissinger.

Sekarang, dengan merosotnya hegemoni AS di kawasan Amerika latin, isu Kuba seperti “hamil tua”. Dan seperti dikatakan Arnold, “Obama sendiri akhirnya mengakui di bulan Desember 2014 bahwa kebijakan blokade terhadap Kuba terbukti gagal dan kegagalan itu butuh perubahan taktik.”

Namun, dia mengingatkan, strategi jangka panjang AS masih tetap menghendaki perubahan rezim di Kuba. Pasalnya, Obama sendiri terpilih berkat dukungan dari sektor berkuasa (pemilik modal) di AS, yang mendanai kampanye di tahun 2008 dan 2012. Pemilik modal itu sudah memerintahkan untuk memberikan “wajah baru bagi imperialisme AS” dan mengurangi sentimen anti-AS yang dibangkitkan di era Bush.

Kedua, mengincar pasar Kuba

Tak bisa dipungkiri, pasar Kuba—yang mewakili 11 juta orang—menggiurkan bagi sektor bisnis AS. Apalagi, Eropa, Tiongkok, Brazil dan Venezuela sudah lebih dulu berinvestasi di Kuba melalui sektor infrastruktur, kilang, dan lainnya.

Karena itu, sektor bisnis Kuba rajin melobi pemerintah untuk mengubah kebijakan tradisional mereka. “Mereka tidak begitu peduli dengan aspek politik dari hubungan dengan rezim komunis dan sepenuhnya mendukung inisiatif Obama untuk normalisasi,” kata Habel.

Washington juga menyadari, kebijakan dua jalur mereka, yakni tongkat dan wortel, tidak efektif. Akhirnya, pendekatan “tongkat” dihentikan, tetapi “wortel” diteruskan—kebijakan lunak dengan mengalirkan dollar, investasi, barang-barang konsumsi, pariwisata da budaya.

Ketiga, AS lebih terbuka dengan Raul Castro

Kedua negara, AS dan Kuba, mengalami siklus politik yang relatif beriringan. Raul Castro mulai berkuasa di tahun 2008, sedangkan Obama mulai menjabat di tahun 2009.

Meskipun Fidel Castro, pemimpin paling bersejarah di Kuba, selalu mengatakan siap melakukan negosiasi asalkan AS menghormati kedaulatan Kuba, tetapi AS merasa lebih fleksibel dengan Raul Castro.

Pergeseran politik luar negeri ini juga terjadi ketika investasi asing mulai mewarnai ekonomi Kuba, seperti inisiatif negeri ini memulai babak baru privatisasi ekonomi.

Keempat, peranan Paus Fransiskus

Menurut Habel, gereja juga memainkan peran besar dalam mendorong normalisasi diplomatik AS-Kuba. Terutama gereja Katolik Kuba. Kardinal Kuba Ortega menganjurkan rekonsiliasi nasional sejak lama dan mempersiapkan kunjungan Paus Fransiskus ke Amerika Latin di tahun 2013.

Paus Fransiskus, paus pertama dari benua Amerika Latin, langsung bertindak sebagai mediator. Pembicaraan awal soal normalisasi diplomatik berlangsung pertamakali di Vatikan, kata Habel.

Kelima, berubahnya cara pandang orang Kuba dan AS

Faktor penting yang juga mempengaruhi bagi normalisasi diplomatik AS dan Kuba adalah evolusi kaum diaspora Kuba yang tinggal di AS, khususnya di negara bagian Florida.

Gelombang pertama emigran Kuba adalah kaum intelijensia dan orang-orang dekat diktator Batista. Setelah jatuhnya Soviet, imigran Kuba didorong oleh faktor ekonomi ketimbang politik. Mereka ingin mencari hidup yang lebih baik. Mereka lebih terbuka dengan normalisasi dengan Kuba sekalipun masih diperintah rezim komunis.

Generasi muda Kuba yang tinggal di AS, yang lahir di AS, mereka punya keluarga di Kuba. Mereka mendukung pergeseran kebijakan Obama karena mereka ingin mengunjungi keluarga mereka di Kuba dan mengirim uang ke sana.

Kandidat dari Partai Republik, Marco Rubio, gagal memahami efek generasi ini. Rubio akhirnya kalah di kampungnya sendiri, di Florida, karena masih menggunakan sentimen anti-Castro. Sekarang minoritas Latino di Florida lebih memilih partai Demokrat.

Namun, dalam pandangan Habel, normalisasi hubungan diplomatik akan berdampak jangka panjang terhadap Kuba seiring dengan membanjirnya dollar AS, investasi, pariwisata, dan barang-barang konsumsi. Meskipun Kuba berusaha yakin bahwa kedaulatan mereka akan tetap utuh terlepas apapun kepentingan AS.

Marion Deschamps/teleSUR

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid