Upaya Industrialisasi Nasional Sejak Kemerdekaan Hingga Orde Baru

“…, bahwa syarat untuk industrialisasi adalah dibebaskannya tenaga produktif di desa, dan ditingkatkannya dayabeli kaum tani, karena tani itulah akhirnya “pasaran” bagi barang-barang hasil industri itu.” – Sukarno.

1949-1965

Penjajahan Belanda mewariskan hubungan ekonomi kolonial yang di atasnya bergolak semangat anti-kolonialisme. Ekonomi kolonial ini bercirikan posisi negara (Hindia Belanda) sebagai fasilitator eksploitasi modal asing di Indonesia. Hasil penghisapan terhadap kekayaan alam dan tenaga kerja murah di sini diangkut menjadi kemakmuran negeri induk; Belanda dan kemudian negara-negara lain seperti (Inggris, Amerika, dan Jepang) yang menanamkan modal di sini sejak diterapkan “politik pintu terbuka” tahun 1870.

Ekonomi kolonial Hindia Belanda mencangkokkan industri ke dalam tatanan sosial dan ekonomi Nusantara yang masih pra-kapitalisme atau bersifat fedoal. Dalam hubungan mutualisme, Belanda menjadikan para penguasa pribumi sebagai “pegawai negara” yang melayani kepentingan eksploitasi. Tak heran bila sebagian besar bupati, wedana, sultan, atau raja-raja lokal adalah kepanjangan tangan Belanda. Meskipun, ironisnya, dari lapisan sosial ini pula kemudian lahir unsur-unsur terdidik (lewat politik etis) yang kelak menjadi kekuatan progresif dan pemimpin-pemimpin pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Karena keberadaan industri yang dicangkokkan tersebut maka kebutuhan pembangunan ekonomi di Hindia Belanda disesuaikan dengan kebutuhan industri di negeri induk Belanda, dalam hal ini didominasi industri perkebunan (terutama tebu, karet, teh, serta tembakau) dan pertambangan (terutama minyak bumi dan timah).

Baru pasca depresi yang menjatuhkan harga gula di tahun 1929, pemerintah Hindia Belanda mulai mengalihkan investasi di luar perkebunan. Beberapa industri yang terbangun antara lain pabrik perakitan mobil, pabrik ban, pabrik rokok, pabrik sabun dan minyak goreng, serta pabrik semen dan bir.

Namun pendudukan Jepang (1942-1945) dan diikuti perang kemerdekaan (1945-1949) telah memerosotkan perekonomian sampai titik terendah. Dari keseluruhan industri yang ada tinggal 30 persen yang masih beroperasi. Jumlah yang tersisa itupun sebagian besar dimiliki oleh perusahaan asing, sementara produsen menengah dikuasai oleh etnis Tionghoa. Kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB) membelenggu pemerintah Republik untuk dapat mengambil keputusan sendiri terhadap masalah-masalah ekonomi, karena segala keputusan yang berhubungan atau berdampak terhadap modal asing harus dikonsultasikan dengan pemerintah Belanda.

Pada mulanya, semangat anti-kolonial yang disebutkan di awal tadi, merata di semua spektrum politik, dari nasionalis, agamis, hingga sosialis/komunis. Karena itu pemerintahan pasca pengakuan kedaulatan Indonesia tahun 1949 sampai 1965 berupaya untuk merombak pola hubungan kolonial tersebut dan menggantikannya dengan yang lebih nasionalis, baik dalam hal kepemilikan maupun peruntukannya. Ini terlepas dari fakta bahwa periode ini dapat dibagi lagi menjadi masa Demokrasi Parlamenter atau liberal (1950-1959) dan Demokrasi Terpimpin (1959-1965).

Upaya merombak ekonomi kolonial dilakukan lewat serangkaian kebijakan. Pengambilalihan De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia, pendirian Bank Industri Negara (BIN) untuk investasi industri dan Bank Nasional Indonesia (BNI) untuk pembiayaan impor, adalah bagian dari upaya kontrol terhadap keuangan nasional.

Program Darurat Ekonomi diajukan pada tahun 1950 oleh Sumitro Djojohadikusumo selaku Menteri Perdagangan dan Perindustrian, dengan menyediakan anggaran sebesar Rp 160 juta untuk mendanai proyek-proyek industri. Melalui bank-bank di atas, pemerintah sempat membangun pabrik perakitan mobil, membeli pabrik General Motors di Tanjung Priok dan mendirikan Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni). Tapi program Darurat ekonomi ini tidak dapat berlanjut karena ketidakmampuan pemerintah memobilisasi modal.

Selain itu, pemerintahan Natsir (1950-1951) dan pemerintahan Ali Sastromidjojo I (1953-1954) berupaya mendukung pengusaha pribumi lewat Program Benteng dengan cara memberi fasilitas kredit, proteksi dan lisensi impor. Upaya ini gagal membangun fondasi ekonomi nasional, dan tetap kalah dari industri-industri dan perdagangan yang mayoritas dimiliki peranakan Tionghoa dan asing. Penyebabnya, fasilitas kredit lebih banyak disalahgunakan untuk konsumsi, sementara lisensi impor justru banyak yang dijual lagi kepada borjuasi Tionghoa oleh para penerimanya. Keadaan ini yang memunculkan istilah ekonomi “Ali-Baba”, si Ali (pribumi) yang mendapatkan lisensi, si Baba (peranakan Tionghoa) yang mengeksekusinya.

Kesulitan lain yang tak kalah penting adalah pemerintahan parlamenter sampai dengan tahun 1956 masih dibebani hutang peninggalan Hindia Belanda sebesar 1,13 miliar dolar AS yang diterima lewat perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB). Hutang ini menjadi beban fiskal yang sangat berat bagi Republik yang masih belia. Di tahun 1956, ketika perjanjian KMB bersama utang ini dibatalkan oleh Presiden Sukarno, Indonesia sudah membayar 80 persen dari total jumlahnya.

Meski sentimen anti-kolonial dan hasrat membangun ekonomi yang nasionalis dominan, tapi terdapat juga tokoh-tokoh politik yang menilai perlu kerjasama, ataupun berlaku baik, terhadap modal asing. Mereka terutama berasal dari unsur-unsur dalam Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Partai Masyumi. Mereka tersingkir selama era Demokrasi Terpimpin, tapi kemudian kembali berpengaruh kuat dalam era Orde Baru.

Pemerintahan parlamenter berdasarkan UUD Sementara 1950 dibubarkan lewat dekrit presiden 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD 1945. Dekrit ini didukung oleh dua kekuatan politik yang paling terorganisir dan paling berpengaruh pada masa itu, yaitu: TNI AD dan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Presiden Sukarno mengambilalih pemerintahan dan meletakkan dasar-dasar ideologi-politik dari pembangunan nasional. Pada masa inilah lahir konsep-konsep terkenal seperti Manipol/Usdek (1959), Deklarasi Ekonomi (1963) dan Trisakti (1964). Periode ini juga menunjukkan kepemimpinan politik anti-neokolonialisme yang kuat dari Bung Karno. Gagasan-gagasannya bukan hanya diterima di dalam negeri, tapi juga menginspirasi banyak negeri Asia dan Afrika untuk bangkit melawan kolonialisme dan menyatakan kemerdekaannya.

Deklarsi Ekonomi (Dekon) tahun 1963 dirancang sebagai pedoman dasar dan praktis bagi kebijakan ekonomi nasional. Titik tekan dari Dekon adalah mengerahkan segenap potensi nasional (perusahaan negara, swasta, koperasi, kaum buruh dan petani) untuk meningkatkan produktivitas, dengan tekanan untuk mengubah corak ekonomi feodal dan kolonial. Perusahaan negara (BUMN) dan perbankan diarahkan untuk membantu atau membiayai program-program Dekon. Selain itu juga dijabarkan langkah-langkah jangka pendek untuk mengatasi persoalan pangan, inflasi, kelangkaan bahan baku, dan lain-lain.

Sebelum itu, pemerintahan Bung Karno sudah mengirimkan ribuan putra-putri terbaik Indonesia untuk belajar berbagai cabang ilmu pengetahuan di luar negeri untuk nantinya digunakan sebagai tenaga ahli pembangunan. Sangat disayangkan hanya sedikit dari mereka yang kembali dan mengabdi untuk Republik, salah satunya adalah mantan presiden BJ Habibie. Sebagian besar mahasiswa ikatan dinas (mahid) ini tidak dapat kembali karena paspornya dicabut oleh pemerintahan Orde baru pasca peristiwa 1965.

Dekon tidak sempat dijalankan secara penuh. Pertama, karena lemahnya dukungan birokrasi dan perangkat-perangkat terkait lainnya dalam menjalankan program yang ditetapkan. Reformasi agraria dengan UU PA tahun 1960 yang sudah diintegrasikan dalam Dekon bahkan belum sempat dilaksanakan sama sekali. Kedua, kepemimpinan Bung Karno di lapangan politik tidak disokong oleh instrumen lapangan yang dapat memastikan jalannya Dekon. Keberadaan Front Nasional atau persatuan Nasakom seringkali malah saling berbenturan di lapangan. Ketiga, warisan tekanan ekonomi dari pemerintahan-pemerintahan sebelumnya (defisit anggaran, inflasi, salah urus, korupsi, dan komplikasi penyakit ekonomi lainnya) masih belum teratasi dalam durasi 5 tahun pemerintahan Bung Karno).

Bung Karno menyadari hambatan birokrasi tadi, sehingga berulangkali menyerukan retooling alat-alat kelengkapan negara. Tapi semua belum sempat terlaksana. Dalam keadaan ekonomi yang semakin memburuk, terjadi peristiwa penculikan dan pembunuhan terhadap sejumlah pimpinan TNI Angkatan Darat tahun 1965. Kejadian ini memicu ‘peralihan’ kekuasaan ke tangan Suharto secara bertahap sampai tahun 1967.

Orde Baru

Orde Baru mengubah haluan perjalanan Bangsa Indonesia di tengah kancah Perang Dingin, dari non blok dengan kecenderungan pro-Timur menjadi pro-Barat. Pilihan ini oleh sebagian orang dikatakan “tepat”, karena toh pada akhirnya blok Timur runtuh dan blok Barat dengan kapitalisme neoliberalnya menang di tahun 1991. Bahwa tidak semua susunan bloknya runtuh adalah benar. Korea Utara dan Kuba merupakan dua tipe berbeda dari dua pemerintahan dengan haluan ekonomi-politik yang berbeda, dengan capaian dan ‘ketertinggalan’ yang berbeda pula. Tapi di tahun tersebut blok kapitalisme (neoliberal) yang dipimpin AS jelas mencapai puncak kemenangannya. Uni Soviet jatuh berantakan, Tiongkok tampak sudah lebih dahulu ‘menyerah’ dengan reformasi Deng Xiaoping tahun 1978.

Sembari mengkonsolidasi kekuasaan politiknya, pemerintahan Orba mulai kembali melakukan pendekatan dengan kapital Barat, terutama untuk mendapatkan utang. Utang ini akan digunakan untuk mengimpor bahan baku industri dan barang kebutuhan lainnya serta untuk pembayaran cicilan utang yang dibuat pemerintahan-pemerintahan sebelumnya, termasuk utang hasil kesepakatan KMB yang sempat dibatalkan.

Pemerintah Amerika Serikat kemudian memprakarsai terbentuknya kelompok antar-pemerintah bagi Indonesia atau Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI) yang menjadi kelompok negara-negara pemberi pinjaman kepada Indonesia.

Untuk meyakinkan Barat bahwa Indonesia serius mengubah haluan ekonominya, sektor pertambangan dibuka kepada modal asing dengan menerbitkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) tahun 1967. Perusahaan-perusahaan asing yang sempat dinasionalisasi dikembalikan haknya untuk beroperasi di Indonesia. Disepakati pembukaan sektor-sektor industri tertentu yang esensi sebenarnya merupakan perluasan pasar asing di dalam negeri. Bentuknya adalah pembangunan besar-besaran di sektor industri substitusi impor.

Ada banyak hal yang membedakan Orba dengan pemerintahan Bung Karno. Beberapa yang menurut hemat penulis paling penting antara lain: (1) sikap politik terhadap Blok Barat yang berbalik menjadi sangat ramah, sedangkan terhadap Blok Timur jadi bermusuhan atau setidaknya menjauh;[1] (2) keberpihakan jelas kepada golongan kapitalis (asing dan domestik, masing-masing punya faksi para pemikir/konseptor), sembari mempertahankan “stabilitas sosial”; (3) pemasungan kekuatan sosial politik rakyat pekerja (buruh, petani, dan kaum miskin) hingga sampai pada titik paling nadir dan sulit bangkit lagi. ; (4) sifat dan konsepsi nasionalisme yang semula progresif (anti-imperialisme, berdasarkan perikemanusiaan dan keadilan sosial) diubah menjadi nasionalisme yang sempit (simbolik, teritorial, dan inward looking).

Dalam hal pola pembangunan, Orba masih mempertahankan sistem perekonomian terencana dengan membuat Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan REPELITA (Rencana pembangunan lima tahun). Ini bisa diumpamakan dengan mempertahankan perangkat keras atau hardware (instrumen) tapi mengganti perangkat lunaknya software (ideologi).

Orba juga masih menempatkan kebutuhan industrialisasi sebagai bagian penting dari strategi ekonomi nasional. Hampir dalam seluruh periode kekuasaan Orba negara masih menganggarkan belanja untuk pembangunan infrastruktur dan sejumlah subsidi.

Didukung oleh kenaikan harga minyak dunia (boom minyak) pada dekade 1970-an strategi pembiayaan industrialisasi dari dana yang diperoleh Pertamina relatif berhasil. Richard Robinson dalam The Rise of Capitalism in Indonesia menggambarkan peran Pertamina—yang mendapatkan profit luar biasa besar dari boom minyak, berkontribusi pada pembangunan sektor infrastruktur dan industri dasar.

Ledakan peristiwa anti modal asing tahun 1974 (Malari) muncul berbarengan dengan momentum boom minyak, sehingga pemerintah terdorong membuat sejumlah peraturan atau ketentuan yang lebih proteksionis terhadap perkembangan kapitalis domestik. Konsep-konsep pro-pasar bebas untuk sementara berada di pinggiran.

Tapi masalah muncul setelah era boom minyak berakhir di tahun 1982. Indonesia kembali harus menengok ke luar negeri untuk mendapatkan modal atau sumber investasi untuk menutupi defisit dan menjaga pertumbuhan. Konsep pro-pasar bebas yang didiktekan Bank Dunia dan didukung oleh kelompok teknokrat lulusan Universitas California Berkeley, AS, (dikenal dengan sebutan Mafia Berkeley) kembali mendapatkan tempat. Beberapa variabel dalam konsep neoliberalisme dimulai diperkenalkan dan dipraktekkan di Indonesia.

Di sektor keuangan dilakukan perubahan aturan yang membebaskan pendirian bank swasta, pembukaan pasar saham dan pasar keuangan. Sistem keuangan nasional mulai terintegrasi ke dalam sistem keuangan dunia yang didominasi oleh dolar AS.

Rasio utang luar negeri pemerintah mengalami peningkatan spektakuler dari 26,8% terhadap PDB di tahun 1980 menjadi 53,6% di tahun 1986. Angka ini meningkat tajam saat mendekati krisis 1998 yaitu 85% dari PDB. Utang luar negeri swasta juga mengalami peningkatan pesat terutama setelah dekade 1990-an.

Ketentuan mengenai penghematan dilakukan dengan penghapusan subsidi. Di tahun 1983 pemerintah mengurangi subsidi minyak dari Rp 1.510 miliar menjadi Rp 924 miliar. Subsidi bahan makanan dikurangi dari Rp 310 miliar menjadi 188 miliar.

Selanjutnya rencana besar investasi negara di sektor padat modal dibatalkan oleh Menko Perekonomian Ali Wardana yang menggantikan Wijojo Nitisastro. Sebanyak 48 proyek padat modal dengan nilai 20 miliar dolar As ditunda, dibatalkan, atau dilanjutkan dengan pembiayaan di luar anggaran negara.

Industri-industri  berorientasi ekspor mulai dibangun secara besar-besaran dengan memanfaatkan tenaga kerja murah (dan patuh) sebagai keunggulan komparatif. Investasi asing langsung (Foreign Direct Investment) tumbuh dari 1,7 miliar dolar AS pada 1987 menjadi 12,5 miliar dolas As pada 1991. Ekspor manufaktur meningkat dari 7% menjadi 50% di tahun 1997.

Sejak pertengahan dekade 1980-an sampai pertengahan 1990-an pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat tinggi dan stabil, sehingga sempat dianggap sebagai “keajaiban Asia” atau calon “macan Asia” menandingi kemajuan Jepang dan Korea Selatan. Ekspor non-migas meningkat drastis, menggantikan peran migas dalam mengisi devisa negara, yang kemudian digunakan kembali untuk membayar utang dan impor.

Namun penerapan praktek neoliberal ini dinilai masih tanggung, karena nasionalisme ekonomi dalam bentuk proteksi dan monopoli negara masih terdapat di banyak sektor. Beberapa contoh bisa diangkat untuk dijadikan musuh bersama (oleh asing maupun orang Indonesia sendiri), sebagai pintu masuk menuju liberalisme penuh, yaitu usaha yang berhubungan dengan kepentingan keluarga Cendana seperti monopoli cengkeh dan proyek mobil nasional.

Sebuah provokasi spekulasi perdagangan mata uang di Thailand, oleh oligark Amerika bernama George Soros, mengakibatkan krisis yang segera merambat ke Indonesia. Dimulai dengan jatuhnya nilai tukar mata uang rupiah, ekonomi Indonesia mengalami kemunduran besar-besaran; jatuh seperti rumah kertas. Kue ekonomi (PDB) menciut 13 persen. Investor hengkang, pabrik-pabrik banyak tutup yang berdampak PHK, utang luar negeri juga meroket karena turunnya nilai tukar. Harga kebutuhan pokok melambung tinggi sehingga otomatis kemiskinan meningkat. Beriringan dengan krisis ekonomi, terjadi juga guncangan politik yang pada akhirnya menjatuhkan Presiden Suharto.

Tuntutan politik seperti perubahan paket 5 Undang-Undang politik (UU Parpol, UU Pemilu, UU Susduk DPR/MPR, UU Ormas, dan UU Referendum) dan cabut dwi fungsi ABRI yang sudah diperjuangkan sejak awal 1990-an mendapatkan panggung untuk disuarakan. Kejatuhan Soeharto bisa dikatakan sebagai pertemuan antara faktor internal kejenuhan pada otoritarianisme dan faktor eksternal kebutuhan kapitalis internasional agar terjadi liberalisasi. Politik otoritarian ditinggalkan, berganti dengan demokrasi. Tapi demokrasi yang muncul ini minus sifat kerakyatan, minus partisipasi rakyat.


[1] Hubungan diplomatik dengan RRT diputuskan sepihak oleh Indonesia pada 1967 dan baru dipulihkan tahun 1990. Sementara hubungan dengan Uni Soviet menjadi renggang meski tidak putus.

Dominggus Oktavianus, Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Partai Rakyat Adil Makmur (DPP PRIMA)

(Tulisan ini merupakan bagian dari materi Situasi Nasional yang akan diusulkan untuk menjadi bahan dalam Rapat Pimpinan Nasional III Partai Rakyat Adil Makmur (RAPIMNAS III PRIMA) 9-10 September 2023.)

Leave a Response