Tantangan Politik Perempuan Menuju Pemilu 2024

For me, a better democracy is a democracy where women do not only have the right to vote and to elect but to be elected. Gender equality will only be reached if we are able to empower women.—Michele Bachelet, Mantan Direktur Eksekutif UN Women.

Dari sudut keadilan, demokrasi pada dasarnya melibatkan hak (rights), dan sebagai konsekuensinya harus ada kesempatan untuk semua kelompok dalam masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai kebijakan yang relevan. Dalam hal ini, kesetaraan gender dalam politik merupakan isu yang tidak bisa diabaikan.

Sayangnya, di Indonesia kesetaraan itu masih sulit diwujudkan, tak terkecuali kesetaraan politik. Sampai sekarang masih banyak kebijakan yang belum mengakomodir kepentingan perempuan.

Bahkan, menurut catatan Worl Economy Forum (WEF), perjuangan untuk mencapai kesetaraan itu membutuhkan waktu 94,5 tahun lamanya.Alhasil, sampai sekarang bangsa Indonesia masih jauh dari cita-cita makmur dan setara.

Menuju Adil

Tahun 2003, kebijakan affirmative action mulai diperkenalkan. Esensi dari kebijakan ini adalah menghadirkan politik yang adil. Diharapkan, pengarusutamaan gender di berbagai bidang bisa terakomodir.

Sejak ada kebijakan itu, partisipasi perempuan untuk berpolitik semakin meningkat. Partai politik mulai berlomba-lomba merekrut perempuan sebagai pengurus partai. Dan wajah perempuan tidak pernah absen dalam daftar kertas suara.

Mari kita lihat, pada periode 2009-2014 jumlah perempuan di DPR meningkat tajam. Ada 101 perempuan menduduki kursi DPR, dari 560 kursi yang ada. Namun angka itu menurun pada periode 2014-2019. Dan naik kembali pada periode 2019-2024, sebanyak 118 atau sekitar 20 persenperempuan ada di parlemen.

Tapi jumlah itu menyisahkan catatan kritis, yakni Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang merekomendasikan target criticall mass 30 persen di kepemimpinan politik belum pernah tercapai di Parlemen. Asumsinya, angka 30 persen itu merupakan representasi paling minimal, agar perempuan bisa mempengaruhi pengambilan kebijakan di parlemen.

Sejumlah Tantangan

Memasuki arena elektoral, perempuan menghadapi tiga tantangan, yakni kultur partai politik, sistem pemilu, dan persepsi masyarakat terhadap citra perempuan.

Untuk mengukur sikap partai politik dalam memilih kandidat yang akan maju ke elektoral, penulis menggunakan model “Permintaan dan Penawaran” yang pernah dikembangkan oleh Ilmuwan politik Pippa Norris dan Joni Lovenduski.

Pada sisi “Penawaran”, salah satu variabel yang diukur adalah kemampuan sumber daya finansial, waktu, dan pengalaman kandidat yang akan dicalonkan. Pada sisi ini, perempuan dihadapkan pada tantangan khusus yakni politik transaksional.

Tak dapat dipungkiri untuk maju elektoral, kandidat harus menyediakan dana yang cukup besar. Dana itu digunakan untuk biaya kampanye, menyediakan alat peraga, biaya saksi, dll. Di sisi lain, banyak perempuan tidak memiliki kecukupan finansial. Pasalnya, akses terhadap ekonomi masih didominasi oleh laki-laki.

Selanjutnya aspek “Permintaan”, yang menyangkut kepentingan partai politik dalam menentukan calon.Di sini tantangan terberatnya adalah penilaian dan penentuan kandidat tidak diputuskan bersama. Tapi ditentukan oleh segelintir elit yang memiliki kuasa di dalam internal partai.

Munculnya segelintir elit di internal partai ini erat kaitannya dengan dominasi oligarki di partai politik. Oligarki muncul secara tidak langsung (melalui pendanaan) maupun secara langsung (oligarki mendirikan partai politik).

Ditambah lagi implementasi ambang batas parlemen sebesar 4 persen. Artinya, bagi partai politik yang mendapatkan suara sah secara nasional kurang dari 4 persen tidak bisa menempatkan calon anggota  legislatifnya di DPR.

Karena aturan itu, penentuan kandidat biasanya didasarkan pada kepopuleran (tokoh, figur terkenal, selebritas), kekerabatan, kader partai, dan orang-orang yang memiliki kedekatan dengan pejabat politik. Selain mampu mendulang suara, kandidat seperti itu mampu memberi jaminan akses dana kampanye untuk partai politik.

Sebagai gambaran, mari kita lihat komposisi representasi perempuan di kursi DPR saat ini. Ada 3 elemen yang mendominasi. Diantaranya, kader partai sebanyak 53 persen, politik kekerabatan 41 persen, 6 persen berlatar belakang profesional (Puskapol UI, 2019).

Sayangnya, sebagian besar kandidat yang terpilih itu tidak memiliki rekam jejak politik, apalagi memperjuangkan kepentingan perempuan.

Hambatan Sosial

Perempuan memiliki kecukupan finansial, sejumlah pengalaman, dan figur terkenal belum tentu dapat menghantarkannya ke Senayan. Ia masih berhadapan dengan sikap pemilih.

Di Indonesia, sikap pemilih masih dipengaruhi oleh nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Salah satunya adalah patriarki.

Edward Aspinall dan Sally White pernah melakukan studi terhadap sikap pemilih Indonesia. Dalam kategori kepemimpinan berdasarkan jenis kelamin, Aspinal dan White menemukan, sebanyak 62 persen responden setuju jika laki-laki lebih layak menjadi pemimipin ketimbang perempuan.

Melihat situasi ekonomi dan politik yang tidak banyak berubah, ditambah lagi menguatnya dominasi oligarki, agak sulit berharap ada penambahan signifikan representasi politik perempuan di Pemilu 2024.

Tapi, bagaimanapun, kita tidak boleh patah harapan. Agenda perjuangan politik perempuan terus harus berjalan di segala lini, baik di arena elektoral maupun non-elektoral.

Kaum perempuan harus lebih aktif di ruang publik, mulai mengambil kepemimpinan di tingkatan RT/RW, memimpin di komunitasnya, atau mengambil peran dalam urusan-urusan publik.

Selanjutnya, agenda pemberdayaan ekonomi perempuan tidak boleh ditinggalkan, terutama penguatan usaha ekonomi perempuan (UMKM dan Koperasi).

Selain itu, makna affirmative action perlu didorong untuk lebih maju. Tidak hanya mengedepankan kuantitas, tapi juga menekankan kualitas. Peran perempuan dalam partai bukah hanya sebagi formalitas pemenuhan kuota saja, tetapi harus disertai pemberdayaan politik dan pembukaan ruang agar perempuan terlibat penuh dalam pengambilan kebijakan partai.

RINI HARTONO, pelaku usaha kecil dan pemerhati isu perempuan; bisa dihubungi di twitter: @cuitanrini

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid