Sulami, Sang Srikandi Merah

Ia adalah sosok wanita yang  berjuang bagi kebebasan kaumnya dari segala bentuk ketertindasan. Ia juga bertekad memperjuangkan  cita-cita Revolusi Agustus 1945, yakni mengakhiri  imperialisme dan feodalisme, demi terwujudnya masyarakat Indonesia yang adil dan makmur.

Melalui  Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), sebuah organisasi wanita revolusioner pada masanya, wanita kelahiran Sragen ini memperjuangkan aspirasi ideologisnya. Dia adalah Sulami.

Sulami dan Gerwani

Sulami sudah aktif dalam dunia pergerakan sejak perang kemerdekaan. Selepas pengakuan kedaulatan, Sulami berkiprah di organisasi Gerakan Wanita Indonesia Sedar (Gerwis) yang berdiri tahun 1950. Organisasi ini sendiri menurut Sulami adalah sebuah gerakan yang berjuang untuk melawan akar penindasan terhadap perempuan, yakni budaya feodal dan sistem ekonomi-politik kolonialis dan kapitalis. Gerwis berpandangan, membela hak-hak wanita tanpa menyelesaikan akar permasalahannya tidak akan dapat membebaskan kaum wanita dari penindasan.

Di tahun  1954, melalui kongresnya yang kedua, diputuskanlah bahwa nama  Gerwis dirubah menjadi Gerwani. Tak lama kemudian, Gerwani bergabung  ke dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk menjadi organisasi ‘mantel’ dari partai itu. Sulami pun tetap terlibat penuh dalam perjuangan Gerwani, hingga akhirnya terpilih sebagai Wakil Sekjen II DPP Gerwani. Sebagai salah satu tokoh sentral Gerwani itu pula, pada tahun 1958  Sulami dipercaya sebagai wakil Gerwani dalam  Kongres Wanita Sedunia di Wina, Austria.

Sementara itu, dalam rangka memperjuangkan pembebasan wanita Indonesia dari segala belenggu penindasan, Gerwani mengeluarkan beberapa sikap politik seperti menolak poligami, menolak perkawinan dibawah umur, menolak kekerasan seksual terhadap wanita serta memperjuangkan hak waris bagi wanita. Terkait masalah poligami, Gerwani juga turut membantu program PKI sebagai partai yang menaunginya, untuk menyelesaikan beragam problema seiring dengan perintah partai kepada seluruh  fungsionaris dan kadernya  yang berpoligami untuk mengakhiri pernikahan poligaminya jika ingin tetap bergabung dalam partai. Sama dengan Gerwani, PKI juga menolak poligami dan melarang keras anggotanya berpoligami.

Dalam artikelnya yang berjudul Beberapa  Pendapat  Berdasarkan Pengalaman Akan  Gerakan  Wanita  Revolusioner, Sulami menuliskan hal unik yang dilakukan dirinya selaku tokoh Gerwani dalam rangka membantu partai  untuk menyelesaikan permasalahan para fungsionaris di daerah-daerah yang melakukan poligami, tanpa harus memecatnya.

“..Didaerah Jawa Timur ada seorang fungsionaris masih muda, kaya dan bekerja sebagai Carik Desa. Dia mempunyai dua isteri. Yang pertama punya anak empat, tidak aktif dalam organisasi tetapi menjadi anggota atas permintaan suaminya. Isteri keduanya memang aktivis, pandai berpidato dan berorganisasi. Karena program organisasi anti-poligami, dia sadar bahwa dia bersalah menjadi isteri kedua. Timbulnya pertentangan batin yang hebat menyebabkannya sering sakit. Ketika ada instruksi dari Pusat bahwa meskipun saling cinta, isteri kedua harus dicerai, maka dalam pelaksanaan selalu diundur-undur dengan alasan sakit. Setelah beberapa bulan dibantu kader atasan untuk menyelesaikan, kebetulan ada Konferensi Kerja organisasi se-Jawa Timur dan dia harus ikut mempersiapkan, suami mengantarkan dengan memboncengkan sepeda kemana ia pergi karena belum sehat betul. Alhasil perceraian tertunda-tunda. Penulis yang bertugas memiliki akal dengan cara membuat cerpen setengah fiktif. Isteri muda diceritakan sakit pingsan hingga masuk Rumah Sakit. Sedang suaminya dikritik teman-temannya dengan menyimpulkan bahwa dia harus menceraikan isteri mudanya kalau tidak mau dipecat Partai. Akhirnya disepakati untuk cerai dengan baik-baik. Suami tetap fungsionaris dan bekas isteri muda tetap aktivis organisasi wanita dan lebih bebas berbicara anti-poligami. Ketika Bu Carik yang muda membaca cerpen tersebut di harian Rakyat, maka ia sadar dan meminta agar bersama-sama dengan suaminya ke Penghulu untuk menyelesaikan perceraiannya. Legalah semua kader yang bersangkutan.

Dalam kasus ini, Sulami telah menyadarkan seorang wanita yang ‘dimadu’ untuk mengakhiri pernikahan poligami yang dilakukannya melalui cerpen yang ia tulis. Hal ini tentu sangat unik dan memperlihatkan militansi Sulami dalam menjalankan kebijakan organisasi dan partai, dengan  menggunakan bakat sastra yang dimilikinya.

Kasus  itu juga merupakan salah satu contoh perjuangan  Sulami dan Gerwani dalam melawan poligami, karena mereka menganggap poligami sebagai cerminan dari sisa budaya feodal yang menindas kaum wanita. Fakta sejarah ini juga menunjukkan bahwasanya PKI merupakan satu-satunya partai yang menolak tegas poligami dalam sejarah Republik Indonesia.

Selain poligami dan isu-isu kewanitaan, spektrum aksi Gerwani pun meluas. Gerwani juga aktif dalam program pembernatasan huruf  (PBH) dan melakukan pendidikan usia dini melalui pendirian TK Melati di berbagai daerah. Gerwani memang memiliki tujuan memajukan kesejahteraan perempuan dan anak-anak melalui pendidikan. Sulami terlibat aktif dalam berbagai program Gerwani ini.

Disamping itu, Gerwani juga turut mendukung secara langsung perjuangan kaum tani dalam mempertahankan hak-haknya atas tanah dari pencaplokan yang dilakukan aparat negara dan perusahaan perkebunan, seperti  pada kasus Tanjung Morawa, Sumatera Utara (1955) dan kasus Jengkol, Kediri (1957). Dalam berbagai konflik agraria itu, beberapa pengurus Gerwani terlibat langsung dalam perlawanan kaum tani di lapangan.

Lebih jauh dari itu, Gerwani  pun turut merespon berbagai isu politik  nasional, seperti turut serta dalam kampanye pembebasan Irian Barat, mendukung politik konfrontasi Bung Karno terhadap Malaysia, serta mendukung perjuangan nasional melawan Nekolim seperti yang diserukan Bung Karno. Sejalan dengan PKI, Gerwani juga berdiri di belakang Bung Karno dalam rangka mengganyang Nekolim.

Dukungan penuh Gerwani kepada Bung Karno sempat membuat Gerwani  dicibir oleh organisasi wanita lainnya, seperti Perwari, karena ‘tutup mata’ atas poligami yang dilakukan Bung Karno. Namun, Gerwani berargumen, kala itu kontradiksi pokok yang harus dihadapi rakyat adalah melawan Nekolim. Dan Bung Karno berada di garda terdepan perjuangan melawan Nekolim itu, meskipun Gerwani dan PKI tetap berprinsip menentang poligami.

Pejuang Hingga Akhir

Setelah bergumul dalam berbagai ‘medan juang’, Gerwani dan Sulami memasuki masa sulit, yang juga bisa dikatakan titik balik dalam perjuangan mereka. Meletusnya peristiwa Gerakan Satu Oktober (Gestok) tahun 1965 yang menewaskan beberapa perwira  Angkatan
Darat menjadi pertanda datangnya pukulan balik kaum kontra-revolusi yang selama ini ‘gerah’ dengan perjuangan Gerwani.

Setelah peristiwa itu, seluruh kekuatan politik dan ormas yang berafiliasi pada PKI ‘digulung’ oleh militer/Angkatan Darat  pimpinan Soeharto beserta milisi-milisi sipil binaannya. Sebagai Wasekjen II Gerwani, Sulami menjadi salah satu target militer untuk ditangkap. Hal ini membuat Sulami harus hidup ‘nomaden’ selama 15 bulan. Dalam pelariannya itu, Sulami masih sempat menjadi anggota Panitia Pendukung Komando Presiden Soekarno sebagai bukti loyalitasnya kepada sang Proklamator dikala semakin masifnya aksi-aksi demonstrasi anti Bung Karno dan anti PKI.

Namun, pelariannya berakhir pada bulan Februari 1967. Sulami ditangkap militer atas perintah langsung Panglima Kodam Jaya Amir Machmud.  Wanita pejuang ini dijebloskan ke tahanan militer di Bukit Duri, Jakarta Selatan. Di dalam tahanan inilah, ia kerap disiksa oleh aparat, mulai dari siksaan fisik hingga psikis. Suatu hal yang juga dialami oleh ribuan orang kader PKI dan Soekarnois pada masa yang sama.

Ketika menghadapi saat-saat penyiksaan tersebut, seperti yang diungkapkannya ketika diwawancarai harian Sinar Harapan pada tahun 2002  lalu, Sulami mengaku  hanya membayangkan pengorbanan  rakyat Vietnam yang berjuang mengusir imperialis yang  lebih berat dibanding penderitaan yang dirinya  hadapi.  Setelah mengalami masa-masa mengerikan di tahanan selama 8 tahun, Sulami baru diadili pada tahun 1975. Sebuah fakta yang konyol sekaligus mengerikan, ketika seorang tahanan dibui dan disiksa selama bertahun-tahun terlebih dahulu, baru kemudian diadili. Dalam pengadilan yang penuh manipulasi itu, Sulami  divonis bersalah dengan hukuman  20 tahun dipotong masa tahanan.

Ketika menjalani masa tahanannya itu, Sulami tidak hanya diam terhanyut dalam derita. Ia kembali menggunakan kemampuan menulisnya untuk membuat  sebuah buku yang kemudian diberi judul “Perempuan, Kebenaran dan Penjara” (Kisah Nyata Wanita Dipenjara Selama 20 Tahun Karena Tuduhan Makar Dan Subversi). Dalam buku ini, Sulami menguraikan pengalamannya selama berjuang di era perang kemerdekaan dan masa pra 1965, hingga penderitaannya di penjara bersama para tahanan lainnya. Buku ini baru bisa ditertibkan pada tahun 1999, setelah rezim Soeharto tumbang.

Setelah bebas dari penjara dan tumbangnya kediktatoran Orde Baru, Sulami tidak ‘beristirahat’ dari medan juang. Bersama dengan kawan-kawan mantan tapol 1965 lainnya seperti Pramoedya Ananta Toer, Hasan Raid, Koesalah Subagyo Toer, Sumini Martono, dan dr. Ribka Tjiptaning, Sulami  mendirikan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966  (YPKP) di tahun 1999. Yayasan yang juga diketuai oleh Sulami tersebut dibentuk  untuk meneliti dan mengungkapkan data korban pembunuhan massal tahun 1965/1966 yang kabarnya berjumlah hingga 3 juta orang.

Berbekal tekad tersebut, YPKP berupaya  melakukan penelitian dengan membongkar makam para korban pembantaian 1965/1966 di berbagai daerah, seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ketika diwawancarai oleh majalah Gamma tak lama setelah yayasan ini berdiri, Sulami berujar, “Kami ini bergerak dalam alur kemanusiaan, keadilan, dan  hukum melalui yayasan ini,”. Dalam kesempatan yang sama, Sulami tegas menyatakan Soeharto selaku pimpinan militer ketika itu bertanggung jawab penuh atas terjadinya pembantaian jutaan manusia tanpa proses peradilan di tahun 1965/1966.

Namun, belum tuntas perjuangan Sulami dan kawan-kawannya melalui YPKP, takdir Tuhan menentukan lain. Sang wanita pejuang harus  beristirahat dari medan juang untuk selamanya pada tahun 2002 akibat stroke yang dideritanya, ketika usianya sudah  76 tahun. Seorang pejuang wanita yang tiada lelah berjuang bagi kaum dan bangsanya telah pergi, namun sejarah telah mencatat ketangguhan jiwa sang Srikandi Merah ini dengan tinta emasnya.

Hiski Darmayana, kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid