Pertanyaannya, apakah dengan sistem jaminan sosial berbasis asuransi, seperti yang dijalankan oleh BPJS sekarang, semua orang dengan gampang mengakses layanan kesehatan?
Belakangan ini, masyarakat diresahkan oleh pengesahan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 75 tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Melalui aturan ini, pemerintah secara resmi menaikkan iuran bagi peserta mandiri Badan Peyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesahatan hingga 100 persen.
Kenaikan ini dilatarbelakangi oleh defisit anggaran yang dikelola oleh BPJS kesehatan. Bukan angka yang kecil. Pada 2018, defisit itu sudah menyentuh angka Rp 19,4 triliun. Ini merupakan defisit tertinggi yang pernah dialami oleh BPJS kesehatan sejak mulai beroperasi pada tahun 2014 silam. Kemudian, pada 2019, defisit BPJS diperkirakan akan menyentuh angka Rp 32 trilun.
Kesehatan adalah hak dasar Warga Negara. Untuk itu, ada kewajiban yang melekat pada Negara untuk menyelenggarakan layanan kesehatan yang bisa diakses oleh seluruh rakyat tanpa diskriminasi dan tanpa rintangan.
Hal itu tertuang dalam pasal 28 H UUD 1945: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin dengan mendapatkan hak berupa pelayanan kesehatan”. Kemudian diperkuat lagi oleh pasal 34 ayat (2) UUD 1945: “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.”
Karena itu, UU pelaksana dari mandat Konstitusi itu, seperti UU nomor 40 tahun 2004 tentang Sistim Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan UU Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), harus tegak lurus dengan prinsip dan semangat konstitusi tersebut.
Bukan Sekedar Soal Kenaikan Iuran dan Defisit
Memang, soal isu BPJS ini, keresahan terbesarnya adalah soal iuran dan defisit.
Iuran BPJS naik sangat signifikan: 100 persen. Bagaimana pun, kenaikan itu akan memukul kantong peserta mandiri yang terdampak kebijakan itu. Apalagi, di tengah situasi ekonomi yang sedang tidak membaik: lapangan kerja menipis, upah riil stagnan, dan daya beli menurun.
Ditambah lagi, di pembukaan tahun baru 2020 itu, kenaikan iuran BPJS itu bersamaan dengan kenaikan tariff yang lain: tarif tol, tarif listrik 900 VA, dan cukai rokok.
Kemudian soal defisit. Oleh BPJS dan jubir pemerintah dikatakan, defisit BPJS terjadi karena iuran yang terlalu kecil alias underpriced. Ditambah lagi, banyak peserta mandiri yang tidak rutin membayar iuran. Hanya membayar kalau sakit.
Benarkah defisit disebabkan oleh iuran yang underpriced atau yang tidak rutin dibayarkan?
Tahun 2018, BPJS mengelola anggaran Penerima Bantuan Iuran (PBI) sebesar Rp 26,7 triliun untuk 92 juta jiwa. Bandingkan dengan anggaran Jamkesmas di tahun 2014 yang hanya Rp 8,6 triliun untuk 86,4 juta jiwa. Artinya, dengan jumlah peserta sasaran yang hanya beda tipis, pemerintah menggelontorkan lebih 3 kali lipat, tapi masih juga defisit?
Apakah masalahnya iuran? Menurut saya bukan. Pertama, perlu memeriksa secara detail dan teliti pengelolaan anggaran di bawah BPJS; berapa anggaran yang dikelola, berapa jumlah tindakan medis per hari, berapa biayanya. Kalau perlu, data itu dibuka per faskes lengkap data pengguna layanannya, sehingga publik bisa mengecek potensi kecurangannya.

Tanpa keterbukaan pengelolaan anggaran, tanpa kontrol aktif dari publik, maka potensi kecurangan dan penyelengan keuangan akan sangat besar. Kasus 40 rumah sakit di Sumatera Utara yang mark up tagihan ratusan milyar adalah contohnya.
Kedua, masalahnya bukan iuran yang kecil, tetapi layanan kesehatan di Indonesia yang komersil dan berorientasi keuntungan. Seperti diungkap Menteri Kesehatan RI, dr Terawang, banyak tindakan medis yang jor-joran alias tidak perlu, tetapi dibebankan ke BPJS.
Satu contoh: operasi sesar. Banyak operasi sesar tidak berdasarkan kebutuhan medis, melainkan keinginan tenaga medis dan pasien, tetapi dibebankan ke BPJS. Data BPJS Kesehatan yang diolah Detik.com (5/12/2019), dari total 5,3 juta kelahiran sejak 2014 hingga 2018, BPJS Kesehatan membiayai sekitar 57 persen atau sekitar 3 juta persalinan sesar dan 43 persen atau 2,3 juta persalinan normal. Jadi, rasio persalinan sesar lebih tinggi dari normal. Padahal, merujuk ke WHO, normalnya hanya di kisaran 20 persen.
Jadi, seberapan pun kenaikan iuran, jika komersialisasi dan orientasi bisnis kesehatan tak terhentikan, maka defisit akan terus menghantui.
Persoalan Mendasar Asuransi Sosial
Hal mendasar dari prinsip kesehatan sebagai hak Warga Negara, seperti dimandatkan Konstitusi, adalah pembukaan akses seluas-luasnya kepada setiap Warga Negara untuk mengakses layanan kesehatan tanpa diskriminasi.
Artinya, tidak boleh ada rintangan apa pun bagi seorang warga Negara untuk mengakses layanan kesehatan, baik rintangan geografis maupun biaya.
Tidak bisa karena faktor jarak atau minimnya fasilitas kesehatan, menyebabkan ada warga Negara tidak bisa mengakses layanan kesehatan. Karena itu, ada tuntutan agar negara membangun faskes secara merata di seluruh Indonesia.
Begitu juga dengan soal biaya. Tidak bisa karena faktor biaya, ada orang yang tertutupi haknya mengakses layanan kesehatan.
Pertanyaannya, apakah dengan sistem jaminan sosial berbasis asuransi, seperti yang dijalankan oleh BPJS sekarang, semua orang dengan gampang mengakses layanan kesehatan?
Faktanya, dari 32 juta peserta mandiri BPJS kesehatan (PBPU), sebanyak 16 juta atau 50 persen diantaranya menunggak alias tidak tertib membayar premi. Tentu saja, sebagian besar karena faktor ketidakmampuan ekonomi.
Dan sekarang, ketika iuran BPJS akan naik, banyak peserta BPJS mandiri di berbagai daerah beramai-ramai meminta turun kelas. Itu artinya, banyak peserta mandiri BPJS yang terbebani oleh kewajiban membayar iuran/premi.
Kemudian, tidak bisa karena faktor apa pun, dari suku, agama, ras, gender, bahkan urusan biaya, warga negara mengalami diskriminasi dalam pelayanan kesehatan.
Faktanya, dengan sistem kelas oleh BPJS dan besaran premi per kelas, orang mendapat fasilitas dan layanan berbeda. Ini diskriminatif. Masalahnya, jaminan kesehatan ala BPJS ini diselenggarakan oleh Negara. Ini melanggar prinsip kesetaraan hak seluruh warga Negara. Beda hal kalau ini dijalankan swasta.
Sekarang, jaminan kesehatan macam apa yang harus dijalankan oleh Negara agar sesuai konstitusi?
Ya, jaminan kesehatan yang menyeluruh (universal) terhadap seluruh warga negara. Setiap warga Negara bisa mengaksesnya tanpa rintangan apa pun, termasuk biaya. Bagaimana caranya? Negara menyelenggarakan jaminan kesehatan kepada seluruh Warga Negara dengan pembiayaan oleh kas negara/APBN.
Mungkinkah? Hitung sederhana saja. Jika Negara menjamin kesehatan seluruh rakyat Indonesia (anggaplah 270 juta) dengan standar layanan kelas III sekarang (Rp 42 ribu), maka negara hanya butuh mengeluarkan Rp 136 trilun.
Anggaran itu hanya setengah dari anggaran Kementerian Pertahanan dan Polri jika digabung (Rp 235,9 triliun).
Sementara hitungan Serikat Rakyat Miskin Indonesia (SRMI), dengan memakai asumsi Jamkesmas, yakni Rp 10 ribu per orang, maka Negara hanya butuh mengeluarkan Rp 32 triliun. Bila dialokasikan Rp 20 ribu per warga negara, maka hanya butuh Rp 64,8 triliun.
Persoalannya sekarang pada politik anggaran: apakah pemerintah mau memproritaskan kebutuhan dasar rakyat untuk kesehatan atau tidak. Begitu saja.
KOBAR BUMI MERAH, aktif di Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid