Pada seni, terkadang dan bahkan seringkali, orang menemukan sebentuk “pembebasan”—entah apapun yang menjadi kredo keseniannya. Dan agama, konon, justru membatasi aspek “pembebasan” di dalam seni. Namun, pandangan semacam ini kerapkali keliru ketika orang menyelami orang-orang seperti R.Ng. Ronggawarsita, Mankunagara IV, R.P. Natarata, Jalaluddin Rumi, Hazrat Inayat Khan.
Pada orang-orang seperti itu, justru seni seolah tak dapat dilepaskan dari agama. Konon, ada satu kemampuan yang dimiliki oleh seni untuk merengkuh apa yang tak dapat digapai oleh nalar ataupun indera yang pada tataran agama sebagai hukum menjadi piranti epistemologis utamanya. Bukankah lewat Shalawatan gaya pedesaan Jawa ketika kata-kata tak lagi memiliki makna, orang kerap hanyut pada gelombang otak 3-8 Hz yang konon menjadi ideal dari orang-orang yang beribadah, berdoa?
Pada agama sebenarnya banyak data yang merujuk pada kondisi yang, salah satunya, dapat dicapai oleh sarana kesenian itu. Dan barangkali, karena faktor inilah orang-orang semacam Ronggawarsita, Rumi…, tak dapat melepaskan kehidupan keagamaannya dengan kesenian.
Ketika orang mampu mencapai gelombang otak 8-12 Hz dan bahkan 3-8 Hz itu terang potensi radikalitas, yang dapat terjadi pada gelombang otak 12-30 Hz (radikalitas) dan 25-100 Hz (teroristik), akan memudar. Jadi, ketika berbicara tentang moderasi beragama, sebenarnya orang tak cukup untuk sekedar bagaimana memahami agama secara moderat atau tak ekstrim. Namun, ketika orang tak meletakkan agama sebagai sekedar sebuah hukum, moderasi beragama adalah juga sebentuk kondisi mental-psikologis yang otomatis membuahkan kondisi fisik yang seturut dengannya (Sarkara: Moderasi Beragama dalam Bingkai Kearifan Nusantara, Heru Harjo Hutomo, PT Nyala Masadepan Indonesia, Surakarta, 2023).
Pada zaman ini, secara sosiologis, orang tak lagi menghadapi kenyataan perbedaan kelas sebagaimana tilikan marxisme klasik. Namun, orang sekarang cenderung menghadapi kenyataan perbedaan generasi: antara satu dengan lainnya memiliki parameter, citarasa, dan mungkin juga “evolusi” otak yang tak sama. Bukankah tuntutan akan kecepatan, paradigma hitam-putih yang menginginkan kejelasan adalah tipikal generasi muda yang kini lebih keren dengan sebutan generasi Z yang memang lebih adaptatif dengan kondisi zaman digital?
Pada kondisi zaman yang menginginkan keserbacepatan dan kejelasan semacam itu orang memang sama sekali tak butuh pemahaman. Hidup, bagi nalar-nalar semacam ini, memang haruslah jelas, kalau tak hitam mestilah putih, kalau tak menang pastilah kalah, kalau tak beriman pastilah kafir…
Bisa jadi, zaman yang berlangsung kini memang tak lagi butuh wacana-wacana ataupun pemahaman-pemahaman sebagaimana yang selama ini telah banyak diupayakan oleh berbagai pihak untuk memoderasikan cara beragama. Dan mungkin, sarana-sarana yang nyeni semacam shalawatan ataupun tahlilan gaya pedesaan, yang memang sama sekali tak butuh pemahaman, dapat memengaruhi kebutuhan otak yang senyatanya sudah berevolusi.
(Heru Harjo Hutomo; penulis, perupa dan pemusik, pemerhati radikalisme dan terorisme)