Sengkarut Persoalan di Pusat Wisata Kuliner Kelapa Lima

Pembangunan seharusnnya tidak mengabaikan masyarakat sebagai subjek. Kegagalan paling  fatal dari pembangunan adalah meletakan masyarakat sebagai objek yang harus mengikuti imajinasi para pemikir infrastruktur. Hal ini bisa kita lihat pada pembangunan Pusat Wisata Kuliner Kelapa  Lima yang ada kesenjangan antara ide pembangunan dengan hasil yang didapat.

Bercermin dari definisi pembangunan menurut Michael P. Tadaro, yaitu; pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang selain mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta pengentasan kemiskinan, juga mensyaratkan berlangsungnya serangkaian perubahan secara besar-besaran terhadap struktur sosial, sikap-sikap masyarakat dan institusi-institusi nasional. Namun Pemerintah Kota Kupang dalam pambangunan Pusat Wisata Kuliner Kelapa Lima malah mendatangkan hal-hal yang bertolak belakang dari definisi  tersebut.

Kelapa Lima dan Kegagalan

Bangunan yang menelan anggaran Rp. 81 M tersebut menegasi beragam aspirasi masyarakat sekitar mulai dari perencanaan sampai pada tahap pembangunan. Akibatnya adalah mimpi ingin  menyejahterakan rakyat; hanya ‘’omong kosong”. Dapat disimpulkan bahwa Kelapa Lima  adalah bukti kegagalan Pemerintah Kota Kupang.

Ada beberapa indikator mengapa Pusat Wisata Kuliner  tersebut gagal:

Pertama, tidak adanya partisipasi dari masyarakat yang seharusnya adalah subjek dari  pembangunan tersebut. Sering terjadi kebutuhan masyarakat tidak terpenuhi karena kita tidak sabar. Dalam pembangunan, ada 2 aspek yang harus selalu diperhatikan yaitu: kebutuhan real masyarakat daripada kita membayangkan apa yang masyarakat mau dan harapan masyarakat. Kita harus membantu dan mendorong agar harapan mereka terwujud. Namun Pemerintah Kota Kupang lalai dalam melihat hal-hal mendasar tersebut. Akhirnya pembangunan yang menelan biaya sebesar Rp.81 M tersebut terbuang percuma.

Sebelumnya menurut Jonas salean, pembangunan tersebut untuk mendapatkan ruang yang cukup bagi pedagang ikan di situ. Begitupun Pejabat Wali Kota Kupang, George M. Hadjoh menyatakan bahwa kawasan Pantai Kelapa Lima sudah menjadi Pusat Wisata Kuliner di Kota Kupang. Semua pelaku usaha kuliner ikan segar mulai berdagang di tempat ini. Bagi penulis, pernyataan ini hanya untuk menutupi kegagalan dikarenakan fakta di lapangan berbicara lain.

Berdasarkan temuan di lapangan, didapati bahwa pendapatan mereka (pedagang ikan) menurun drastis. Pendapatan mereka yang dahulunya bisa mencapai Rp.1.000.000, – Rp. 2.000.000,  per harinya, sekarang hanya berkisar Rp.100.000, -Rp.500.000 per hari. Walaupun telah banyak pedagang yang bangkrut, Pemerintah Kota Kupang masih berdalih bahwa tempat tersebut berhasil meningkatkan perekonomian rakyat.

Kedua, konstruksi bangunan yang tidak memprioritaskan nilai guna, tapi lebih memprioritaskan nilai estetika. Ya, meskipun dibangun untuk  para pedagang ikan, namun bangunan tersebut  tidak cocok untuk berjualan ikan. Jika dibangun untuk para pedagang ikan, maka proyek tersebut seharusnya mengikuti kebutuhan para pedagang ikan bukan imajinasi dari para pemikir infrastruktur. Dampaknya dapat kita lihat:  banyak pedagang lebih memilih untuk berdagang di luar gedung meski telah disiapkan tempat di dalam gedung. Total dari 85 pedagang ikan yang menempati Pusat Wisata Kuliner Pantai Kelapa Lima, yang tersisa sekarang hanya berjumlah 25 orang. Ada yang bangkrut, ada yang memilih untuk keluar dari gedung mewah  tersebut, bahkan ada yang beralih profesi menjadi penjual jagung bakar.

Ketiga, tidak tersedianya lahan parkir sebagai fasilitas pendukung. Tempat layanan publik seperti itu seharusnya memiliki tempat parkir guna kelancaran kegiatan ekonomi masyarakat. Sebenarnya berdasarkan denah yang ada di ujung timur lokasi tersebut, sudah disediakan tempat parkir. Namun Pemerintah Kota Kupang melalui Polisi Pamong Praja beralasan bahwa material yang digunakan mudah rusak sehingga tidak memungkinkan untuk dijadikan tempat parkir. Yang  menjadi pertanyaan ialah, apakah pembangunan yang memakan anggaran sebesar Rp. 81 M tersebut menggunakan material yang mudah rusak? Atau ada kepentigann di balik hal tersebut?

Lalu tempat parkir yang dipindahkan ke ujung timur pastinya akan memunculkan konflik antar para pedagang ikan di sebelah timur dan barat. Pro-kontra bermunculan. Pedagang  ikan terpecah. Adu mulut tak terhindarkan. Ini seperti sudah diatur agar masyarakat dapat keluar dengan sendiri atau dengan kata lain pengusiran secara halus. 

Kemudian hal itu diperburuk lagi oleh kebijakan dilarang parkir oleh Satlantas Polres Kupang Kota di area Kelapa Lima  tersebut.  Awalnya kebijakan tersebut hanya berlaku di bilik 3 dan 4 yang  berhadapan langsung dengan Hotel Aston. Setelah ada protes dari beberapa pedagang ikan yang merasa dirugikan, baru kebijakan tersebut diberlakukan di sebelah barat dan timur. Bukan hanya itu, penjagaan 24 jam dilakukan oleh Satlantas Polres Kupang Kota dan Satpol PP. Hal ini menimbulkan pedagang ikan kehilangan banyak pelanggan. Belum lagi dikejar oleh koperasi harian maupun mingguan.

Kelapa Lima, Perpu Cipta Kerja dan Ancaman Privatisasi.

Ancaman pada pedagang ikan juga datang dari Perpu No.2 Tahun 2022  tentang Cipta Kerja. Selain cacat formil atau inkonstitusional, Perpu Cipta Kerja menghapus kriteria nelayan kecil sesuai terminologi nelayan kecil, sehingga akan menghilangkan prioritas dan kekhususan yang akan diterima kelompok marginal itu.

Merujuk pada UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, nelayan kecil adalah nelayan yang menggunakan kapal perikanan maksimal berukuran 5 gros ton (GT).

Sementara, merujuk pada UU No 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam, kategori nelayan kecil disebutkan sebagai nelayan yang menggunakan kapal perikanan maksimal berukuran 10 GT.

Lanjut lagi, Perppu Cipta Kerja menambahkan Pasal 17A dalam UU No 1 Tahun 2014 jo UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Penambahan tersebut memberikan kewenangan penuh kepada Pemerintah pusat untuk mengatur tata ruang di setiap provinsi.

Perppu Cipta Kerja mengubah Pasal 26A dalam UU 1/2014 jo. UU 27/2007. Perubahan tersebut memberikan kemudahan sebanyak-banyaknya kepada Penanaman Modal Asing (PMA) untuk memanfaatkan pulau-pulau kecil dan perairan sekitarnya. Bisa dibayangkan jika pusat wisata kuliner tersebut diambil alih oleh pemodal besar untuk dikelola, berapa banyak orang yang kehilangan pekerjaan. Berapa banyak anak yang akan putus sekolah karena orang tuanya kehilangan pekerjaan. Yang pasti kemiskinan hanya akan bertambah. Perpu Cipta Kerja  yang dibangun dengan semangat investasi itu jelas tidak berpihak pada nelayan kecil. Apabila nelayan kecil kehilangan pekerjaan, maka pedagang ikan akan kehilangan; terancam pula.

(Marselinus Vito Bria)

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid