Sangkan-Paran dalam Menghadang Kubilai Khan

Bagaimana seandainya kita hanyalah sejumput bagian dari sebuah cerita agung yang telah bermula sejak lama, yang terselip dan berkelindan di antara hal-hal yang tampak sekilas dan keseharian? Setidaknya, permenungan seperti inilah yang terkadang menyembul ketika kita membaca novel-novel sejarah.

Saya kira ada beragam pembacaan atas sebuah karya sastra, khususnya prosa. Lazimnya, atas sebuah karya, saya tak pernah mengulasnya dalam arti konvensionalnya. Saya gemar melakukan pengkaryaan di atas karya lainnya. Dalam khazanah kritik sastra, hal ini dikenal sebagai pembacaan dekonstruktif.

Saya pun tak pernah melihat pribadi penulisnya untuk menafsirkan karyanya laiknya seorang psikoanalisis. Seumpamanya, karena sang penulis dikenal sebagai penggaung “realisme sosialis” ala Pramoedya Ananta Toer dimana karyanya hanya sekuel belaka dari roman Arok-Dedes. Pada salah satu roman karya kandidat peraih nobel sastra itu tersirat sebuah strategi politik sastra dalam memakai bahan masa silam untuk menyingkapkan kahanan masa kini dan bahkan masa mendatang.

Pribadi dan kisah Arok pada roman Arok-Dedes itu terkesan seperti sesosok Soeharto yang tak lahir dari rahim bangsawan dalam upayanya yang terkenal sangat sabar lagi cerdik dalam meraih kuasa. Dalam khazanah para pengiman madzhab realisme sosial hal ini disebut sebagai pendekatan dialektika materialisme sejarah. Maka, sangat tak ada “kegaiban” dalam roman Arok-Dedes sebagaimana dalam kisah aslinya. Seumpamanya, keyakinan bahwa hanya orang yang memang berdarah bangsawan yang lazimnya tampil menjadi raja Jawa. Seandainya pun orang yang bersangkutan tumbuh laiknya kaum sudra, namun ia tetap dianggap berdarah bangsawan, setidaknya seorang “lembu peteng.”

Judul Buku: Menghadang Kubilai Khan
Penulis: AJ SUSMANA
Penerbit: Berdikari Nusantara Makmur (BNM)
Tahun terbit: 2021
Berat: 600 gram

Aj. Susmana, saudara saya ini, secara paradigmatik dan metodik, ternyata juga mengikuti jejak Pramoedya Ananta Toer dalam menuliskan novel sejarahnya, “Menghadang Kubilai Khan.” Arok pada lembar-lembar pertama, dalam pembacaan saya, seperti pembabar apa yang di masa kini dikenal sebagai “populisme” dengan segala ketakberadabannya, sejauh keberadaban itu diukur dengan adab para bangsawan.

Kertanegara, seorang visioner Nusantara yang ikut melahirkan seorang tokoh penting yang bagi saya menjadi salah satu sanad para visioner Nusantara selanjutnya semacam Gajah Mada, Arya Wiraraja, tampak laiknya seorang bangsawan besar yang merupakan sublimasi dari “kebrutalan” seorang Arok. Saya tak akan mengulang kembali prinsip Lenin yang menganalogikan kekerasan sebagai seorang bidan bagi perubahan. Namun, logika ini memang saya rasakan cukup kental menjiwai novel sejarah “Menghadang Kubilai Khan.”

Membaca prosa-prosa sejenis Arok-Dedes seperti ini memang tak akan menemukan seorang yang benar-benar “agung” dan “suci.” Bukan karena revolusi menaruh persoalan “akhlaq” ke nomor ke sekian, namun—kembali pada dalil dasar realisme—bahwa seberapa “besar” seseorang itu tetap saja ia hanyalah seorang manusia (Kahanan: Melongok dari yang Tak Pokok, Heru Harjo Hutomo, Bintang Pustaka Madani, Yogyakarta, 2021).

Dalam khazanah ilmu pedalangan, apa yang dilakukan oleh Pramoedya dan Aj. Susmana ini dikenal dengan istilah “sanggit.” Seorang dalang, barangkali, bukanlah seorang dalang yang bagus dalam masalah olah sabet atau olah suara, namun ia cukup hebat dalam meracik dan menyajikan sebuah cerita. Dalang dalam kategori ini biasanya akan disebut sebagai “dalang sanggit.”

Saya tak akan mengaitkan kisah Kertanegara dalam besutan seorang Aj. Susmana ini sebagai sebuah tilikan dialektika materialisme sejarah menyangkut pemerintahan baru yang mungkin terwujud pada 2024 kelak. Pola yang menstrukturisasikan politik praktis di Indonesia sejak 2014 hingga kini adalah struktur “wis wani wirang” dengan berbagai variannya yang ada. Saya tak akan mengutip kembali iman seorang Karl Marx pada keniscayaan kapitalisme yang akan tumbang karena kondisi internalnya sendiri yang perlu digegas dengan jalan revolusi. Selalu saja terdapat faktor X, atau dalam perspektif poststrukturalisme dikenal sebagai “the Other,” yang sering menentukan jalannya sejarah.

Meskipun demikian, tak pula saya perlu mengutip Ibn ‘Athaillah tentang benteng takdir yang memerlukan “kenyantaian” seorang anak manusia dalam upayanya mencari kesesuaian kehendak dengan kahanan dimana dalam bahasa agama dikenal sebagai ridha Tuhan. Yang jelas, novel-novel sejarah, bagi saya, sangat penting ditumbuh-kembangkan untuk mengupayakan apa yang saya sebut sebagai “paran” yang sangat ditentukan oleh “sangkan”-nya. Inilah, yang pada titik tertentu, saya sebuat sebagai upaya melibatkan yang silam pada yang mendatang (Ma-Hyang: Melibatkan yang Silam Pada yang Mendatang, Heru Harjo Hutomo, CV. Kekata Group, Surakarta, 2020).

Letak pentingnya novel-novel sejarah, saya kira, juga pada fakta soal kelemahan pendekatan sejarah positivistik yang selama ini telah banyak saya gugat (https://alif.id/read/author/hs/). Pada dasarnya, di Indonesia sendiri, sejak beberapa tahun terakhir, sudah mulai pudar wibawa positivisme yang selama ini menjiwai sains, baik humaniora maupun eksakta. Tak perlu rasanya saya kembali mengingatkan perihal penemuan para geolog dan ahli bencana alam terkait dengan gempa dan tsunami, yang selama ini diyakini tak dapat diprediksikan, sebagai sebuah sebuah siklus (Mahapralaya: Seputar Wayang, Gempa dan Tsunami, Heru Harjo Hutomo, https://filsafatwayang.filsafat.ugm.ac.id). Atau temuan baru para arkeolog terkait makna percandian di balik cerita-cerita kuno yang bersifat mitis dan irasional tentangnya (Rumor dan Hoaks dalam Pewayangan Jawa, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id). Dengan kata lain, sendainya di Eropa peristiwa “the linguistic turn” telah terjadi pada dekade 60-an, di Indonesia sendiri baru terjadi beberapa tahun terakhir ini.

Di atas semua itu, kehadiran novel-novel sejarah, yang sudah pasti banyak menyajikan data-data sejarah tentunya, adalah dapat dituliskannya kepingan sejarah pada kepingan sejarah lainnya (intertekstualitas). Taruhlah kisah Syekh Subakir dan Eyang Ismaya Jati ataupun persebaran Islam sufistik yang berbaur dengan kapitayan yang dapat terjadi, dengan merujuk pada novel sejarah “Menghadang Kubilai Khan,” pada era keruntuhan kerajaan Kediri dimana Tumapel, yang menguasainya, berubah nama menjadi Singasari. Saat itulah Dinasti Abbasiyah yang selama ini menjadi lambang kemajuan peradaban Islam tumbang oleh ekspansi pasukan Mongol sehingga banyak para sufi yang kemudian berdiaspora yang salah satunya ke Nusantara. Barangkali, di masa inilah kisah Semar sebagai Sang Janggan Asmarasanta dalam pewayangan bermula, yang seturut dengan kisah Syekh Asmaraqandi sebagai punjer para juru syi’ar Islam gelombang pertama yang tak banyak meninggalkan catatan radikal dalam keberagamaannya.    

HERU HARJO HUTOMO, Penulis, peneliti lepas, perupa dan pemusik, penulis buku Jalan Jalang Ketuhanan: Gatholoco dan Dekonstruksi Santri Brai (2011), Ma-Hyang: Melibatkan yang Silam Pada yang Mendatang (2020), Kahanan: Melongok dari yang Tak Pokok (2021), Sangkan-Paran (2021), Menyulam yang Terpendam: Sejarah, Kesusastraan & Filsafat Keseharian (2021).

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid