Romo Gani: Gereja Harus Terlibat Dalam Perjuangan Kaum Miskin Dan Tertindas

Kita sedang dalam suasana menyambut Natal. Mari menempatkan perayaan Natal itu sebagai momentum untuk persatuan, persaudaraan, solidaritas, dan perjuangan untuk dunia yang lebih baik.

Presiden ke-4 Republik Indonesia Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pernah berpesan: “Mestinya yang merayakan Natal bukan hanya umat Kristen, melainkan juga umat Islam dan umat beragama lain, bahkan seluruh umat manusia. Sebab Yesus Kristus atau Isa Al-Masih adalah juru selamat seluruh umat manusia, bukan juru selamat umat Kristen saja.”

Hanya saja, kita tentu tidak ingin Natal ini hanya menjadi ritus keagamaan belaka. Natal jangan dimaknai hanya lampu warna-warni, pesta, pohon natal, dan adegan kelahiran saja. Paus Fransiskus menyebut itu sebagai “sandiwara”. Lebih dari itu, Natal harus dihadirkan untuk memberi jawaban atas persoalan kebangsaan dan dunia sekarang ini.

Untuk itulah, Berdikari Online telah mewancarai Romo Yohannes Gani. Romo Gani, demikian sapaan akrabnya, adalah seorang iman yang bertugas di daerah pedalaman Kalimantan. Tepatnya di kecamatan Menukung, Melawai, Kalimantan Barat.

Dia adalah satu dari segelintir kaum agamawan yang menolak “berumah di atas angin”. Selama ini, alumnus Sekolah Tinggi Teologi Filsafat Widya Sasana Malang ini akrab dengan isu-isu perburuhan dan rakyat miskin. Dia juga turut serta dalam advokasi terhadap anak jalanan dan kaum marjinal lainnya.

Berikut ini petikan wawancaranya:

Menurut Romo, bagimana memaknai Natal tahun ini bila dihadapkan dengan persoalan bangsa saat ini?

Sebelum berbicara Natal perlu kita pahami tentang dua konsep tentang kehadiran Yesus di dunia. Pertama dengan hadirnya Yesus maka Kerajaan Allah sudah datang. Kerajaan Allah secara eskatologis adalah surga setelah kematian atau pada akhir jaman. Tetapi Kerajaan Allah tidak dapat hanya dipandang nanti setelah mati, melainkan juga punya unsur kekinian. Saat ini dan disini. Maka kehadiran Yesus bukan hanya berbicara soal nanti setelah mati, melainkan saat ini dan disini.

Kedua, kehadiran Yesus seperti yang diwartakan Yesus dalam Injil Lukas 4 bahwa Dia hadir untuk membebaskan orang tertindas dan memberi suka cita pada kaum miskin. Maka yang dinantikan oleh kaum tertindas adalah adanya pembebasan. Penghapusan penindasan dan terwujudnya keadilan adalah sarana untuk mewujudnyatakan Kerajaan Allah.

Kebahagiaan manusia itu terjadi apabila tidak ada lagi penindasan dan ketidakadilan. Jadi seharusnya inilah yang menjadi semangat Natal, yaitu munculnya fajar harapan bagi kaum tertindas dan munculnya dunia baru dimana tidak ada lagi penindasan dan kesengsaraan.

Sekarang jika ditanyakan kaitannya dengan situasi negara kita maka Natal masih relevan. Negara kita juga punya cita-cita yang tertulis dalam Pancasila, yaitu keadilan sosial dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Masalahnya keadilan dan kesejahteraan ini belum terwujud. Masih menjadi cita-cita. Apakah ini utopia? Saya rasa kok tidak ya. Ini bisa diwujudkan jika kita sungguh-sungguh mau memperjuangkannya.

Hal ini pasti akan diikuti pertanyaan praksisnya bagaimana untuk mewujudkannya? Jika belajar dari Injil, sebelum Yesus berkarya didahului oleh Yohanes Pembaptis yang menyerukan pertobatan. Saat Yohanes Pembaptis ditanya bagaimana bertobat itu? Dia lalu menjawab yaitu dengan berbagi, tidak korupsi dan hidup cukup dengan gajimu. Maka kesejahteraan dan keadilan harus dimulai dengan pertobatan diri untuk berani berbagi dengan orang yang miskin, tidak korupsi dan cukup dengan apa yang kita miliki. Masalahnya akar dosa dan menjadi dosa pertama manusia adalah keserakahan. Adam dan Hawa diberi oleh Tuhan semua pohon dan binatang di surga. Tuhan hanya melarang mereka untuk tidak makan buah dari 1 pohon saja. Tetapi akhirnya mereka makan juga sebab ingin menguasai semuanya.

Keserakahan inilah yang menjadi akar carut-marutnya keadaan negara kita. Orang meski sudah kaya tetap berusaha memakan sesamanya dan apa saja yang dapat dimakan tanpa peduli tindakan mereka membuat orang lain menderita. Akibat keserakahan, maka korupsi merajalela. Mulai dari ujung bawah sampai ujung atas. Kita semua muak dengan berita korupsi, tetapi apakah kita yang muak ini sungguh tidak serakah? Jangan-jangan kita muak sebab kita belum dapat kesempatan untuk korupsi.

Maka jika Natal adalah awal kehadiran Kerajaan Allah perlu adanya revolusi besar-besaran. Revolusi bukan menggulingkan penguasa, sebab kudeta akan memunculkan kudeta baru lagi, melainkan revolusi diri. Pertobatan diri. Mengubah diri dengan menyadari bahwa hidup kita terkait dengan sesama. Keadilan hanya bisa tercipta bila kita berpikir tentang sesama. Tentang kebutuhan dan kesejahteraan sesama. Sejauh kita masih egois dan serakah maka keadilan tidak pernah akan terwujud.

Tahun ini, seperti dicatat Komnas HAM, praktek intoleransi meningkat 30 persen dibanding tahun sebelumnya. Dan memang perlu diakui, kecenderungan intoleransi ini memperlihatkan trend meningkat. Bagaimana pendapat Romo mengenai hal ini?

Intoleransi muncul akibat adanya pemahaman yang keliru tentang agama, suku, ras dan sebagainya. Intoleransi muncul sebab orang merasa bisa hidup sendiri. Padahal tidak mungkin kita hidup sendiri. Kita bergantung pada orang lain dalam semua hal. Makanan, pakaian, apa yang kita miliki sebagian besar bahkan mungkin semuanya adalah hasil dari orang lain. Kita tidak membuatnya sendiri. Kita hanya menikmati atau mengolah sedikit saja. Nasi yang kita makan adalah hasil jerih payah petani dan kita hanya memasukkan panci untuk memasaknya. Panci pun bukan buatan kita. Jika kita membuat panci, maka almuniumnya juga bukan buatan kita. Masak pakai kompor minyak. Minyaknya pun bukan kita yang mengebornya dan mengolahnya sehingga hasil tambang itu menjadi minyak tanah. Maka sebetulnya kita bergantung. Jika kita sadar bahwa kita bergantung pada orang lain maka kita akan menghargai orang lain sebab kita sadar bahwa tanpa dia maka kita tidak bisa hidup lebih baik. Kita tidak mungkin hidup seperti Robinson Crusoe. Jika kita menyadari hal itu maka kita akan menghargai orang lain.

Kedua, jika intoleransi terkait agama, saya melihatnya bahwa agama sudah bergeser bukan menjadi pegangan hidup, melainkan agama lebih menjadi semacam partai, sehingga kalau banyak anggota atau mayoritas maka akan berkuasa. Agama bukan soal kekuasaan, melainkan tuntunan agar manusia semakin baik. Agama-agama muncul pada saat hidup manusia kurang baik, maka ada tokoh-tokoh utusan Tuhan yang mengajak manusia untuk hidup baik. Hidup sesuai dengan kehendak Tuhan dengan mencintai sesama dan peduli pada kaum miskin dan tertindas.

Maka perlu mengembalikan agama pada tempatnya. Agama sebagai suara Tuhan yang menyerukan keadilan dan pertobatan dari dosa-dosa yaitu tindakan yang merugikan sesama manusia dan diri sendiri. Bukan hanya sekedar menambah jumlah anggota atau ribut soal yang tidak terkait dengan suara Tuhan.

Apa peran yang bisa dimainkan oleh negara untuk mencegah praktik intoleransi tersebut?

Negara kita sudah bagus sejak awal mendasarkan pada ketuhanan, bukan keagamaan. Tetapi, bagi saya, kelemahannya adalah adanya agama yang diakui. Akibatnya ada agama yang tidak diakui dan dianggap tidak boleh. Maka, bagi saya, itu perlu adanya revisi peraturan atau perundangan itu sehingga memungkinkan orang beragama diluar itu tetap mendapat pengakuan dalam masyarakat dan mendapat perlindungan yang sama.

Kedua, bagi saya pemerintah harus berada diluar agama. Agama biar diurus oleh kaum agamawan, bukan pemerintah. Pemerintah hanya bertugas melindungi semua pemeluk agama. Disini sering terjadi dimana pemerintah tidak berkuasa atas mayoritas. Selain itu adanya lembaga agama bentukan pemerintah seolah semua kebenaran berasal dari lembaga itu. Padahal belum tentu. Kebenaran agama berasal dari kaum agamawan yang sungguh bergelut dengan dogma dan kitab suci tanpa kepentingan dana atau kekuasaan. Jika lembaga agama masih berusaha menggalang dana dan kekuasaan, maka semua akan dapat menjauh dari ajaran agama dan terjadi pelegalan tindakan-tindakan yang tidak sejalan dengan ajaran agama.

Ketiga, jika pemerintah memang berdasar pada ke-Tuhan-an, maka harus adanya konsistensi terhadap hal itu. Bukan membiarkan lembaga, organisasi atau apapun namanya yang jelas-jelas melakukan intoleransi. Perlu adanya hukum yang tegas adanya pelanggaran hak asasi manusia, misalnya dengan adanya pembubaran ormas atau lembaga yang berdasarkan atau mengatasanamakan agama jika melanggar apa yang sudah diletakkan oleh para bapak pendiri bangsa.

Keempat, pemerintah mempunyai departemen agama. Tetapi kita menjadi terkejut saat ternyata departemen agama menjadi departemen yang korup. Timbul pertanyaan mengapa dapat demikian? Berarti ada yang salah dalam departemen itu. Apa yang sudah dikerjakan oleh departemen ini dalam masyarakat jika masih ada saja kaum pemeluk agama ditindas? Maka perlu juga departeman ini ditata ulang agar dapat bekerja sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya.

Seperti diketahui, Indonesia yang sangat beragaman, termasuk agama dan kepercayaannya, dibangun berdasarkan konsensus nasional bahwa kita negara nasional (berfaham kebangsaan), bukan negara agama. Tetapi akhir-akhir ini muncul suara-suara yang menyuarakan negara agama. Bagaimana pendapat Romo?

Saya tidak setuju negara agama, sebab dengan demikian kita tidak akan menghargai pilihan seseorang untuk memeluk agama sesuai dengan panggilan hidupnya. Di beberapa negara berdasarkan agama terjadi penindasan terhadap pemeluk agama lain atau pelarangan orang yang ingin memeluk agama yang berbeda. Pelanggaran hak asasi semakin besar.

Indonesia itu terdiri dari puluhan suku yang tersebar di puluhan pulau. Terkadang orang hanya memusatkan diri pada Jawa. Memang Jawa adalah pulau yang terpadat dan letak ibu kota negara, tetapi Jawa adalah bagian dari puluhan suku dan pulau yang disebut Indonesia. Jika Indonesia menjadi negara agama dapat dipastikan akan timbul gejolak yang memungkinkan pemisahan diri dari suku-suku yang tidak beragama sama. Sebetulnya hal ini juga sudah dilihat oleh para bapa bangsa sehingga mereka sepakat menjadikan negara kita sebagai negara yang bukan berdasarkan agama. Misalnya Sumpah Pemuda hanya menyatakan satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa. Tidak ada menyebut satu agama, sebab para tokohnya sadar bahwa satu-satunya yang memungkinkan bagi Indonesia adalah negara republik yang tidak berdasarkan ideologi agama.

Menurut Romo, bagaimana menempatkan aspirasi keagamaan dalam konteks negara nasional seperti Indonesia ini?

Sebetulnya agama adalah hati nurani sebuah bangsa, sebab agama mengajarkan dan menegakkan kebaikan. Peran agama adalah bagaimana agar membimbing orang menjadi lebih baik. Menjadi orang hidup dalam kebenaran. Melakukan pertobatan-pertobatan agar hidup lebih baik lagi. Maka agama penting dalam sebuah negara. Tetapi bukan menjadikan dasar negara.

Aspirasi keagamaan dapat diungkapkan dalam undang-undang dan aturan dan sebagainya. Asal sekali lagi semua itu bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat atau bonum communes. Bukan menjadi sarana penindasan terselubung ajaran suci.

Kaum agamawan juga menjadi penjaga kebenaran dan bersuara kebenaran. Sekali lagi bukan kebenaran sempit menurut agama, tetapi kebenaran umum. Hal ini disebabkan kebenaran satu agama bisa berbeda dengan kebenaran agama yang lain. Misalnya dalam agama Katolik, seorang imam harus hidup selibat, tidak menikah. Ini merupakan kebenaran bagi agama Katolik. Tetapi tidak bisa dipaksakan kepada semua pemimpin agama agar hidup selibat. Kebenaran bagi agama Katolik dan Budha tidak dapat dianggap benar oleh agama lain. Tetapi penidasan, pemiskinan, pemarginalan masyarakat ini perlu dilawan. Penghargaan manusia adalah kebenaran umum. Tapi bisa dilihat bahwa suara kenabian yang menyerukan kebenaran sangat jarang di negara ini. Lebih banyak suara kebenaran menurut agama sendiri. Bukan kebenaran universal.

Kita tahu, dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, kaum agamawan mengambil peran besar. Kaum agamawan bersikap anti-kolonial. Sekarang kita berhadapan dengan persoalan neokolonial, tetapi kaum agamawan kelihatannya mengambil sikap pasif. Apa yang menyebabkan dan apa pendapat Romo?

Menurut saya memang kolonialisme sudah berakhir, tetapi penjajahan dalam bentuk lain muncul. Tentara Jepang sudah meninggalkan Indonesia sejak tahun 1945, dengan demikian penjajahan Jepang sudah berakhir. Tetapi apakah Jepang sudah melepaskan Indonesia dari jajahan? Bagi saya belum. Jepang masih menjajah Indonesia dengan banjirnya produk Jepang ke Indonesia. Dengan banjirnya produk Jepang maka keuntungan atau penyerapan kekayaan negara kita oleh Jepang tetap berjalan. Bahkan sekarang kita bukan hanya dijajah oleh Jepang tapi juga Korea dengan segala produknya, dan negara-negara lain yang telah mengkapling negara kita dan kekayaan alam yang kita miliki. Pernah saya melihat peta Indonesia yang dipenuhi bendera negara asing. Disitulah tambang-tambang kita yang dikuasai oleh negara asing. Kasus freeport yang ramai saat ini, saya tidak tahu siapa yang salah dalam kasus ini, apakah SN, SS, atau yang lain. Tetapi itu menunjukkan bahwa kita dikuasai oleh asing. Isu yang beredar sejak dulu freeport itu kan timbal balik atas naiknya Soeharto. Memang ini masih isu dan perlu dibuktikan dengan ilmiah. Tetapi bagi saya bisa saja terjadi sebab Soekarno gencar nasionalisasi yang dapat membahayakan para penguasa asing yang punya bisnis di negara kita.

Perjuangan kaum agamawan saat ini jauh lebih berat dibandingkan kaum agamawan jaman kolonialisme dulu. Dulu cukup mengajak masyarakat angkat senjata lalu berperang melawan penjajah. Sekarang tidak ada lagi tentara yang perlu diusir. Kita tidak melihat lagi tentara penjajah. Kita melawan dominasi kekuatan asing dalam bentuk penguasaan kekayaan alam, budaya dan industri.

Kaum agamawan saat ini menurut saya menyerukan perjuangan melawan kekuatan asing dengan menyerukan hidup sederhana. Saat ini semakin banyak kaum konsumtif dan hedonis. Ini bukan kesalahan mereka sebab setiap saat mereka ditawari dan dijejali gaya hidup hedonis dan konsumtif oleh televisi, yang merupakan tamu asing di kamar tidur kita. Maka kaum agamawan perlu melawan dengan mengajak orang hidup sederhana. Kaum agamawan juga mengajarkan agar kita punya harga diri, sebab selama mentalitas kita masih mentalitas inlander maka kita akan terus menjadi bangsa terjajah. Kita kagum pada hidup yang sebetulnya bukan budaya kita. Dalam kitab suci diajarkan bahwa manusia adalah mahluk terakhir yang diciptakan dan mahluk yang mulia, sebab dia adalah gambaran atau citra Allah. Jika kita adalah mulia maka harus bangga pada diri kita bukan minder dan bermental inlander, yang mudah terkagum-kagum pada asing dan segala produknya. Misalnya, begitu di Korea muncul K-pop, maka disini banyak anak muda mengubah penampilannya menjadi seperti artis Korea. Sekarang banyak orang merasa sudah menjadi manusia canggih, modern, jika kemana-mana bawa adroid Samsung, mengupdate foto setiap gerak kehidupannya dan sebagainya. Padahal tanpa semua itu, kita tetap manusia yang berharga dan bermartabat. Inilah yang perlu kita perjuangankan bersama.

Apakah kaum agamawan bersikap pasif? Ada benarnya juga, sebab kaum agamawan sering berada pada zona aman dan nyaman. Padahal kalau mau berjuang dia harus berani keluar dari zona nyaman dan aman. Mungkin mentalitas neoliberalisme sudah merasuk juga dalam para tokoh agama, maka ada tokoh agama yang menjadi selebritis, mengejar kepopuleran, kekayaan dan kekuasaan. Jika tokoh agama sudah terjebak dalam keinginan itu maka terjadilah krisis ketokohannya.

Hal ini juga disebabkan kesalahan umat. Banyak umat yang mengagungkan tokoh-tokoh agama dan menempatkannya pada posisi tertentu. Posisi yang lebih unggul dibandingkan umat. Akibatnya dia merasa nyaman berada dalam kondisi itu sehingga lupa tugas utamanya. Belum lagi adanya tokoh agama yang pandai. Kemana-mana disorot kamera. Memberikan kotbah yang menyenangkan pendengarnya. Terkadang lucu dan menghibur dan menyenangkan hati pendengarnya. Umat senang mendengarkan kotbah semacam itu, sebab umat dalam kehidupannya sudah mendapat tekanan dari pekerjaan dan aneka tantangan hidup, maka dia datang mendengarkan kotbah untuk mendapatkan penghiburan.

Bila tokoh agama berkotbah tentang surga setelah mati, kesalehan tentang hidup melalui doa atau soal psikologi manusia seperti gaya Mario Teguh, maka dia akan mendapatkan banyak kenikmatan dan bahkan menjadi selebritis. Tetapi bila dia berkotbah soal situasi ketidakadilan yang terjadi di masyarakat dan seruan untuk solidaritas dengan kaum miskin dan tertindas, maka dia akan ditinggalkan.

Mgr Romero pernah mengatakan, “Jika dia membagikan makanan pada kaum miskin maka dia akan disebut orang suci, tetapi jika dia mempertanyakan mengapa ada kemiskinan dan berusaha membongkar kemiskinan maka dia disebut komunis.” Apa yang disampaikannya merupakan sindiran pada banyak tokoh agama. Hampir di semua Gereja pada saat Natal dan Paskah akan banyak umat melakukan karya sosial, yaitu membagikan makanan, pakaian, dana dan sebagainya pada kaum miskin. Ini memang baik, tetapi tidak menyelesaikan kemiskinan itu sendiri. Ini langkah kesucian tetapi tidak menyelesaikan masalah kemiskinan. Umat harusnya melakukan solidaritas, yaitu terlibat dalam perjuangan kaum miskin dan tertindas.

Yesus melakukan karya belas kasih dengan menyembuhkan orang, memberi makan orang dan sebagainya. Tetapi Dia tetap menyerukan untuk membongkar ketidakadilan dan penindasan yang terjadi dalam masyarakat, maka kotbahnya pun dianggap keras sehingga ditinggalkan oleh banyak pengikut-Nya. Sebetulnya inilah tantangan dari para tokoh agama, berani atau tidak dia menyerukan kebenaran. Mgr Oscar Romero pernah mengatakan bahwa suatu hari dia diundang oleh pengusaha perkebunan maka saat dia berkotbah dia menyerukan keadilan terhadap buruh perkebunan dan menentang berbagai bentuk kekerasan dan penindasan yang terjadi. Sejak saat itu dia tidak pernah diundang lagi oleh para penguasa perkebunan. Inilah tantangan para tokoh agama apakah dia akan setia menyerukan kebenaran dan keadilan yang akibatnya akan disingkirkan oleh para penguasa atau dia mengatakan yang menyenangkan agar dia tetap diterima oleh para penguasa dan pemilik modal.

Di tingkat global, fenomena ekstrimisme dan terorisme berbasis agama juga meningkat. Juga praktik intoleransi sebagaimana diwakili oleh Capres Amerika Serikat, Donald Trump. Apa pendapat Romo terkait hal itu dan bagaimana menangkalnya agar tidak merusak Indonesia?

Menurut saya yang laku dijual saat ini adalah agama. Globalisme yang menjadikan dunia sempit membuat manusia menjadi cair. Terbukanya sekat-sekat negara dan daerah dan terjadinya migrasi atau urbanisasi membuat cairnya suku, ras, dan golongan. Satu-satunya yang masih belum cair adalah agama. Manusia bisa disatukan karena agama dan digerakkan karena agama. Maka sering agama digunakan untuk tujuan itu yaitu mempersatukan dan menggerakkan manusia. Misalnya dalam agama Katolik, bila ada orang mengatakan ada penampakan Bunda Maria, maka akan ada ribuan orang yang dapat digerakkan ke tempat itu. Bahkan orang yang hanya Katolik KTP pun tiba-tiba menjadi orang saleh yang berdoa Salam Maria, doa pujian kepada Maria. Demikian pula sebaliknya terorisme.

Untuk menolak terorisme maka perlu kembali pada semangat awal agama itu muncul. Melepaskan diri dari politik yang terkait dengan kekuasaan dan uang. Yesus hidup dalam kemiskinan dan mati pun dalam kemiskinan. Tetapi pernah suatu saat Paus sebagai pemimpin tertinggi agama Katolik terjebak menjadi penguasa Eropa yang kekuasaannya mengalahkan para raja dan kaisar. Akibatnya terjadi perpecahan di Jerman dengan munculnya Protestanisme dan di Inggris dengan munculnya Anglikan. Pecahan itu tidak murni soal dogma, tetapi juga kental dengan soal nasionalisme dan kekuasaan raja. Raja Inggris Henry VIII yang ingin menikah lagi dilarang oleh Paus, maka muncullah Anglikan. Mereka menolak kekuasaan Paus dan mengangkat raja atau ratu Inggris sebagai penguasa tertinggi. Hal ini menyebabkan ribuan nyawa melayang.

Maka sebaiknya agama meski menjadi “sarana” yang laku untuk dijual demi meraih kepentingan politik atau kekuasaan, agama dikembalikan pada semangat awalinya yaitu untuk memperbaiki tatanan dunia dan masyarakat yang mulai kacau balau. Yesus mendirikan komunitas baru yang melawan penindasan yang dilakukan oleh praktik-praktik keagamaan yang menguntungkan para pemimpin agama, melawan para pemimpin bangsa yang sibuk mengejar kenikmatan dan masyarakat yang hanya mencari aman dengan mendiamkan dan membenarkan semua penindasan yang terjadi di sekitar mereka.

Ini tugas para pemimpin agama untuk membawa umatnya ke jalan yang benar sesuai dengan semangat awali agama itu muncul. Maka perlu belajar historisitas agama.

Soal Donald Trump, saya tidak tahu apa latar belakangnya sehingga dia mengusung isu intoleran dalam kampanyenya. Mungkin dia sedang menggunakan situasi dimana ISIS sedang menjadi bahan pembicaraan karena tindakan terornya untuk mencari simpati dari masyarakat AS yang mayoritas Kristen Protestan. Mungkin juga dia menggunakan isu intoleransi untuk mengingatkan rakyat AS akan peristiwa 9/11 yang menewaskan ribuan orang dan hancurnya keyakinan diri sebagai negara yang super ketat keamanannya. Dalam situasi masyarakat yang masih terbawa kebencian terhadap Islam maka diharapkan dengan mengusung anti Islam dia akan mendapat banyak dukungan. Tapi, bagi saya, dia salah sebab dengan demikian dia sudah mengkhianati Four Freedoms yang merupakan gagasan Franklin D. Roosevelt. Four Freedoms ini juga menjadi dasar piagam Atlantik yang dinyatakan oleh Roosevelt dan Churchil dari Inggris dan Declaration of Human Rights. Jelas dalam Four Freedoms tertulis adanya kebebasan beragama.

Peran apa yang bisa dimainkan kaum agamawan, khususnya umat Katolik, dalam situasi kebangsaan saat ini?

Martin Luther King pernah menulis dalam sebuah catatannya yang merupakan kritikan terhadap agama. Menurut dia, agama yang terjebak dalam ritus dan dogma maka agama itu telah kehilangan vitalitasnya. Agama harus berpihak pada perjuangan kaum miskin dan tertindas. Romero bahkan lebih keras lagi. Dia mengatakan “Seorang Kristen yang tidak mau mewujudkan kewajibannya untuk solidaritas dengan kaum miskin dan tertindas, dia tidak layak disebut orang Kristen.”

Dalam Katolik pernah terjadi semacam “guncangan” ketika para umat Katolik di Amerika Selatan berusaha menafsirkan Kitab Suci dari sudut pandangan sosialis dan memunculkan sebuah tafsir iman baru yang mereka sebut teologi pembebasan. Sebetulnya apa yang diajarkan oleh teologi pembebasan adalah sebuah tafsiran teologi dari sudut masyarakat yang tertindas.

Para teolog di Amerika Selatan berusaha menjadikan teologi bukan lagi ajaran yang melayang tentang surga melainkan berusaha menjawab masalah yang terjadi di dalam masyarakat yaitu kemiskinan dan penindasan. Mgr Oscar Romero, uskup San Salvador yang dibunuh oleh tentara Salvador pada 24 Maret 1980. Dia banyak mengkritik pemerintah yang menindas rakyat. Dia menunjukkan posisi Gereja berada di tengah masyarakat yang tertindas dan berjuang bersama masyarakat meski perjuangannya bukan terjebak dalam materialisme. Dia memperjuangkan tiga hal, yaitu melindungi kehidupan, memperjuangan kemuliaan manusia dan melawan bentuk-bentuk penindasan manusia.

Teologi semacam teologi pembebasan bukan hanya ada di Amerika Selatan tetapi juga di India yang terkenal dengan teologi Dailit, di Korea dengan teologi Minjung dan sebagainya. Semuanya berusaha menjawab masalah masyarakat terutama penindasan dan kemiskinan dalam terang iman. Di Indonesia meski sudah ada beberapa imam yang mengusung teologi pembebasan dalam wajah Indonesia, tetapi gaungnya masih tidak sekuat di Amerika Selatan, India atau Korea.

Sebetulnya Gereja sudah menyerukan perjuangan bersama kaum miskin sejak beberapa abad yang lalu, meski belum seradikal teologi pembebasan. Tetapi beberapa imam sudah berusaha menempatkan diri atau berpihak pada kaum miskin dan tertindas. Misalnya St. Vincentius a Paulo (1581-1660), seorang imam di Perancis, yang berusaha membongkar praktek keagamaan pada jaman itu yang terpusat pada doa. Iman harus diwujudkan dalam pelayanan kepada kaum miskin, sehingga St. Vincentius mengatakan bahwa kapel atau gereja (tempat berdoa) adalah lorong-lorong rumah sakit yang kumuh dan gubuk-gubuk kaum miskin. Yesus tidak hanya ditemukan dalam gereja atau kapel tetapi ada di dalam diri kaum miskin. Apa yang dikatakan oleh St. Vincentius adalah ajaran Yesus sendiri bahwa Dia ada dalam saudara-saudara kita yang hina. St. Vincentius berpedoman pada sabda Yesus tentang pembebasan kaum miskin. Bahwa Dia datang untuk mewartakan kabar pembebasan pada kaum miskin.

Gereja secara tegas mendorong para imamnya untuk terlibat dalam perjuangan buruh atau kaum miskin saat paus Leo XIII mengeluarkan ensiklik Rerum Novarum pada tahun 1981. Dokumen ini dianggap tonggak ajaran bahwa Gereja harus terlibat dalam pergulatan dunia, sebab Gereja ada di dunia bukan di surga. Keselamatan yang dibawa oleh Gereja bukan untuk setelah mati, tetapi juga saat masih di dunia. Setelah munculnya Rerum Novarum muncul dokumen-dokumen lain tentang keberpihakan Gereja pada perjuangan kaum miskin, misalnya tahun 1965 muncul Gaudium et Spes (Kegembiraan dan Harapan) tentang peran Gereja di dunia modern dengan segala permasalahannya. Pada peringatan 80 tahun Rerum Novarum, paus Paulus VI pada tahun 1971 mengeluarkan surat berjudul Octogesima Advenies (Ulang tahun Delapan puluh) yang menyoroti kemiskinan baru akibat urbanisasi. Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1979 mengeluarkan ensiklik Laborem Exercens (Kerja dan manusia) yang menyoroti arti kerja bagi manusia dan hak setiap manusia untuk mendapatkan pekerjaan. Masih banyak lagi ajaran resmi Gereja mengenai masalah sosial.

Memang saat ini ada banyak masalah sosial yang terjadi di negara kita, misalnya kemiskinan, perburuhan, dampak urbanisasi, buruh migran dan sebagainya. Gereja Indonesia sudah berusaha mengambil peran untuk terlibat dalam perjuangan kaum miskin dengan dibentuk komisi atau lembaga-lembaga, misalnya Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi, komisi Justice and Peace, ada komunitas pendamping buruh, pendamping buruh migran, perlindungan anak dan sebagainya yang ada di setiap keuskupan. Tetapi memang belum tampak terasa gaungnya di tengah masyarakat. Hal ini bukan berarti Gereja diam saat ada kemiskinan dan penindasan, tetapi Gereja bergerak dalam diam. Belum menggunakan media sosial untuk mewartakan karyanya dan Gereja memang menghindari pewartaan yang tidak perlu.

Gereja berpedoman pada ajaran konsili Vatikan II yang tertuang dalam dekrit Gaudium et Spes, bahwa kebahagiaan dan penderitaan masyarakat adalah kebahagiaan dan penderitaan Gereja. Maka Gereja berusaha berjuang untuk mewujudkan kebahagiaan dalam masyarakat. Gereja menyadari bahwa kehadiran Yesus adalah saat bagi kita manusia untuk memilih. Memelih hidup dalam kasih atau memilih hidup dalam dosa, yang menyebabkan kesengsaraan. Pilihan itu menentukan kita.

Usaha Gereja untuk terlibat dalam perjuangan kaum miskin bukan tanpa tantangan. Masih kuatnya stigma-stigma yang terkadang membuat umat Katolik menjadi takut secara terang-terangan berpihak pada kaum miskin. Misalnya ada stigma kristenisasi kaum miskin sampai cap subversif dari penguasa. Padahal kalau dipakai akal sehat stigma itu konyol. Misalnya kristenisasi, bagi saya sih lebih baik mengkristenkan para pejabat daripada kaum miskin, sebab jika semua pejabat beragama Katolik maka Gereja akan mendapat banyak fasilitas dan dana. Sebaliknya kalau mengkristenkan kaum miskin apa yang akan didapat Gereja?

Mendampingi dan menolong kaum miskin bukan bertujuan mengkristenkan, tetapi sebuah panggilan iman. Dalam surat Yakobus jelas ditulis bahwa jika kita percaya pada Tuhan itu baik, tapi setan-setan juga percaya. Iman bukan hanya sekedar percaya pada Tuhan tetapi diwujudkan dalam perbuatan. Perbuatan iman adalah solidaritas dengan kaum miskin. Kita bisa masuk surga jika peduli pada kaum miskin. Sekali lagi surga bukan hanya eskatologis tetapi kekinian, ada disini dan saat ini.

Menurut saya Katolik di Indonesia masih perlu berbenah. Harus berani menyerukan suara kenabian, yaitu suara yang menyerukan pembebasan kaum miskin dan tertindas. Pada tahun 1997 KWI membuat surat gembala Prapaskah yang menyoroti masalah aktual saat itu yaitu soal penguasa yang tidak adil. Akibatnya penguasa saat itu mulai bereaksi pada Gereja dengan alasan bahwa para imam tidak boleh berpolitik praktis. Pada tahun 2003 sekali lagi KWI mengkritisi situasi negeri ini dengan mengeluarkan Nota Pastoral yang menyoroti hancurnya moralitas bangsa  sehingga berakibat ketidakadilan dalam bidang politik, ekonomi dan budaya.

Jadi Gereja Katolik di Indonesia sebetulnya sudah mulai berusaha solider dengan kaum miskin dan tertindas, meski gaungnya masih belum sampai ke akar rumput. Masih mengandalkan pribadi-pribadi belum menjadi gerakan seluruh umat. Maka menurut saya perlu adanya perubahan yang terus menerus dalam Gereja. Bukan hanya terjebak mengejar kesucian pribadi melalui doa dan amal, melainkan juga berani solider dengan kaum miskin dan tertindas. Hadir secara nyata dalam komunitas kaum miskin dan tertindas untuk berjuang bersama mereka, sehingga ajaran “option for the poor atau option with the poor” sungguh menjadi nyata. Ini butuh penyadaran terus menerus kepada umat agar tidak berkutat di sekitar altar tetapi mulai berani keluar dari dalam gereja dan masuk dalam perjuangan masyarakat miskin. []

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid