Untuk Menyimpulkan Keadaan, Sukarno Melakukan Riset

Sukarno, saat itu masih menjadi aktivis di Algemene Studie Club di Bandung, sedang bergelut dengan pertanyaan besar: kelas sosial apakah yang paling dominan dalam susunan masyarakat Indonesia?

Waktu itu, tahun 1921, Ia baru berusia 20 tahun. Namun, pertanyaan itu mulai membuntuti pikirannya sejak ia menghirup teori-teori marxisme. Di Eropa, dalam bacaannya, susunan masyarakat terbelah menjadi dua kelas dominan: Kapitalis dan Proletar.

Di negerinya, yang saat itu masih bernama Hindia-Belanda, dua kelas itu masih samar-samar. Memang sudah ada kaum proletar, seperti di perusahaan kereta api, perusahaan pegadaian, pertambangan, dan lain-lain, tetapi jumlahnya sangat kecil.

Defenisi proletar sudah jelas: (1) orang yang tidak punya alat produksi; (2) dia menjual tenaga kerjanya pada orang lain/majikan/kapitalis; dan (3) dia menerima upah dari menjual tenaga kerjanya. Kalau di eropa, dengan defenisi tersebut, proletar gampang terbaca.

Di negeri tempat Sukarno berpijak, yang banyak adalah pemilik produksi kecil-kecilan: pertanian kecil, perdagangan kecil, usaha produksi kecil, dan pelayaran kecil. Dan sebagian besar pemilik produksi kecil ini hidup sengsara dan melarat.

Sukarno sadar, kapitalisme yang berkembang di negerinya adalah kapitalisme yang dicangkokkan oleh kolonialisme, bukan lahir dari rahim pergulatan kekuatan-kekuatan produktif dan relasi sosial produksi di dalam masyarakat Indonesia sendiri. Akibatnya, corak produksi lama, yakni feodal atau pra-kapitalis, tidak terbabat habis.

Sudah begitu, kata Sukarno, imperialisme Belanda bukanlah negara kapitalis yang sudah mengalami “mechanische dan industrieele revolutie”; belum pernah mengalami revolusi industri dan termekanisasi. Imperialis Belanda lebih banyak menggelontorkan kapitalnya ke sektor ekstraktif, khususnya pertambangan dan perkebunan. Model ekonomi ini tidak menghasilkan kelas proletar seperti di Eropa.

Inilah yang berkelindan dalam pikiran Sukarno muda. Karenanya, untuk menjawab pertanyaan itu, ia melakukan riset lapangan.

Sukarno melakukan riset ke daerah Bandung Selatan, yang dikenal sebagai kawasan pertanian. Di sana para petani mengerjakan sawah masing-masing yang luasnya kurang dari sepertiga hektar. Hampir setiap hari Sukarno mengunjungi daerah itu. Mengamati keadaan, lalu melakukan wawancara kecil dengan beberapa petani.

Singkat cerita, tanpa basa-basi, Sukarno memulai risetnya. Ia mendatangi seorang petani dan mengajaknya berdiskusi dengan menggunakan bahasa Sunda. Terjadilah dialog kira-kira seperti berikut:

“Siapa yang punya semua yang engkau kerjakan sekarang ini,” tanya Sukarno.

“Saya, juragan,” jawab si petani.

“Apakah engkau memilih tanah ini bersama-sama dengan orang lain?”

“O..tidak, gan. Saya sendiri yang punya.”

“Tanah ini kau beli?”

“Tidak. Warisan bapak kepada anak turun-temurun.”

Soekarno merenung sejenak. Pikirannya sibuk meresapi jawaban petani tersebut. Lalu, karena masih belum terang, ia kembali mengajukan pertanyaan.

“Bagaimana dengan sekopmu? Sekop ini kecil, tapi apakah kepunyaanmmu juga?

“Iya, gan,” jawab si petani.

“Dan cangkul?”

“Iya, gan?”

“Bajak?”

“Saya punya, gan.”

“Untuk siapa hasil yang kau kerjakan?”

“Untuk saya, gan.”

“Apakah cukup dengan kebutuhanmu?”

“Bagaimana sawah yang begini kecil bisa cukup untuk seorang isteri dan empat orang anak?” keluh petani itu.

“Apakah ada yang dijual dari hasilmu?”

“Hasilnya sekedar cukup untuk makan kami. Tida ada lebihnya untuk dijual.”

“Kau mempekerjakan orang lain?”

“Tidak, juragan, saya tidak dapat membayarnya.”

“Apakah engkau pernah mem-buruh?”

“Tidak, gan. Saya harus membanting-tulang, akan tetapi jerih-payah saya semua untuk saya.”

Begitulah wawancara singkat itu berlangsung, seperti diceritakan Sukarno di buku otobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.

Konon, nama petani itu adalah Marhaen. Kelak, cerita petani bernama Marhaen itu menjadi dasar berpijak bangunan teoritik Sukarno dalam mengenali kelas dominan dalam masyarakat Indonesia. Namun, Sukarno tak hanya melakukan riset di kalangan petani, tapi juga terhadap tukang gerobak dan rakyat jelata lainnya.

Riset itu mengantarkan Sukarno pada sebuah kesimpulan: mayoritas rakyat Indonesia (konon, 90% saat itu) adalah pemilik alat produksi kecil, dengan perkakas kerja kepunyaan sendiri, tidak mempekerjakan tenaga orang lain (dikerjakan sendiri bersama anggota keluarga), dan hasilnya hanya cukup untuk diri sendiri dan keluarganya.

Sukarno kemudian menjadikan Marhaen sebagai prototipe dari kaum pemilik produksi kecil ini. Kategorinya pun jelas:  (1) pemilik produksi kecil; mereka tidak menyewa atau mempekerjakan orang lain (biasanya dikerjakan sendiri bersama anggota keluarga); (2) mereka tidak punya majikan ataupun buruh upahan; dan (3) hasil produksinya hanya untuk kebutuhan sendiri dan keluarganya.

Kelak, penemuan itulah yang menjadi dasar berpijak lahirnya gagasan besar Sukarno: Marhaenisme. Jadi, marhaenisme sebetulnya adalah analisa kelas. Pisau analisanya menggunakan marxisme. Pada prakteknya, marxisme diterapkan dalam konteks masyarakat Indonesia.

Jadi, sebelum mendirikan partainya, Partai Nasional Indonesia (PNI), tahun 1927, Sukarno membangun lebih dulu teori politiknya. Dan, supaya teori politik itu bisa cocok dengan keadaan Indonesia dan bisa menjawab persoalan rakyatnya, ia melakukan riset.

RUDI HARTONO

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid