Refleksi Menyambut 70 Tahun Republik Indonesia

Tujuh puluh tahun bagi sebuah bangsa yang lahir di era modern adalah waktu yang cukup panjang. Indonesia seharusnya dapat memanfaatkannya secara maksimal untuk menjadi bangsa maju dengan capaian tingkat kesejahteraan dan indeks pembangunan manusia yang tinggi.

Peradaban modern sebagai sintesa dari dialektika sejarah yang berlangsung ribuan tahun telah menyediakan berbagai perangkat berupa alat-alat produksi dan teknologi mutakhir, dengan landasan segunung ilmu pengetahuan yang berusia ribuan tahun maupun baru seumur jagung. Terlebih lagi, para pendiri bangsa pun sudah merumuskan filosofi dan membangun pondasi kebangsaan yang kokoh.

Karena itu, harapan Indonesia yang maju dan beradab pada usia 70 tahun bukanlah suatu impian atau angan-angan tanpa basis material yang cukup. Kita tidak menutup mata dan menafikan segala hal-hal positif yang dicapai. Tentu, Indonesia memiliki banyak prestasi selama puluhan tahun ini. Tapi untuk mengejar ketertinggalan kita membutuhkan satu loncatan. Salah satu hal yang mutlak diubah untuk mencapainya adalah mental kita, khususnya mental para pemimpin kita. Mental inlander (jajahan) harus diubah menjadi mental manusia merdeka; mental yang melihat Barat (asing) sebagai pembebas dirubah menjadi mental yang memandang seluruh bangsa dan umat manusia adalah setara; mental gampang berutang, utang dan utang  menjadi mental yang gemar memaksimalkan potensi diri sendiri, lalu bangkit walau dengan penuh penderitaan; mental yang memandang hak milik berupa tanah, air, udara sebagai sumber daya yang bisa diolah dan digarap sendiri, bukan mental pedagang atau broker yang doyan menjual, jual dan jual, sewakan, sewakan dan sewakan.

Selain itu, kita patut pula menghilangkan mental tuan di kalangan pemimpin. Para tuan senang menyengsarakan rakyat sendiri, khususnya rakyat kecil, dengan berbagai peraturan dan pungutan. Bukannya menjadi abdi, para tuan suka membebani hidup rakyat kecil yang sudah sulit dan merampas hak-hak mereka untuk hidup lebih layak. Watak semacam ini pada akhirnya menumbuhsuburkan  pandangan rakyat bahwa negara adalah alat kelas penghisap dan menjauhkan rakyat dari partisipasi.

Itulah sejatinya sasaran terdepan revolusi mental. Karenanya, revolusi mental bukanlah soal mereproduksi frasa gotong-royong menjadi doktrin kaku, seperti mengabadikan histeria hantu komunis di zaman Orde Baru. Revolusi mental bukan pula berarti pemimpin harus selalu dipuji sehingga satu kritikan dari sejuta pujian dimaknai sebagai ketidaksantunan. Jika revolusi mental demikian itu, maka ia telah kehilangan elan revolusionernya.

Republik Indonesia kini mencapai usia tujuh puluh tahun. Sungguh waktu berlalu cepat. Sejarah yang sedang menyambut kita akan mencatat apakah kita benar-benar bangsa raksasa atau hanya gajah berkaki lempung. Jika kita gajah berkaki lempung, maka wajar ke depan kita dilecehkan lagi seperti dilakukan PM negara tetangga kita, Singapura, yang tertawa dengan sedikit nada mengejek saat berpidato menceritakan pertemuannya dengan presiden sebuah bangsa dengan penduduk 50 kali lipat lebih besar. Presiden tersebut memohon agar sudi menanamkan investasi di sektor infrastruktur.

Ke depan, kitalah penentunya.
Dirgahayu negeri tercinta Indonesia.

Harris Sitorus, Wakil Ketua Umum Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (KPP-PRD)

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid