Banyak masalah yang melilit negeri kita. Beberapa diantaranya sudah sangat darurat: konflik agraria di berbagai daerah, kebijakan pengupahan yang merugikan buruh, jemaat gereja yang dilarang beribadah, dan lain sebagainya.
Begitu kasus tersebut meletus, bahkan memicu korban jiwa, banyak orang yang berharap ‘pertolongan’ Presiden. Tapi, sayang sekali, sang Presiden tak kunjung mengulurkan tangan. Di atas singgasananya, sang Presiden sibuk bercumbu dengan para teknokrat dan pemodal.
Banyak ungkapan yang menggambarkan sikap Presiden ini. Beberapa intelektual menamai kondisi ini sebagai ‘negara autopilot’, yakni negara yang seolah berjalan sendiri tanpa kontribusi sang pilot. Sang pilot, yakni Presiden, tidak menjalankan tugas sebagaimana mestinya.
Kami kurang setuju dengan istilah ‘auto pilot’. Negara kita tidaklah berjalan dengan sendirinya (auto). Ada pihak yang menggerakkan negara ini: segelintir teknokrat dan pemilik modal. Sementara berbagai kekuatan politik, yang bermain atas nama kepentingan masing-masing, sibuk cakar-cakaran dan berebut remah-remah.
Kita bisa melihat bentuk konkretnya: presiden seolah tidak berfungsi, tetapi kebijakan ekonomi-politik mengalir deras. Sebagian besar kebijakan itu berbau neoliberal atau menguntungkan pemilik modal asing.
Lihat saja, misalnya, rencana pemerintah untuk membatasi subsidi BBM dan menaikkan harga tariff dasar listrik (TDL) secara bersamaan. Hal itu menggambarkan: agenda liberalisasi di sektor migas dan kelistrikan berjalan terus.
Neoliberal memang tidak menghilangkan peran negara. Yang terjadi, seperti dijelaskan Alvaro Garcia Linera, Wakil Presiden Bolivia yang beraliran kiri, negara mengalami proses deformasi. Di sini, yang dipangkas adalah fungsi negara yang bersifat progressif: alat menciptan kesejahteraan umum. Sedangkan peran negara yang represif, sekalipun bertentangan dengan demokrasi, terus dipertahankan.
Begitu pula dengan sang Presiden. Di sini, presiden, juga parlemen dan lembaga negara lainnya, tidak lebih sebagai alat ‘legalitas’. Sebab, sebuah kebijakan yang hendak mengikat warga negara, mestilah punya legalitas. Dengan demikian, kehadiran Presiden tak lebih sebagai ‘tukang stempel’.
Sementara rakyat, sebagai entitas penting pembentuk negara, hanya akan diperlakukan sebagai ‘subjek politik’ kalau ada pemilu. Selebihnya, dalam proses normal sehari-hari, rakyat diperlakukan sebagai konsumen. Praktek liberalisasi makin mengakselerasi proses tersebut.
Yang memerintah negara kita secara real bukanlah Presiden. Akan tetapi, ada kekuatan di belakang layar yang bertindak—meminjam istilah Noam Chomsky—sebagai “senat virtual” yang memutuskan segala kebijakan. Senat virtual itu, kata Chomsky, kebanyakan terdiri dari investor, pemberi pinjaman, dan teknokrat.
Menurut Chomsky, senat virtual itu seolah punya hak veto untuk menentang kebijakan yang dianggapnya irasional. Di sini, kebijakan irasional berarti kebijakan yang memihak rakyat, bukan kepada laba. Kebijakan sosial pemerintah yang tidak menciptakan laba bagi si kapitalis, seperti program sosial, kredit mikro bagi petani, perlindungan usaha kecil, dan lain-lain, dianggap irasional.
Dengan kekuatan yang luar biasa, senat virtual ini bisa menekan pemerintahan nasional di berbagai negara dunia ketiga. Dengan dukungan jaringan dan lobby, mereka bisa membuat pemerintah nasional bertekuk lutut. Juga, kalau pemerintah nasional tidak mau takluk, mereka bisa mengancam melarikan seluruh modal dalam sekejap.
Ironisnya, pada aspek lain, Presiden sengaja hanya ‘menyibukkan diri’ dengan urusan-urusan ‘keistanaan’: acara kenegaraan, acara resmi, pertemuan resmi, kunjungan (state visit, official visit dan kunjungan kerja), audiensi dan penerimaan tamu, pidato kenegaraan dan acara perjamuan.
Dengan demikian, negara kita bukanlah ‘negara autopilot’, melainkan negara yang kebijakan ekonomi-politiknya didikte dari luar. Istilah yang sangat populer di masa lalu, seperti semi-jajahan atau mungkin neo-kolonialisme, lebih cocok untuk menggambarkan keadaan tersebut.
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid