Politik Pemerintah Dan Distribusi BBM

Pada tahun 1958, di bawah pemerintahan Soekarno, produksi minyak memang masih dikuasai asing: Stanvac (22%), Shell (23%), dan Caltex (44%). Sedangkan dua perusahaan dalam negeri, yakni Permindo dan Permina, cuma memproduksi 11%.

Dengan keadaan itu, perusahaan asing tetap memegang monopoli terhadap produksi minyak mentah nasional. Jika dibebaskan, maka perusahaan asing itu akan lebih tergiur menjual minyak mentah ke luar negeri. Sebab, harga eceran di dalam negeri saat itu sudah diatur oleh pemerintah.

Masalahnya: kalau hal itu dibiarkan bebas, maka persediaan minyak di dalam negeri akan berkurang. Minyak sangat vital dalam kehidupan masyarakat dan menopang kegiatan perekonomian. Dengan sedikit gangguan pasokan saja, maka kekacauan ekonomi sudah bisa dipastikan terjadi.

Karena itu, pada saat itu, pemerintah memutuskan bahwa penjualan dan distribusi tidak bisa diserahkan kepada kebijakan perusahaan minyak asing itu. Proses distribusi harus dikuasai oleh pemerintah. Pada saat itu pemerintah membentuk lembaga bernama Badan Pengawas dan Penyaluran Perusahaan-Perusahaan Minyak Bumi. Filosofi lembaga ini adalah: distribusi hasil-hasil minyak tidak semata-mata melayani tujuan-tujuan komersil, tetapi juga harus melayani fungsi sosial: kebutuhan rakyat.

Di atas, seperti kita lihat,  muncul “politik pemerintah” soal distribusi BBM. Meski pihak asing diberi kesempatan dalam produksi, tetapi ia tidak dibebaskan dalam proses penjualan dan distribusi. Kenapa? Sebab, soal distribusi menyangkut soal pilihan: komersil atau rakyat banyak.

Pihak swasta punya motif yang jelas: akumulasi profit. Keterlibatan mereka dalam produksi, dan mungkin juga distribusi, adalah untuk mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya. Sedangkan minyak, seperti juga kebutuhan pangan dan sandang, adalah kebutuhan rakyat yang pokok untuk menopang kelangsungan hidup. Karena itu, produksi minyak dan distribusinya tidak semata-mata tujuan komersil, tetapi juga ada fungsi sosial di dalamnya.

Di sinilah makna politik itu menjadi penting. Pemerintah harus menggunakan politiknya untuk mengamankan fungsi sosial BBM: memenuhi kebutuhan rakyat. Politik pemerintah diatur dengan tegas dalam pasal 33 UUD 1945: “…dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Pemerintah, dalam situasi apapun, harus bisa memastikan produksi dan distribusi BBM bisa menjangkau seluruh rakyat. Pemerintah harus punya persiapan menghadapi situasi eksternal (gejolak harga minyak dunia) dan situasi di dalam negeri (penimbunan, spekulasi, dan lain-lain). Itulah  mengapa kita membentuk negara dan perangkat-perangkatnya.

Ini yang sedang absen sekarang. Pemerintah kita, khususnya rejim SBY-Budiono, tidak punya politik dalam mengontrol harga dan distribusi BBM. Semuanya cenderung diserahkan pada mekanisme pasar.

Ada tiga masalah besar yang melilit: Pertama, produksi minyak Indonesia sebagian besar dikuasai oleh produksi asing. Data Kementerian ESDM tahun 2009 menyebutkan, pertamina hanya hanya memproduksi 13,8%. Sisanya dikuasai oleh swasta asing seperti Chevron (41%), Total E&P Indonesie (10%), Chonoco-Philips (3,6%) dan CNOOC (4,6%). Data ini tidak berbeda jauh dengan temuan Indonesian Re­sour­ce Studies (IRESS), bahwa Pertamina memproduksi 15 persen dan 85 persen diproduksi oleh asing.

Kedua, produksi minyak mentah siap jual (lifting) nasional terus menurun. Sebelum SBY berkuasa pada tahun 2004, lifting minyak masih berkisar 1,4 juta barel perhari. Namun, pada akhir 2011 lalu, produksi minyak Indonesia hanya 905.000 barel perhari. Bahkan, pada tahun 2012 ini, produksi minyak cuma berkisar 890.000 barel perhari. Sedangkan konsumsi BBM di dalam negeri terus meningkat.

Pemerintah sangat pelit untuk berinvestasi di sektor eksplorasi minyak. Anjloknya investasi eksplorasi (pengeboran eksplorasi di blok baru) menyebabkan langkanya penemuan cadangan minyak baru. Akibatnya, produksi minyak Indonesia hanya mengandalkan sumur-sumur tua. Selain itu, kondisi investasi di sektor hulu migas Indonesia termasuk terburuk di dunia, bahkan di kawasan Oceania (versi Fraser Institut).

Ketiga, Ada kecenderungan pemerintah untuk mengikuti keinginan negeri-negeri imperialis, yang di belakanya berdiri kepentingan korporasi minyak dunia, untuk meliberalkan sektor migas Indonesia. Jika sebelumnya, dari 2001 hingga sekarang, liberalisasi sudah terjadi di sektor hulu migas. Akibatnya, hampir semua ladang migas dikuasai asing. Maka, ke depan ini, liberalisasi sudah diarahkan pada sektor hilir yang mencakup distribusi dan penjualan BBM.

Masalah-masalah di atas muncul karena mind-set pemerintah sudah bergeser: orientasi pemerintah adalah keuntungan (profit), bukan lagi soal pemenuhan kebutuhan rakyat. Selain itu, pemerintah tidak punya keberpihakan. Jadi, di mata pemerintah, tidak ada bedanya antara korporasi asing dan rakyat. Di mata pemerintah, rakyat sudah perlakukan layaknya “konsumen”. Itulah semangat UU nomor 22 tahun 2001 tentang Migas. UU ini sangat bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945!

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid