Pesan Kesetaraan Gender dalam Film “Kim Ji-Young, Born 1982”

Sebuah perenungan untuk kaum perempuan: mari ingat, ketika masih kanak-kanak hingga beranjak remaja, kalian bermimpi hendak menjadi apa? Sekarang, setelah dewasa dan berumah-tangga, tercapaikah cita-cita tersebut?

Ada sebagian kecil yang berhasil mewujudkan mimpinya, tetapi sebagian besar jelas gagal. Sebagian besar dari remaja perempuan yang bermimpi tinggi itu berakhir dalam perangkap domestikasi.

Mungkin, bagi sebagian kita, hal itu berlangsung secara alami. Semacam takdir yang tak tertolak. Namun, sebetulnya itu terjadi karena adanya tangan tak terlihat yang bernama: patriarki.

Bagaimana patriarki bisa menggagalkan cita-cita kita, lalu mengubah kita menjadi budak rumah tangga?

Film “Kim Ji-Young, Born 1982”, karya sutradara Kim Do-Young, menggambarkan secara terang-benderang bagaimana patriarki meringkus cita-cita dan kemerdekaan perempuan.

Kim Ji-young (Jung Yu-mi), seorang perempuan muda yang baru menikah dan beranak satu, menjadi tokoh utama dari perjalanan cerita film berdurasi 118 menit ini.

Alur ceritanya mengalir pelan. Namun, meski pelan, jangan coba mengalihkan perhatian semenit pun. Sebab, setiap kejadian dan dialog sangat penting untuk memahami secara utuh pesan-pesan dari film ini.

Perangkap Domestikasi

Seperti umumnya perempuan Korea yang lahir di tahun 1980-an dan menjadi ibu rumah tangga di tahun 2000-an: bersekolah, bekerja, lalu menikah.

Nasib Kim juga sama. Ia bahkan berhasil menimbah ilmu di perguruan tinggi. Namun, meski tamat Universitas dan sempat bekerja, jalan hidupnya tetap berakhir sebagai ibu rumah tangga alias domestikasi.

Tetapi nasib Kim lebih menyedihkan. Usai melahirkan, dia menderita “depresi postpartum”. Ini adalah masalah kesehatan yang kerap mendera perempuan usai melahirkan. Ditandai dengan rasa cemas, tak bersemangat, malas makan, susah tidur, mood swing, dan lain-lain.

Di masa mudanya, Kim bekerja dan punya keinginan kuat sebagai penulis yang baik. Dalam keyakinannya, menikah tak akan menghalanginya terus bekerja. Karena itu, meski sudah menikah, ia tak berkeingan segera punya anak.

Namun, apa daya, konstruksi masyarakat patriarkal seakan sudah menggariskan jalan hidup perempuan: menjadi dewasa, menikah, lalu punya anak.

Ketika masih lajang, kau akan ditanya kapan menikah. Setelah menikah, kau ditanya kapan punya anak. Kalau anakmu perempuan, kau ditanya kapan punya anak laki-laki. Kalau anakmu baru satu, kau ditanya kapan punya anak kedua dan seterusnya. Begitulah hukum besi masyarakat patriarkal.

Itu juga yang terjadi pada Kim. Setelah menikah, ia didesak harus punya anak. Dan setelah punya anak, kehidupannya berubah drastis. Tanggung-jawabnya segera berlipat-ganda.

Cita-citanya untuk menjadi penulis seakan kandas. Hari-harinya berubah menjadi pergumulan dengan urusan dapur, mengurus suami, hingga mengasuh anak.

Yang menarik, di film ini ditunjukkan bagaimana domestikasi itu terkonstruksi secara sosial, misalnya lewat cara pandang tentang tugas dan kewajiban seorang istri.

Ironisnya, cara pandang itu tak melulu melekat pada laki-laki, ayah atau kakak laki-laki kita. Kadang juga dipegang erat oleh Ibu kita sendiri. Seperti ditunjukkan oleh Ibunya Dae-Hyung (Gong-Yoo), suaminya Kim Ji-Young.

Di rumah mertua, menantu perempuan tak ubahnya asisten rumah tangga. Di mata mertua perempuan, menantu perempuan haruslah cakap dalam urusan dapur. Dan haram hukumnya, suami ikut campur dalam urusan dapur. Kalau itu terjadi, maka ada olok-olokan: suami modern.

Suami Kim, Dae –Hyung sebetulnya laki-laki yang baik. Ia tak segan membantu istrinya di dapur hingga mengasuh anak. Di sepanjang film ini, ia bukan pria yang kasar dan pemarah. Juga tak suka dilayani bak Raja di rumah tangga.

Namun, sebaik-baiknya suami macam Dae-Hyung, ia hanya butiran debu di hadapan patriarki. Ia tak sanggup membela istrinya di hadapan anggapan patriarkal ibunya.

Jadi, pesan film ini jelas: menjadi suami yang baik saja tak cukup, tapi harus berani mendobrak semua anggapan kuno yang patriarkis.

Baca juga: Kesetaraan Gender Butuh Dua Abad Lagi, Apa Yang Harus Dilakukan Negara?

Diskriminasi sejak lahir

Film ini juga menceritakan tentang bagaimana perempuan mengalami diskriminasi sejak dari lahirnya.

Dalam konteks Korea, ada anggapan kuat bahwa memiliki anak laki-laki itu keharusan. Rumah tangga tak akan sempurna tanpa kehadiran anak laki-laki.

Juga anggapan, melahirkan sebanyak-banyaknya anak perempuan itu kurang baik untuk masa depan. Sebab, setelah menikah, mereka akan meninggalkan orang tuanya untuk mengurus suaminya.

Diceritakan tentang bagaimana ayahnya Kim Ji-Young, yang lebih menyayangi anak laki-lakinya ketimbang dua anak perempuannya. Dan ia hanya tahu makanan kesukaan anak laki-lakinya. Sebaliknya, ia tak tahu selera makanan anak-anak perempuannya.

Beranjak remaja, ketika sekolah, Kim tak luput dari tindakan pelecehan. Termasuk pelecehan seksual yang dialaminya di atas angkutan umum.

Tragisnya, bapaknya—yang mewakili cara pandang umum masyarakat patriarkal—justru menyalahkan Kim karena mengambil tempat les yang jauh, mengenakan rok pendek, dan tersenyum pada orang tak dikenal.

Analoginya sangat menyedihkan: jika sebuah batu menggelinding ke arahmu, jika kau tak berusaha menghindar, maka itu salahmu. Itu sama saja dengan bilang: jika perempuan tak bisa menjaga diri, maka menjadi kesalahannya sendiri jika mengalami pelecehan atau kekerasan.

Kesetaraan Gender di Tempat Kerja

Tapi, pesan utama yang sebetulnya mau diangkat film ini adalah soal kesetaraan gender di tempat kerja.

Isu kesetaraan gender di tempat kerja memang isu sangat penting bagi perempuan. Berdasarkan hitungan World Economic Forum  (Gender Gap Report 2020), bila kesetaraan pendidikan bisa tertutupi 12 tahun lagi, sementara kesetaraan politik butuh 94,5 tahun lagi, maka kesetaraan di tempat kerja butuh 257 tahun lagi.

Di Korsel, berdasarkan data Statista tahun 2018, angka partisipasi perempuan di dunia kerja masih di angka 50,9 persen. Bandingkan dengan laki-laki yang mencapai 70,8 persen.

Bagaimana itu terjadi? Film ini memberi jawabannya.

Pertama, banyak perempuan yang kandas cita-citanya, atau berakhir karirnya, karena menikah. Sebab, setelah menikah, mereka diperhadapkan pada pilihan: mengurus rumah tangga dan mengasuh anak atau tetap bekerja. Seakan tak ada jalan tengah.

Akhirnya, banyak perempuan yang memilih mengurus rumah tangga dan mengasuh anak. Di film ini ditunjukkan, banyak ibu rumah tangga teman Kim Ji-Young adalah lulusan Universitas, bahkan ada yang lulusan teknik, tetapi berakhir sebagai ibu rumah tangga.

Kedua, dunia kerja masih dihinggapi anggapan bahwa kodrat perempuan, seperti haid, melahirkan, dan mengasuh anak, sebagai gangguan terhadap aktivitas produksi dan keberlanjutan usaha.

Karena itu, bagi mereka, lebih baik mengutamakan pekerja berkelamin laki-laki. Sebab, kehadiran mereka di tempat kerja tidak akan terganggu oleh haid, melahirkan dan tanggung jawab pengasuhan anak.

Karena itu juga, sangat jarang peluang atau lowongan kerja bagi perempuan yang sudah berumah tangga. Kalau pun ada, hanya pekerjaan paruh-waktu.

Kalau pun ada, ia digaji tidak penuh.  Dalam kasus Kim di film ini, ia hanya digaji 80 persen. Dan itu tak cukup untuk membiayai penitipan anaknya.

Ketiga, diskriminasi dan pelecehan di tempat kerja. Di film ini diperlihatkan, Kim tak dilibatkan di sebuah proyek penting, yang masa kerjanya 5 tahun, karena dia perempuan.

Bagaimana pekerja laki-laki menganggap pelecehan seksual itu sebagai hal yang normal. Bahkan, pemasangan kamera pengintai di WC perempuan hanya menjadi diskusi diam-diam di kalangan pekerja perempuan.

Sebetulnya, film ini menunjukkan sejumlah langkah yang mestinya diambil Negara untuk mendorong kesetaraan gender di tempat kerja.

Yang pertama, negara harusnya bisa mewajibkan setiap perusahaan menyediakan ruang laktasi dan childcare di tempat kerjanya. Sehingga pekerja perempuan bisa membawa balitanya ke tempat kerja.

Dunia kerja juga harus mengubah cara pandangnya terhadap perempuan hamil dan baru melahirkan (menyusui dan mengasuh balita). Anggaplah itu sebagai kerja mulia perempuan bagi keberlangsungan kehidupan.

Yang kedua, selain pemberian cuti hamil dan melahirkan (maternity leave), negara seharusnya juga mengadopsi hak cuti bagi suami ketika istrinya melahirkan (paternity leave).

Dengan adanya paternity leave, si suami akan terlibat mengurus balitanya. Dengan begitu, ada pembagian tanggung jawab antara suami dan istri dalam merawat dan mengasuh anak balitanya.

Sayangnya, Indonesia baru mengadopsi maternity leave, yakni 3 bulan. Padahal, standar terendah ILO adalah 3,5 bulan atau 14 minggu. Sementara hak cuti ayah di Indonesia hanya 2 hari.

Bandingkan dengan Korsel. maternity leave-nya juga 90 hari atau tiga bulan. Pada 60 hari pertama, gaji tetap dibayar penuh oleh perusahaan. Sedangkan 30 hari sesudahnya akan disubsidi oleh negara.

Sedangkan paternity leave di Korsel sekarang menjadi 90 hari. Dengan perincian, pada 10 hari pertama, si pekerja laki-laki tetap mendapat gaji penuh.

Sayang sekali, seperti ditunjukkan film, sangat sedikit pekerja pria di Korsel juga yang mau menggunakan paternity leave-nya. Sekalipun itu dijamin oleh UU ketenagakerjaan. Penyebabnya, banyak pekerjaan yang mengambil paternity leave dipersulit untuk bekerja kembali. Kalau bisa bekerja lagi, peluang karirnya sudah tenggelam.

Film ini diangkat dari novel dengan judul yang sama,  82nyeonsaeng Kimjiyoung atau Kim Ji-Young, Born 1982, karya Cho Nam-ju (terbit Oktober 2016).

Memang, sejak berbentuk novel saja sudah mengguncang tatanan patriarki di Korsel. Banyak pembaca pria yang tersinggung mental patriarkalnya oleh novel ini.

Sampai-sampai, ketika Irene, salah seorang personil grup band perempuan Red Velvet, ketahuan membaca novel ini, dia dirundung oleh netizen laki-laki.

Bagi kita, di Indonesia, nasib perempuan tak lebih baik dari yang dialami Kim. Setiap tahun, angka kekerasan terhadap perempuan masih meninggi. Pada 2019, masih ada 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan.

Ketidakadilan masih melebar pada ruang ekonomi dan politik. Tingkat partisipasi perempuan di dunia kerja masih jauh di bawah laki-laki: 55,5 persen berbanding 83,13 persen. Itu pun, sebagian besar angkatan kerja perempuan terserap di sektor informal.

Kesenjangan upah juga masih ada. Diskriminasi dan pelecehan di tempat kerja juga masih banyak.Sebuah survei yang dilakukan oleh Never Okey menunjukkan, 94 persen pekerja perempuan pernah mengalami pelecehan seksual di tempat kerjanya, baik verbal, tertulis/gambar, maupun fisik. Ngeri, kan?

Untuk kamu, ibu-ibu muda yang baru membentuk rumah tangga, ajak suamimu untuk menonton film ini. Ajaklah berdiskusi.

RINI MARDIKA, Sekretaris Jenderal Aksi Perempuan Indonesia (API) Kartini

KIM JI-YOUNG: BORN 1982 | Durasi: 118 MENIT | Negara: KOREA SELATAN | Sutradara: KIM DO-YOUNG | Pemeran: JUNG YU-MI, GONG YOO, KIM MI-KYUNG, GONG MIN-JUNG, PARK SUNG-YEONG, LEE BONG-RYUN, KIM SUNG-CHEOL, LEE EOL, dll.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid