Pertumbuhan Industri Melambat, Ini Dampaknya

Ekonom Faisal Basri menyebut Indonesia mengalami problem perlambatan industrialisasi. Sektor industri tumbuh, tetapi terus melambat.

“Pertumbuhan industri lebih lambat dibanding pertumbuhan PDB,” ujarnya dalam diskusi bertajuk “Ekonomi dan Industrialisasi Nasional” yang diselenggarakan oleh Dewan Pimpinan Pusat Partai Rakyat Adil Makmur (DPP PRIMA), Kamis (20/5/2021).

Akibatnya, pangsa sektor industri terus menurun sebelum mencapai puncaknya. Sebagai contoh, kontribusi sektor industri Tiongkok pada PDB-nya sempat menyentuh 40 persen. 

“Rata-rata negara lain di atas 30 persen. Kita baru 27 persen, tetapi sudah turun. Orang menyebut ini gejala dini deindustrialisasi,” jelasnya.

Selain itu, lanjut Faisal, proses industrialisasi Indonesia mengalami anomali. Seharusnya, setelah sektor pertanian dan ekstraktif (primer) menurun, maka sektor manufaktur (sekunder) harusnya naik.

“Di Indonesia, primernya turun, langsung loncat ke sektor jasa atau tersier,” jelasnya.

Akibatnya, sektor jasa yang berkembang tidak modern, melainkan lebih menyerupai sektor informal.

Dampak Perlambatan 

Faisal membeberkan berbagai dampak ekonomi dan politik akibat perkembangan industrialisasi yang tidak berjalan dengan optimal.

Dampak pertama, kata dia, kelas menengah di Indonesia tumbuh sangat lambat. 

“Kelas menengah yang tumbuh lambat itu susah diajak berpolitik. Sebab, urusan perutnya belum selesai,” ujarnya.

Dia mengungkapkan, lebih dari 52 persen penduduk Indonesia punya pengeluaran per hari di bawah Rp 25 ribu.

“Akibatnya, kelas menengah kita insecure, sehingga rentan terhadap politik uang,” tambahnya.

Yang kedua, lanjut dia, lemahnya kelas menengah menyebabkan demokrasi kita menjadi rapuh. Sebab, massa pemilih sangat gampang termobilisasi oleh uang, bukan oleh ideologi atau tujuan politik.

Yang ketiga, industrialisasi harusnya menampung tenaga kerja dari sektor pertanian yang mengalami penurunan.

“Harusnya anak-anak petani itu, yang sudah sekolah tinggi-tinggi, masuk ke sektor industri. Tetapi ini tidak terjadi,” paparnya.

Yang keempat, melambatnya industri membuat total factor productivity (faktor-faktor yang mempengaruhi output atau produktivitas, terutama teknologi dan efesiensi) juga ikut melambat.

“Jadi, ekonomi kita tumbuh bukan karena otak dan inovasi, tetapi karena otot dan keringat. Jadinya produktivitas kita rendah,” jelasnya.

Yang terakhir, melambatnya industrialisasi menyebabkan sebagian besar (50 persen) ekspor Indonesia masih berbentuk komoditas.

“Harusnya, kalau ada industrialisasi, ekspor kita jadi beragam. Tidak hanya sawit, kopi, teh, dan lain-lain,” tegasnya. 

Di perparah lagi, dalam 20 tahun terakhir, ekspor produk berteknologi menengah dan tinggi justru menurun. 

“Ekonomi kita masih keruk, jual. Tebang, jual. Petik, jual. Ini model yang tidak berkelanjutan, sebab sumber daya itu terus menipis,” tegasnya.

Persoalan lain yang disoroti oleh Faisal adalah praktik kapitalisme kroni dan oligarki, yang cenderung menggunakan relasi dengan kekuasaan untuk mengembangkan bisnisnya.

Merujuk riset The Economist pada 2016, indeks kapitalisme kroni Indonesia berada di peringkat ke-7 dunia (masuk 10 besar dunia).

MAHESA DANU

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid