Persatuan Nasional: Berkaca Pada Kasus Pram – Mr. Dur

Mengisahkan kaum komunis di pedesaan Jawa masa silam sebenarnya sama lucunya dengan mengisahkan para kyai atau santri jadug, atau secara umum kalangan nahdliyin, yang pernah berselisih dan bahkan sampai terlibat pada upaya-upaya penghilangan nyawa.

Pada waktu itu kaum komunis sendiri di pedesaan Jawa bukanlah para marxian tulen yang beriman bulat-bulat pada materialisme. Konon banyak di antaranya juga kebal dari bacokan, menghilangkan diri, mengubah bentuk. Sementara, kalangan nahdliyin waktu itu, yang dipelopori oleh apa yang dikenal sebagai “santri jadug,” selain tercatat ikut pula dalam pembantaian kaum komunis ’65, adalah juga sekeping kelas yang jelas-jelas bukanlah kelas pemodal ataupun tuan tanah.

Sebagaimana rekaman antropologis Geerzt, kalangan nahdliyin waktu itu pada dasarnya tak dapat dikategorikan pada salah satu tripartismenya: kalangan santri. Di samping memang cara hidup mereka yang cukup berbeda dengan santri-santri modern, yang kini mewujud pada kalangan muhammadiyah dan sebangsanya, secara ekonomis mereka lebih dekat pada kalangan abangan. Dan meskipun secara ideologis berbeda dengan kalangan abangan, kalangan nahdliyin tak pula seperti halnya kaum priyayi, yang dalam kamus kaum komunis disebut sebagai para tuan tanah. Sebab, sekali pun mereka memiliki tanah yang luas, namun tanah itu adalah hasil wakaf yang lazimnya digunakan untuk kepentingan umum.

Maka, ketika sejarah itu ditautkan pada gagasan besar yang kini tengah viral, “persatuan nasional,” kecil hati atau “dendam yang tak terhapuskan” adalah jelas-jelas pada kaum komunis. Kecil hati itu tampak nyata pada kasus seorang pujangga besar Indonesia, Pramoedya Ananta-Toer, yang bagi saya mampu melahirkan konsep keadilan yang cukup unik.

Saat seorang Abdurrahman Wahid atau Mr. Dur berupaya mengadakan islah sejarah dengan sejujurnya meminta maaf pada Pram atas keterlibatan kalangan nahdliyin pada pembantaian ’65, karib seorang dalang Lekra itu, Ki Tristuti Suryaseputra, menolaknya. Dengan kata lain, Pram tak pernah bisa menerima apa yang telah menimpa diri dan para kameradnya.

Pada titik ini, siapa pun pasti paham akan kepedihan seorang Pram yang jelas-jelas tak mungkin terbayarkan. Dan saya kira tak ada satu pun orang yang dapat menyalahkan sikap Pram itu. Tapi meskipun menolak, ternyata Pram tetap menerima Mr. Dur dengan perspektif keadilan yang lain.

Konsep keadilan dari seorang Pram itu, bagi saya, terbangun atas sikapnya pada Mr, Dur yang mewakili kalangan nahdliyin. Dengan meminjam pandangan Derrida atas konsep pemaafan, memang sikap Pram itu dapat dibenarkan secara dekonstruktif.

Pada kasus pemaafan, pada dasarnya permohonan sekaligus pemberian maaf adalah suatu hal yang mustahil. Namun karena karena kebasabasian budaya, laku pemaafan itu tetap saja berupaya dilakukan. Dalam tilikan Derrida, secara otomatis pemaafan itu tak pernah berlangsung tanpa syarat. Namun dalam kenyataannya tetap saja pada proses itu terdapat tuntutan akan kesanggupan untuk tak mengulangi kesalahan.

Dengan demikian, keikhlasan dalam memberi maaf pada hakikatnya hanya ada di benak anak-anak kecil. Jika pun pemaafan sebagaimana yang dibayangkan itu ada, mestilah tanpa syarat, maka pemaafan itu—untuk meminjam ungkapan Derrida—“outside of the text.” Dan celakanya, bagi Derrida, segala sesuatu yang di seberang teks akan bernilai sebagai “nothing” yang sekedar dapat disikapi dengan posisi différance: membeda, memilah, dan menunda.

Dengan demikian, berkaca pada kasus Pram dan Mr. Dur, pemaafan sebagai ide dasar yang melatari gagasan besar semacam “persatuan nasional,” pada dasarnya dapat dilakukan sebagaimana Pram yang berkenan menerima Mr. Dur dengan peran yang lain, bukan sebagai pemohon pemaafan, apalagi sekedar perwakilan sebentuk aksi yang musykil itu.

(Heru Harjo Hutomo)

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid