Hilangnya Politik Perekonomian Kita

Bung Hatta berkali-kali menegaskan pentingnya politik perekonomian negara. Sebab, seperti dikatakan Bung Hatta, masalah ekonomi tidak semata-mata terletak di dalam bidang ekonomi teoritika, melainkan juga di bidang politik perekonomian. Coraknya ditentukan oleh ideologi, politik negara, dan faham kemasyarakatan.

Dalam perekonomian swasta prinsipnya: mencapai hasil sebesar-besarnya dengan biaya sekecil-kecilnya. Prinsip ini tidak ada urusan dengan tuntutan sosial dan soal perikemanusiaan. Logika kapital adalah mencari keuntungan (profit) sebesar-besarnya. Segala sesuatu yang punya nilai-guna, sekalipun itu menyangkut hajat hidup orang banyak, akan diubah menjadi komoditi untuk dijual di pasar.

Prinsip ekonomi semacam itu tentu sulit mendatangkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi semua orang. Sedangkan kita berbangsa dan bernegara karena sebuah tujuan bersama: masyarakat adil dan makmur. Tujuan ini adalah tujuan nasional yang digariskan dalam Pancasila dan UUD 1945.

Dengan demikian, politik perekonomian negara Indonesia mestinya: perekonomian yang mendatangkan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Ini berhubungan dengan tindakan apa yang harus dijalankan dalam jangka pendek dan jangka panjang untuk memperbesar kemakmuran rakyat? Atau, pendek kata, rumusan sederhananya begini: bagaimana mengerahkan alat-alat dan potensi-potensi ekonomi untuk mendatangkan kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi rakyat?

Politik, yang didasarkan pada sebuah pandangan hidup atau ideologi, harus berada di depan dan memandu keputusan-keputusan ekonomi. Seorang ahli ekonomi, secerdas apapun dia, jikalau tidak punya ideologi atau keberpihakan, maka kecerdasannya tidak akan berguna bagi kepentingan rakyat. Pendek kata, sebuah kebijakan ekonomi mutlak dipandu oleh sebuah politik keberpihakan kepada rakyat.

Sebetulnya, sejak tahun 1945 ketika negara ini berdiri, politiknya sudah sangat jelas. Pertama, ada prinsip-prinsip penyelenggaraan negara yang sudah diatur dengan jelas dalam Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan, Kebangsaan, Demokrasi-mufakat, dan Keadilan Sosial. Sayangnya, lima prinsip ini kebanyakan menjadi lip-service penguasa saja. Tidak ada pejabat negara Indonesia, dari sejak orde baru hingga sekarang, yang menanamkan Pancasila dalam jiwanya.

Kedua, kita sudah punya konstitusi yang jelas: UUD 1945. Dalam pasal 33 UUD 1945 ditegaskan prinsip-prinsip perekonomian nasional, yakni prinsip ekonomi kekeluargaan (usaha bersama) dan demokrasi ekonomi. Akan tetapi, pasal 33 UUD 1945 juga tidak pernah dijalankan dengan baik. Bahkan, sejak tahun 2002 hingga sekarang, isi pasal 33 UUD 1945 sudah berkali-kali diutak-atik dan dilucuti. Anehnya lagi, pasal ini sering dijadikan acuan konsideran begitu banyak produk Undang-Undang yang justru berlawanan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Ukuran berhasilnya politik perekonomian adalah apabila tingkat penghidupan rakyat naik selangkah demi selangkah, cepat atau perlahan-lahan, dan kelihatan jalannya makin mendekat pada tujuan: masyarakat adil dan makmur.

Kita lihat keadaan ekonomi nasional kita sekarang. Pemerintah kita menjalankan perekonomian tanpa mengacu pada “politik perekonomian”, melainkan patuh pada instruksi dan dikte dari luar: negeri-negeri imperialis dan lembaga keuangan internasional. Banyak kebijakan ekonomi nasional menabrak Pancasila dan UUD 1945!

Dalam politik energi, misalnya, pemerintah lebih menomor-satukan kepentingan perusahaan asing yang sekedar cari keuntungan dibanding kepentingan mayoritas rakyat Indonesia. Hampir sebagian besar sumber-sumber energi kita diserahkan kepada perusahaan-perusahaan asing. Akibatnya, politik energi kita tidak mengabdi atau diselenggarakan untuk tujuan kemakmuran rakyat. Ini makin diperparah dengan rencana pemerintah menaikkan harga BBM dan TDL pada April 2012 mendatang.

Kebijakan ekonomi SBY-Budiono tidak dipandu oleh “politik perekonomian”. Banyak sekali kebijakan ekonomi, termasuk liberalisasi perdagangan, privatisasi asset-asset negara dan layanan publik, dan liberalisasi keuangan, adalah sepenuhnya proposal negeri-negeri imperialis dan lembaga keuangan kaki-tangannya.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid