Pentingnya Hukum Yang Punya Perspektif Feminis

Saya masih ingat, ketika di Fakultas Hukum, azas ini sering diulang-ulang: semua orang sama di hadapan hukum. Termasuk dalam aspek kesetaraan gender.

Pada kenyataannya, hingga tahun 2013, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat bahwa ada 342 peraturan daerah yang bersifat diskriminatif terhadap kaum perempuan.

Itu hanya sebagian contoh. Masih banyak produk hukum lain, termasuk UU perkawinan, yang cenderung diskriminatif dan melecehkan hak azasi perempuan sebagai manusia.

Dalam konteks itulah, menurut Prof. Dr. Sulistyowati Irianto, teori hukum feminis perlu dikembangkan: pertama, untuk menganalis produk hukum yang bias gender [dan juga bias klas], baik perundang-undangan maupun putusan hakim; kedua, menganalisis praktik penerapan hukum; ketiga, memberikan rekomendasi atau advokasi untuk tujuan reformasi hukum.

“Perempuan menyadari betapa hukum telah menempatkan perempuan secara tidak adil; hukum telah menetapkan standar ganda kepada perempuan dan laki-laki serta memaksakan nilai dan norma laki-laki untuk dipatuhi perempuan,” kata Prof Sulistyowati dalam seminar Hasil Eksaminasi Publik Putusan MA di hotel Grand Cempaka, Jakarta, Selasa (25/2/2013).

Menurut Prof Sulistyowati, selama ini ada empat pertanyaan teori hukum feminis terkait relasi perempuan dan hukum: pertama, bagaimana hukum menstrukturkan atau memposisikan perempuan?; Kedua, bagaimana identitas dan seksualitas perempuan didefenisikan oleh hukum?; ketiga, apakah pengalaman dan realitas perempuan diperhitungkan atau diabaikan oleh hukum?; dan keempat, apakah hukum menguntungkan atau merugikan perempuan, dan dengan cara bagaimana?

Lebih lanjut, menurut Guru Besar Fakultas Hukum UI ini, keempat pertanyaan itu menggugat ciri hukum yang netral dan objektif. Sebab, bagi dia, ketika ada relasi kuasa yang timpang, maka netralitas dan objektivitas itu justru akan mengorbankan mereka yang tidak memiliki kuasa.

“Pertanyaan-pertanyaan teori feminis itu akan menghasilkan rekomendasi tentang bagaimana hukum akan dikoreksi,” tuturnya.

Selain itu, kata dia, ketika berbicara tentang hukum yang merugikan perempuan, ada pertanyaan mendasar yang muncul: perempuan yang mana?

Bagi Prof Sulistyowati, identitas perempuan itu tidak tunggal dan seragam. Di sini, identitas bermakna soal bagaimana seseorang distrukturkan, baik oleh dirinya maupun oleh orang lain.

Dia mengungkapkan, dalam kasus Perda diskriminatif, identitas kelas menjadi penting dan signifikan. Menurutnya, mereka yang ditangkap oleh petugas razia adalah perempuan miskin yang berada di tempat-tempat umum untuk mencari nafkah atau beraktivitas.

“Perempuan klas menengah dan atas tidak ditangkap karena berada di dalam kendaraan pribadi,” katanya.

Prof Sulistyowati juga memperlihatkan bagaimana Perda diskriminatif, semisal Perda anti Pelacuran di Tangerang, cenderung mengorbankan perempuan miskin.

Menurutnya, kendati pasal Perda itu memakai bahasa netral, seperti “Siapapun”, tetapi karena faktor budaya [yakni soal cara berfikir dan mengkonstruksi perempuan dan seksualitasnya], kebanyakan yang ditangkap akibat Perda itu adalah perempuan.

“Mereka yang keluar malam pasti dicuragai bukan perempuan baik-baik. Dan karena itu ‘dicurigai’ atau ‘dianggap’ pelacur. Padahal, mereka yang keluar malam kebanyakan perempuan menengah ke bawah. Sebab, semakin miskin masyarakat, semakin berat beban perempuan untuk mencari nafkah,” jelasnya.

Ia juga mengeritik berbagai Perda anti-pelacuran itu karena mendefenisikan pelacuran secara serampangan. Di Perda Anti-Pelacuran kota Tangerang, misalnya, dinyatakan pelacuran sebagai hubungan seksual di luar nikah dengan tujuan mendapat imbalan jasa.

Bagi Prof Sulistyowati, defenisi tersebut mengabaikan fakta tentang bagaimana, dengan cara apa, dan kondisi apa yang membuat perempuan dibawa ke tempat pelacuran. Ia merujuk ke studi Louise Brown (2005) dan Matsui (1999), bahwa kasus pelacuran di Asia sangat terkait dengan kemiskinan dan perdagangan perempuan.

Terkait putusan MA yang menolak uji materi (Judicial Review) terhadap dua Perda yang dianggap diskriminatif, yakni Perda Kota Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran dan Perda Kabupaten Bantul No. 5 Tahun 2007 tentang Larangan Pelacuran, Prof Sulistyowati menilai keputusan hakim MA tersebut lebih mementingkan logika prosedural formal dan administratif ketimbang rasa keadilan dan keadaban publik, mengisolasi hukum dari masyarakat dan kenyataan sosial, dan mengabaikan substansi keadilan warga masyarakat.

Mahesa Danu

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid