Di tengah kehidupan ketika privilege sosial sudah jauh bergeser, “pendekar” rupanya masih menjadi obsesi orang hingga hari ini. Ketika di kehidupan masyarakat terdahulu masih menempatkan “kejadugan” sebagai nilai keluhuran seorang anak manusia, pendekar—atau orang yang dianggap memiliki potensi untuk ditonton keramaian, seperti kebal senjata tajam, jadi “macan” yang kelelahan atau betah untuk tak menyentuh perempuan yang dianggap berpotensi memudarkan kejadugan, misalnya—dapat menempati posisi khusus dalam sebuah komunitas.
Tengoklah Weber yang pernah menempatkan “karisma” sebagai kualitas yang mesti dimiliki oleh seorang pemimpin dalam masyarakat terdahulu. Kejadugan terang saja adalah salah satu karisma itu. Weber tentu saja berbicara tentang bentuk masyarakat pra modern yang belum rasional dan belum terbirokratisasikan.
Namun, terdapat satu pendekar yang dapat mengoyak konstruksi kependekaran lama: yang mampu ditokohkan—entah baik ataupun jahat—, pejuang, dan tentu saja yang seolah betah untuk tak bersentuhan dengan para perempuan. Pendekar itu adalah Pendekar Syair Berdarah.
Mungkin sang pengarang kisah Pendekar Syair Berdarah itu ingin meletakkan citra pendekar yang jauh dari kejadugan yang memang sama sekali tak menghendaki adanya ke-kenes-san. Meskipun dalam kisah sang pendekar juga memiliki kemampuan kanuragan, namun ia lebih memesona dengan sajak-sajaknya.
Pada masa silam, sang Pendekar Syair Berdarah, Arya Dwipangga, memang dikenal sebagai seorang yang menyukai sastra. Ia banyak mencatat sajak-sajaknya di daun-daun lontar. Dan, sebagaimana umumnya penyair, ia juga menggemari perempuan yang dalam konstruksi kejadugan berpotensi untuk memudarkan kekuatan. Bahkan konon, perempuan-perempuan adiknya pun, Arya Kamandanu, tak lupa pula untuk digagahi.
Citra kependekaran Arya Dwipangga dan Arya Kamandanu cukuplah bertolakbelakang. Meskipun sama-sama berayah Mpu Hanggareksa, namun sejak muda keduanya memang berselisih. Citra kependekaran Kamandanu adalah citra kependekaran sebagaimana yang kita warisi kini: baik, pembela orang-orang tetindas, setia pada negara dan nilai-nilai yang diperjuangkan, dan tentu saja tabah akan segala lara hati—meskipun kedua perempuan yang pernah ditaksirnya telah digagahi oleh pendekar yang bercitra baru.
Sementara, Arya Dwipangga, adalah seorang pendekar yang memiliki citra baru: jahat dan penyendiri, anti-kekuasaan, dan cukup lihai untuk menciptakan huru-hara. Ia tak suka pula akan ketelanjangan di depan publik. Hanya sajak-sajaknya semata yang seolah boleh untuk santapan publik.
Namun, pada sang Pendekar Syair Berdarah kita dapat mencuri “ilmu” tentang bagaimana jalannya kekuasaan dapat digoyahkan. Tak sebagai Foucault yang meletakkan kekuasaan layaknya udara yang dapat dijumpai di mana saja. Sang Pendekar Syair Berdarah cukup efektif untuk mempersonifikasikan kekuasaan pada Arya Kamandanu yang adalah musuhnya seorang.
Kamandanu telah menjadi salah satu elit kerajaan Majapahit, yang tentu saja dalam konstruksi pikiran seperti mewakili keseluruhan kerajaan Majapahit. Celakanya, representasionalisme—atau paham yang menempatkan istilah, kata-kata, simbol, sebagai cerminan dari kenyataan—dipeluk erat oleh masyarakat Majapahit, dan bahkan pun hingga kini ketika positivisme sudah menjadi barang usang di dalam jagat epistemologi kontemporer.
Maka, dengan satu sentakan pada Kamandanu seorang, yang adalah musuh bebuyutan sang Pendekar Syair Berdarah, seolah goyahlah jalannya kekuasaan kerajaan Majapahit. Banyak elit kerajaan, dan banyak rakyat pun, langsung menuding tokoh-tokoh yang dianggap berseberangan dengan sang raja Majapahit seperti Mpu Tong Bajil.
Demikianlah, betapa lihainya sang Pendekar Syair Berdarah, yang jelas-jelas hanya seorang diri, mampu menyentak jalannya kekuasaan kerajaan Majapahit. Dalam upaya penggoyahannya itu, ia hanya memanfaatkan sisi lemah Arya Kamandanu seorang. Namun, politik representasi yang otomatis bercokol kuat dalam kehidupan politik Majapahit akhirnya mengakibatkan tersendatnya atau bahkan terjedanya kehidupan bernegara Majapahit.
Heru Harjo Hutomo
Foto : Ilustrasi Peran Arya Kamandanu di Serial Tutur Tinular (sumber : wartakotalive.com)
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid