Pelajaran Bagi Pemenang Pemilu

Ada pelajaran penting yang dilupakan oleh Joko Widodo (Jokowi) maupun PDI Perjuangan saat memenangkan Pemilihan Umum: memenangkan pemilu belum berarti memenangkan kekuasaan.

Kelupaan tersebut membuat Jokowi/PDIP khilaf. Begitu memenangkan pemilu legislatif tahun 2014, PDIP langsung mewacanakan “koalisi ramping”. Koalisi semacam itu, kata sejumlah petinggi partai berlambang banteng itu, dimaksudkan untuk mencegah politik ‘dagang sapi’ alis bagi-bagi jatah kekuasaan.

Begitu juga dengan Jokowi. Ia menjadi dirigen dari paduan suara yang menyuarakan koalisi ramping. Bahkan, saking percaya dirinya, Jokowi mengharuskan setiap partai politik yang hendak merapat ke dalam koalisinya harus menerima prinsip “koalisi tanpa syarat”.

Syukurlah, koalisi ramping itu berhasil menghantarkan Jokowi-JK sebagai pemenang Pemilu Presiden (Pilpres) 2014. Namun, harus digaris-bawahi bahwa kemenangan pemilu hanya mengantarkan Jokowi-JK memenangkan kekuasaan pemerintahan (kekuasaan ekskutif).

Pada kenyataannya, kekuasaan negara itu sangat luas. Tidak hanya kekuasaan eksekutif, tetapi juga ada kekuasaan legislatif dan yudikatif. Juga ada Angkatan Bersenjata/Kepolisian, kepala-kepala daerah (Provinsi dan kotamadya/kabupaten, dan lembaga-lembaga negara lainnya. Kemudian, di samping kekuasaan yang terselip di lembaga formal negara itu, ada juga kekuasaan lain, seperti kapital, media, dan lain-lain.

Di sisi lain, Jokowi-PDIP harus menyadari dua hal penting. Pertama, untuk mengefektifkan penggunaan kekuasaan negara guna mencapai tujuan politiknya, Jokowi-PDIP harus memastikan semua aspek kekuasaan negara dan instrumen berada di bawah kendalinya. Kedua, Jokowi-PDIP berkuasa melalui jalur elektoral, sebuah proses peralihan kekuasaan secara damai, dimana ia masih mewarisi mesin kekuasaan negara lama: aparatus, aturan main/regulasi, mentalitas, dan lain sebagainya.

Pada kenyatannya, PDIP tidak begitu berkuasa di parlemen. Partai ini hanya merebut 109 kursi dari 560 kursi legislatif. Sementara koalisi ramping yang diusungnya, yakni Koalisi Indonesia Hebat (KIH), hanya merebut 207 atau 37% dari total kursi legislatif. Alhasil, mereka gagal membentuk kekuatan mayoritas di parlemen. Padahal, untuk mengamankan program pemerintahan Jokowi-JK, PDIP dan koalisinya mestinya menjadi kekuatan mayoritas di parlemen.

Strategi ‘koalisi ramping’ mungkin bisa membuat Jokowi-JK tidak begitu tersandera oleh politik transaksional (politik dagang sapi). Namun harus juga di sadari, di sisi yang lain, koalisi ramping juga membuat Jokowi-JK hanya menjadi kekuatan minoritas di parlemen. Dan hal itu, tentu saja, cukup merintanginya dalam menjalankan agenda politik pemerintahannya.

Buah pahit dari stategi koalisi ramping ini terasa juga akhirnya: hampir semua pertarungan politik di parlemen gagal dimenangkan oleh KIH. Mereka kalah telak lima kali berturut-turut:  pengesahan UU MD3, pembahasan tata tertib pimpinan DPR, pengesahan UU Pilkada, pemilihan pimpinan DPR, dan terakhir pemilihan pimpinan MPR. Dan cerobohnya lagi, karena selalu gagal dalam pertarungan di parlemen, KIH kemudian membentuk ‘parlemen tandingan’. Persis dengan kata peribahasa: buruk muka cermin dibela!

Beruntung, PPP menyeberang ke koalisi mereka. Namun, hal tersebut tidak begitu signifikan mengubah keadaan. Yang cukup ironis, untuk mengubah imbangan kekuatan di parlemen, PDIP dan Jokowi berusaha menggerogoti kekuatan politik lawannya. Jalan yang ditempuh pun terbilang kasar, yakni memecah-belah kepemimpinan partai politik pendukung koalisi lawannya.

Kemudian, mereka juga mewarisi mesin kekuasaan lama. Sebagaian besar institusi/lembaga negara masih berisikan orang-orang lama, dengan mentalitas dan cara berpikir lama. Tak mengherankan, untuk mengatasi persoalan tersebut, berhembus kabar angin mengenai pembersihan orang-orang lama di sejumlah institusi negara.

Yang terhangat: isu pembersihan ‘orang-orang SBY’ di tubuh kepolisian. Ini terkait dengan pergantian mendadak Kapolri baru-baru ini. Kapolri yang lama, Jenderal Pol Sutarman, dianggap orang SBY. Sedangkan Kapolri baru yang ditunjuk oleh Jokowi, Komjen Budi Gunawan, dipersepsikan dekat dengan Megawati. Isu ini berhembus kencang setelah dicuitkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melalui akun twitternya.

Pembersihan ‘orang-orang lama’ dalam politik merupakan hal yang lumrah. Hanya saja, yang patut diperhitungkan adalah soal perimbangan kekuatan politik. Ini penting untuk melihat besar-kecilnya potensi resistensi dari kekuatan politik dari ‘orang-orang lama’ yang bakal disingkirkan. Tentu saja, jika pemerintah berkuasa dan lapisan pendukungnya unggul dalam perimbangan kekuatan politik tersebut, maka potensi resistensi dari ‘orang-orang lama’ bisa diperkecil. Namun, jika yang terjadi sebaliknya, maka resistensi dari ‘orang-orang lama’ itu bisa cukup besar, apalagi jika bergandengan dengan kekuatan politik oposisi.

Politik adalah seni membangun kekuatan untuk merebut dan mengoperasikan kekuasaan. Soalnya bukan hanya memenangkan pertarungan pemilu, tetapi juga soal kemampuan mengoperasikan kekuasaan secara efektif. Dan, untuk itu, ia harus mendapat dukungan kuat dari suprastruktur politik (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) maupun infrastruktur politik (partai politik, organisasi massa, tokoh/elit politik, media massa, dan lain-lain).

Kemenangan elektoral memang pertanda dari dukungan massa rakyat yang luas. Namun demikian, dukungan massa yang luas itu belum tentu bisa dikonversi menjadi infrastuktur politik yang efektif untuk mempengaruhi proses pengambilan kebijakan politik pada wilayah suprastruktur politik. Karena itu, bagi pemenang pemilu, penting sekali untuk mengubah dukungan politik elektoral itu menjadi organisasi politik permanen. Tidak sekedar menjadi kelompok penekan (pressure group).

Rudi Hartono, Pimred Berdikari Online

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid