Minggu pertama bulan Juli ini diwarnai dengan hujan kritik yang menghunjam Bolivia dan Vatikan. Pemicunya adalah sebuah hadiah dari Presiden Bolivia, Evo Morales, kepada Paus Fransiskus. Hadiah tersebut berupa salib berbentuk palu-arit.
Kejadian tidak biasa itu langsung mengundang reaksi keras, terutama dari kaum konservatif dan anti-komunis. Betapa tidak, palu arit sudah terlanjur dianggap sebagai simbol komunis. Sementara, bagi mereka, komunisme adalah ajaran politik yang anti-Tuhan. Cara pandang sempit ini dipeluk erat-erat oleh tidak sedikit pengikut jalan Tuhan di muka bumi ini.
Jose Ignacio Munilla, seorang uskup di Spanyol, berkicau melalui akun Twitternya: “Arogansi yang besar adalah memanipulasi Tuhan untuk ajaran ideologi atheis.” Sedangkan Uskup Bolivia, Gonzalo del Castillo, menyebut hadiah itu sebagai sebuah provokasi dan gurauan. Dan Vatikan harus turun tangan untuk meluruskan kehebohan tersebut.
Tetapi Paus Fransiskus sendiri mengaku tidak tersinggung dengan hadiah dari Presiden berhaluan kiri itu. Ia menganggapnya sebagai sebuah bentuk karya seni protes. “Aku memahami karya ini. Dan bagiku itu bukan pelanggaran,” katanya kepada pers saat perjalanan kembali ke Roma, Italia, Senin (13/7/2015).
Untuk meredam polemik itu, pemerintah Bolivia turut angkat bicara. Menteri Komunikasi Bolivia, Marianela Paco, menyangkal adanya motif politik dibalik hadiah itu. Menurutnya, hadiah itu merupakan penghormatan atas sokongan Paus terhadap kaum miskin.
“Arit melambangkan petani, palu bagi tukang kayu, mewakili pekerja sederhana, umat Tuhan,” kata Marianela Paco. Dia menambahkan, “Itu (hadiah) benar-benar dibuat dari kasih sayang, sebuah karya yang dirancang oleh tangan Luis Espinal.”
Luis Aspinal adalah seorang iman Yesuit. Dia dilahirkan di Spanyol tahun 1932. Usia 16 tahun, dia dikirim untuk menjalankan misi di Bolivia. Kemudian, pada tahun 1971, dia mendapat status sebagai warga negara Bolivia.
Luis Aspinal dikenal sebagai penyokong teologi pembebasan. Dia terpengaruh oleh marxisme dan bersimpati dengan cita-cita komunisme. Selain menjadi pelayan Tuhan, Aspinal juga menjadi pelayan kaum miskin. Ia aktif membela hak-hak kaum tertindas, menentang korupsi, dan kediktatoran.
Di tahun 1970-an hingga 1980-an, Bolivia dinaungi oleh rezim diktator. Salah satunya adalah diktator Luis Garcia Meza. Saat itu, Aspinal mengambil posisi menentang kediktatoran. Tidak berhenti di situ, dia juga getol mengeritik posisi geraja yang konservatif dan tidak membela rakyat. Lantaran sikap politiknya itu, pada suatu malam di bulan Maret 1980, Aspinal diberondong dengan peluru tajam oleh pasukan pembunuh rezim Garcia Meza.
Paus Fransiskus sendiri menghormati Luis Aspinal. Begitu tiba di La Paz, Ibukota Bolivia, Rabu (8/7/2015), Paus menyempatkan diri berdoa di tempat mayat Luis Espinal ditemukan. “Dia memberitakan injil dan injil marah (Rezim Garcia Meza) sehingga membunuhnya. Mari semenit dalam keheningan doa dan kemudian berdoa bersama,” ujar Paus Fransiskus.
Evo Morales sendiri sangat mengapresiasi Paus Fransiskus. Ia memujinya sebagai “Paus Kaum Miskin”. “Paus selalu disisi kaum yang terpinggirkan, terkecualikan, dan kaum miskin. Oleh karena itu, Paus akan selalu di sisi rakyat yang sedang dalam proses pembebasan,” ujar Presiden keturunan pribumi pertama di Bolivia tersebut.
Lahir dengan nama Jorge Mario Bergoglio, anak dari keluarga imigran dari Italia, dikenal dengan gaya hidupnya yang sederhana dan merakyat. Dia hidup berbaur dengan rakyat kebanyakan. Kemana-mana ia menggunakan transportasi umum; berimpit-impitan dengan orang banyak di atas bus atau kereta bawah tanah. Dia juga memilih tinggal di sebuah aparatemen sederhana dan memasak sendiri makanannya.
Setelah menjadi Paus, Bergoglio memilih nama Fransiskus. Ia mengikuti jalan Santo Fransiskus Asisi (1181-1226): hidup sederhana, menyapa siapapun, peduli dengan kaum miskin, dan pelindung lingkungan hidup. Dia mendorong dialog dengan pemeluk agama lain, khususnya Islam dan Yahudi. Paus pertama dari Jesuit ini juga tidak menistakan kaum atheis. Yang juga penting, ia juga membuka pintu bagi teologi pembebasan, yang dimasa Paus-Paus sebelumnya dianggap bid’ah.
Paus Fransiskus juga getol melabrak kapitalisme. Ia menyebut kapitalisme sebagai tirani baru. Tak hanya itu, ia mengutuk pemujaan uang dan kepalsuan teori “trickle-down effect” (efek menetes ke bawah). “Tidak cukup dengan membiarkan beberapa (kekayaan) menetes ke bawah, sementara si miskin menggoyang gelas itu tetap tidak bisa menetes ke bawah dengan sendirinya,” kata Paus.
Dia menegaskan, model ekonomi yang mencari keuntungan dan konsumsi yang sebesar-besarnya, dan mendorong kompetisi dengan segala biayanya, terbukti gagal memenuhi kebutuhan dasar banyak orang dan menabur keresahan sosial. Ia khawatir dengan meningkatnya ketimpangan akibat ketidakadilan ekonomi global dan pasar yang tidak terkontrol.
Sebagai jalan keluarnya, ia berseru kepada para politisi untuk memerangi penyebab struktural dari ketimpangan dan berusaha menyediakan pekerjaan, kesehatan, dan pendidikan untuk seluruh rakyatnya.
“Bagaimana ini tidak menjadi berita ketika seorang tunawisma tua meninggal dunia karena kelaparan, sedangkan yang jadi berita adalah ketika pasar kehilangan dua poin,” sindir Paus.
Lebih lanjut, Paus Fransiskus juga menentang kolonialisme. Dia bilang, kolonialisme baru atau neokolonialisme mengambil beragam bentuk. Pada saat sekarang, kata dia, itu mengambil bentuk dalam kekuatan uang, pinjaman uang atau utang, perjanjian perdagangan bebas, dan kebijakan penghematan yang mengencangkan ikat pinggang kaum buruh dan rakyat miskin.
Tak pelak lagi, lantaran kritik-kritiknya itu, banyak yang mengcap Paus Fransiskus sebagai marxis. Stephen Moore, pakar ekonomi di Heritage Foundation dan penganut Katolik, menuduh terang-terangan Paus Fransiskus sebagai marxis. “Saya rasa Paus ini cenderung berhaluan pada ajaran Marx. Itu tidak diragukan dan dia sangat vokal atas kritikannya mengenai kapitalisme dan pasar bebas…saya sangat terganggu oleh itu,” katanya seperti dikutip Ed Stourton di BBC, Senin (8/6/2015).
Seorang pemandu acara diskusi radio dan komentator politik AS, Rush Limbaugh, juga melemparkan tuduhan yang sama. Tokoh konservatif AS tersebut menganggap pemikiran ekonomi Paus sangat murni marxisme.
Tetapi Paus Fransiskus menampik tudingan itu. Melalui wawancaranya dengan harian Italia, La Stampa, Paus menolak dakwaan marxis atas dirinya. Dia hanya bilang, “Ideologi Marxis itu salah. Namun, saya telah bertemu banyak orang Marxis dalam hidup saya yang adalah orang-orang baik, jadi saya tidak merasa tersinggung… tidak ada nasihat yang tidak dapat ditemukan dalam ajaran sosial gereja.”
Tetapi, ya, begitulah dunia kita hari ini. Termasuk di negeri kita, Indonesia. Orang begitu gampang dipaksa berhenti bersuara keras dan bertindak radikal hanya dengan tudingan marxis atau komunis. Tuduhan marxis atau komunis adalah teror menakutkan: anda bisa tercampakkan secara sosial, kehilangan pekerjaan, dicap atheis, dan lain sebagainya.
Di Indonesia lebih parah lagi. Imajinasi rakyat Indonesia tidak bisa berkembang bebas, keluar dari alam kolot dan keterbelakangan, lantaran selalu dikurung dalam penjara teror phobia terhadap marxisme dan komunisme. Sampai-sampai, meskipun PKI dan komunisme sudah terkubur sejak 50 tahun lampau, tetapi arwahnya yang gentayangan terus dianggap sebagai dalang dari segala bencana dan kerusakan di negeri ini.
Raymond Samuel
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid