Para Pewarta Proklamasi Kemerdekaan

Esensi proklamasi adalah pengumuman. Namun, apalah artinya pengumuman itu jika tak terdengar oleh seantero negeri dan dunia.

Di masa jauh sebelum orang mengenal telpon genggam, whatsaap, telegram, dan media sosial, bagaimana kabar proklamasi terwartakan?

Sementara saluran-saluran utama informasi kala itu, terutama koran dan radio, masih berada di bawah kendali pemerintahan militer Jepang. Kalau pun ada koran dan radio tanpa kontrol Jepang, itu beroperasi bawah tanah.

Bagaimana berita Proklamasi tersebar?

Mari kita mulai dari tukang potretnya dulu. Sebab, seperti kata-kata anak-anak zaman sekarang, “no picture: hoax.” Tanpa foto-foto dokumentasi, mana mungkin orang mau percaya.

Pagi buta, 17 Agustus 1945, dua bersaudara asal tanah Minahasa, Frans Mendur dan Alex Mendur, sudah mengendap-endap mendekati rumah Sukarno di Pegangsaan Timur nomor 56, tempat Proklamasi sedianya akan dibacakan.

Pagi-pagi, pukul 10.00 WIB, Proklamasi dibacakan oleh Sukarno, didampingi Mohammad Hatta. Frans dan Alex adalah satu-satunya pewarta foto yang hadir di tengah peristiwa bersejarah itu.

Mereka berhasil mengambil tiga gambar. Usai upacara Proklamasi, keduanya langsung buru-buru meninggalkan lokasi. Sebab, tentara Jepang mengincar hasil jepretan mereka.

Nahas, Alex Mendur ketangkap Jepang. Foto-foto di tangannya di sita oleh Jepang. Beruntung, Frans Mendur berhasil menyelamatkan negatif fotonya. Dia berhasil mengubur negatif fotonya di halaman kantor harian Asia Raya.

Meski negatif foto selamat, tapi tak muda untuk mencetaknnya. Butuh sekitar 6 bulan pasca Proklamasi, barulah negatif foto dicetak dan dipublikasikan di halaman muka Harian Merdeka.

//

Sekarang, kita perlu mengenang sosok anak muda dari Nusa Tenggara Timur (NTT), Riwu Ga.

Riwu Ga adalah anak seorang petani di Pulau Sabut. Dia berjumpa dan berkenalan dengan Bung Karno saat sang Proklamator menjalani pembuangan di Ende, Flores, tahun 1934.

Saat itu, Bung Karno menjadikan Riwu sebagai anak angkatnya. Saat Bung Karno dipindahkan ke Bengkulu, lalu ke Jakarta, Riwu turut menyertainya.

Hingga datanglah peristiwa bersejarah itu: Proklamasi Kemerdekaan. Usai upacara Proklamasi, Bung Karno meminta Riwu Ga untuk berkeliling Jakarta, sambil mengibarkan bendera merah-putih dan mengabarkan Proklamasi Kemerdekaan.

“Sebarkan kepada rakyat Jakarta, kita sudah merdeka. Bawa bendera,” pinta Bung Karno kepada Riwu.

Riwu menganggupinya. Ditemani oleh Sarwoko, adiknya Mr Sartono, kawan seperjuangan Sukarno di PNI dan Partindo yang kelak menjadi Ketua DPR pertama, Riwu Ga berkeliling Jakarta.

Ia menumpangi mobil Jip yang dikemudikan Sarwoko. Dari atas mobil jip, sembari mengibarkan merah-putih, dia berteriak: “Rakyat Indonesia sudah merdeka. Kita sudah merdeka, merdeka, merdeka!”

Mobil jip yang ditumpangi Riwu Ga dan Sarwoko melaju dari jalan Pegangsaan Timur menuju Tanah Abang, Pasar Baru, Senen, Jatinegara, dan beberapa titik lain di berbagai sudut kota Jakarta.

//

Sekarang, kita bicara pewartaan proklamasi lewat salah satu alat komunikasi terpenting di masa itu: radio.

Sebelum datangnya Jepang, radio sudah berkembang di Hindia Belanda, bahkan kaum bumiputera punya perkumpulan yang menjalankan radio independen.

Namun, begitu Jepang berkuasa, semua siaran radio dikendalikan pemerintah Jepang. Dan dinaungi oleh sebuah jawatan bernama: Hoso Kanri Kyoku. Jadi, hingga Proklamasi Kemerdekaan, hanya satu siaran radio.

Adam Malik, aktivis pemuda kala itu yang kala itu bekerja di Kantor Berita Domei (sekarang Kantor Berita Antara), menulis surat berisi salinan teks proklamasi ke sejumlah jurnalis dan pekerja radio.

Surat itu kemudian diantarkan oleh Sjahruddin, seorang wartawan muda di kantor berita Domei, kepada pemuda Indonesia yang bekerja di Hoso Kanri Kyoku: Joesoef Ronodipoero dan Bachtiar Loebis.

Saat itu, kantor Hoso Kanri Kyoku sudah dijaga ketat tentara Jepang. Joeseof sendiri tak tahu situasi yang terjadi di luar, termasuk tentang Proklamasi.

Namun, begitu menerima surat dan salinan Proklamasi dari Adam Malik, Yoesoef pun bertindak. Pada 17 Agustus malam, tepat pukul 19.00 WIB, suara Yoesoef menggema lewat radio mengabarkan Indonesia sudah merdeka, lalu ditutup dengan pembacaan teks proklamasi.

Tak hanya berbahasa Indonesia, Yoesoef juga membaca teks Proklamasi menggunakan bahasa Inggris. Sehingga berita kemerdekaan Indonesia menyebar ke luar negeri, seperti Singapura hingga Eropa.

Jepang marah besar. Joesoef dan Bachtiar diinterogasi dan disiksa oleh tentara Jepang. Mereka nyaris mati ditebas samurai. Beruntung, meski sudah babak belur dan berdarah-darah, nyawanya masih tertolong.

//

Surat dan salinan teks Proklamasi dari Adam Malik juga dikirim ke kantor berita Domei.

Dalam versi sejarah LKBN Antara, usai proklamasi kemerdekaan itu, Adam Malik menelpon orang di kantor berita Domei. Orang yang menerima telponnya bernama Asa Bafaqih.

Kepada bafaqih, Adam mengabarkan tentang proklamasi kemerdekaan. Selain itu, ia mendiktekan teks proklamasi yang dibacakan Sukarno kepada Asa.

Lalu, Adam meminta Asa menyampaikan salinan teks proklamasi itu kepada Pangulu Lubis, seorang wartawan kantor berita Domei, untuk disiarkan.

Oleh Pangulu Lubis, salinan teks proklamasi itu diselipkan dalam di dalam berita-berita yang sudah mendapat persetujuan Hodohan (departemen penerangan Jepang), lalu diteruskan kepada Markonis Soegirin dan markonis Wua untuk disiarkan. Sementara markonis Soegiarin mengawasi proses siaran , maka markonis Wua yang menyiarkan berita proklamasi itu.

Singkat cerita, warta proklamasi yang disiarkan oleh markonis Wua menyebar ke seantero negeri dan negara-negara lain.

Kejadian itu membuat marah Jepang. Kempetai kemudian memaksa Domei membuat siaran “ralat”, yang menyebut berita proklamasi itu tidak benar. Soegirin sendiri diciduk, lalu dibawa ke markas Kempetai.

Beberapa surat-kabar ikut menyiarkan berita Proklamasi sehari kemudian, seperti Soeara Asia di Surabaya dan Tjahaya di Semarang. Baru pada 20 Agustus 1945, hampir semua surat kabar di Jawa mewartakan Proklamasi ke seluruh pembacanya.

//

Ada satu lagi pewarta proklamasi kemerdekaan yang tak boleh dilupakan: seniman.

Pada hari Proklamasi, Basuko Resobowo dan kawan-kawan membuat aksi mural di sejumlah titik di Jakarta untuk mengabarkan kemerdekaan. Ia terinspirasi oleh pelukis Meksiko, Diego Rivera, yang melakukan aksi mural di tembok-tembok.

Dia juga membuat mural di trem dan kereta api, termasuk kereta api yang menuju Surabaya. Selain itu, para seniman juga membuat poster dan famplet.

Selain aksi mural, seniman lain juga mengabarkan Proklamasi lewat lagu-lagu. Seperti yang dilakukan Husein Mutahar, dia menciptakan lagu “Syukur” dan “Hari Merdeka”.

//

Selain cara-cara di atas, warta proklamasi juga dikabarkan lewat sosialisasi dari mulut ke mulut hingga rapat umum. Untuk luar Jawa, beberapa kurir dan tokoh ditunjuk sebagai pembawa informasi, seperti Teuku Mohammad Hassan di Aceh, Sam Ratulangi di Sulawesi, Ketut Pudja ke Sunda Kecil dan Bali, lalu Anang Abdul Hamidan ke Kalimantan.

Demikian, perjuangan susah payah untuk mengabarkan Proklamasi kepada seluruh bangsa Indonesia dan seluruh dunia. Merdeka!

MAHESA DANU

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid