Pangeran Charles Dan Privatisasi Hutan Di Jambi

Putra mahkota kerajaan Inggris, Pangeran Charles, diduga memiliki hutan seluas 101 ribu hektar di Jambi dan Sumatera Selatan. Hutan tersebut dikelola oleh PT. Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI).

“Pengelolaan hutan tersebut dibiayai perkumpulan para pangeran pencinta burung yang ada di dunia, termasuk Pangeran Charles,” kata Ketua Serikat Tani Nasional (STN), Yoris Sindhu Sunarjan, di Jakarta, Minggu (2/12).

Menurut Yoris, dulunya kawasan itu bekas Hutan Produksi. Lalu, sejak tahun 2005, lahan itu sudah dicadangkan untuk restorasi ekosistem. Ini diperkuat dengan keluarnya SK Peraturan Menteri No. 83/Menhut-II/2005.

Total luas wilayah yang dicadangkan untuk restorasi itu sebanyak 101 ribu hektar. Sebanyak 49.498 ha terletak di wilayah Jambi, sedangkan  51.857 ha berada di wilayah Sumsel.

Pada tahun 2008, wilayah tersebut mulai dikembangkan sebagai hutan restorasi oleh Harapan Rainforest. Tahun itu juga, tepatnya 2 November 2008, Pangeran Charles melakukan kunjungan ke hutan harapan.

Banyak pihak menuding, kunjungan Pangeran Charles itu merupakan bentuk tekanan agar pemerintah Indonesia segera memberikan pengelolaan Hutan Harapan kepada PT. Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI).

Dan benar saja, pada bulan Mei 2010, PT. REKI resmi mendapat ijin pengelolaan dari pemerintah melalui  Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) bernomor 327/Menhut-II/2012 pada 25 Mei 2010. SK tersebut memberi kekuasaan kepada PT.REKI menguasai hutan itu selama 100 tahun.

Namun, kehadiran PT. REKI ini sekaligus bencana bagi rakyat setempat. Jauh sebelum kedatangan PT. REKI, rakyat setempat sudah memanfaatkan sebagian kawasan hutan tersebut.

Ketua STN Jambi Utut Adianto menjelaskan, kawasan itu pernah dibiarkan cukup lama terlantar dan tidak dikelola perusahaan. Akhirnya, pada tahun 2001, masyarakat mulai mengelola sebagian kawasan itu.

“Sebagian ditanami sawit, karet, palawija, dan lain-lain. Pengambil-alihan lahan itu bertepatan dengan program pembaruan agraria pemerintahan Gus Dur, khususnya pemanfaatan lahan terlantar,” kata Utut.

Masyarakat inilah yang dituding oleh PT. REKI sebagai perambah hutan atau melakukan pembalakan liar. Ironisnya, media massa turut berkoar-koar menuding masyarakat sebagai perambah hutan tanpa melihat kondisi di lapangan.

“Kehadiran masyarakat jauh lebih dulu dibanding PT. REKI. Masyarakat sudah mengelola itu tahun 2001, sedangkan ijin PT. REKI baru pada tahun 2010. Artinya, PT. REKI lah yang merampas hak-hak rakyat,” tuding Utut.

Tak hanya itu, kata Utut, di kawasan itu sudah terbentuk dusun secara resmi. Salah satunya adalah Dusun Kunangan Jaya II yang dihuni oleh 900 keluarga atau sekitar 3.000 jiwa, dan terbagi atas delapan rukun tetangga.

Dusun Kunangan Jaya II juga memiliki jalan poros dan jalan lingkungan dari tanah liat, punya 4 mesjid, 3 mushollah, 2 gereja, dan sebuah sekolah dasar (SD) serta sebuah Madrasah Diniyah.

Lebih jauh lagi, Dusun Kunangan Jaya sudah punya struktur atau apparatur pemerintahan resmi, seperti Kepala Dusun, yang digaji oleh negara. “Apakah warga semacam ini bisa dituding sebagai perambah hutan?” tanya Utut.

Ironisnya, konflik antara PT. REKI dengan rakyat sering disertai kekerasan. Pihak keamanan PT. REKI sering menangkap warga yang memasuki kawasan hutan tersebut.

Privatisasi Hutan

Sekalipun menggunakan dalih “restorasi hutan”, kehadiran PT. REKI sebetulnya tidak terlepas dari kecenderungan kapitalisme global untuk memprivatisasi hutan dan keanekaragaman hayati di dalamnya.

“PT. REKI itu kan mendapat ijin melalui  Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK). Itu kan tidak jauh beda dengan perusahaan komersil lainnya yang juga mendapatkan ijin serupa,” ungkap Yoris.

Menurut Yoris, proyek restorasi hutan di bawah payung PT. REKI itu merupakan bagian dari proyek “reducing emission from deforestation and degradation of forest(REDD)”.  Proyek ini banyak ditentang oleh petani dan masyarakat adat di negara-negara berkembang, seperti di Amerika Latin, Afrika, dan Asia.

“REDD, yang dihasilkan oleh  Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC), adalah proyek kapitalisme global untuk memprivatisasi fungsi hutan, yakni menangkap dan menyimpan karbon, untuk dikomersilkan dalam kerangka perdagangan karbon,” kata Yoris.

Dan, pangeran Charles sangat faham peluang bisnis itu. Saat memberi presidential lecture di Istana Merdeka, 3 November 2008, Pangeran Charles menyampaikan optimismenya mengenai perdagangan karbon.

Pangeran Charles sendiri adalah pemimpin kelompok bisnis di forum perubahan Iklim Uni Eropa (EUCLG). Di dalamnya terdapat kelompok bisnis, seperti Acciona, Alstom, Coca Cola, Deutsche Telekom, Doosan Power Systems, Intel, Kingfisher, Philips, Shell and Unilever. Dan EUCLG ini sangat berkomitmen pada carbon trading.

Tetapi perdagangan karbon memang menggiurkan bagi kapitalis. European Climate Exchange, misalnya, menempatkan nilai karbon pada kisaran 10 sampai 100 dolar AS per ton.

Lantaran itu,  sejumlah institusi internasional seperti Merryl Lynch, Global Environtmental Resources (GER), Ecosecurities, dan Bird Life pernah menyatakan keinginannya untuk membeli kredit karbon yang dihasilkan hutan Indonesia. (Republika)

Dengan demikian, konsep restorasi hutan di Jambi hanya bentuk pengalihan kepemilikan hutan Indonesia, termasuk keanekaragaman hayati di dalamnya, kepada kepentingan bisnis. “Ini jelas-jelas proyek privatisasi hutan. Hutan bukan lagi milik semua orang, tapi milik swasta. Petani dan masyarakat adat pun dilarang memasuki dan memanfaatkan hasil hutan,” tuding Yoris.

Seharusnya, kalau cita-citanya mau memelihara hutan, maka konsep bisnis harusnya dijauhkan. Sebab, kita tahu, nafsu korporasi untuk mengumpulkan keuntungan (profit) telah mendorong dunia dalam krisis ekologi.

Kusno

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid