Bangsa ini pernah melahirkan seorang tokoh yang berani mengorbankan kepentingan pribadinya demi sebuah idealisme dan loyalitas politik. Tokoh tersebut berasal dari etnis Tionghoa. Oei Tjoe Tat, nama tokoh itu.
Loyalis Bung Karno
Lahir di Solo 26 April 1922 dari keluarga Tionghoa kelas menengah. Persentuhannya dengan dunia politik diawali ketika berkawan dengan seorang wartawan di Semarang yang bernama Siauw Giok Tjhan pada akhir dekade 1930-an. Siauw Giok Tjhan inilah yang kelak (bersama Oei Tjoe Tat) menjadi pimpinan Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) yang dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Sejak di Semarang ini pula ia aktif menyokong Tiongkok untuk melawan agresi Jepang dengan mengumpulkan dana untuk Fonds Tiongkok.
Pengalaman berorganisasinya dimulai ketika ia bergabung dengan Serikat Rakyat dan Buruh Surakarta yang berhaluan kerakyatan di masa revolusi kemerdekaan. Ia juga aktif di beberapa organisasi Tionghoa. Di tahun 1946, bergabung dengan Sin Ming Rui dan menjadi Ketua Umum selama 4 periode (1950-1954). Ia juga menjadi Wakil Ketua Persatuan Tionghoa dan Partai Demokrasi Tionghoa Indonesia (PDTI). Pada tahun 1954, Oei ikut mendirikan Baperki dan menjadi anggota fraksi Baperki di Konstituante. Baperki merupakan organisasi yang keanggotaannya didominasi warga etnis Tionghoa.
Sebagai pimpinan Baperki, bersama dengan Siauw Giok Tjhan dan Yap Tiam Hien, Oei menjadi salah satu penentang asimilasi. Definisi asimilasi adalah penyatuan antara dua etnis dengan menghilangkan seluruh identitas kultural dari salah satu etnis. Dalam konteks ini, etnis Tionghoa diharuskan menghilangkan seluruh identitas ke-Tionghoaan-nya untuk kemudian bergabung dengan kebudayaan mayoritas rakyat Indonesia.
Konsep asimilasi ini banyak didengungkan berbagai pihak sebagai solusi penyelesaian ‘masalah’ minoritas Tionghoa di Indonesia. Beberapa tokoh Tionghoa juga mendukung konsep ini. Mereka adalah Harry Tjan Silalahi, Kristoforus Sindunata, Ong Hok Ham, serta H.Junus Jahja. Kelompok Tionghoa pro-asimilasi ini mendirikan Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB) di tahun 1963. LPKB ini mendapatkan banyak dukungan, terutama dari kelompok politik kanan dan Angkatan Darat (AD) yang pada umumnya rival politik PKI. Sebagai tambahan, LPKB ini memegang peranan penting dalam perumusan berbagai kebijakan rezim Orde Baru yang diskriminatif terhadap etnis Tionghoa pasca kejatuhan Bung Karno tahun 1966, termasuk kebijakan pelarangan perayaan Imlek, pelarangan agama Kong Hu Chu dan pergantian nama warga Tionghoa.
Oei Tjoe Tat bersama kawan-kawannya di Baperki menolak dijadikannya konsep asimilasi sebagai solusi permasalahan Tionghoa di negeri ini. Oei cs berpandangan bahwa asimilasi tak ubahnya diskriminasi dan tidak sesuai dengan motto Bhineka Tunggal Ika yang mengakui keberagaman berbagai etnis di nusantara berikut segala ‘pernak-pernik’ kulturalnya. Sebagai ‘tandingan’ dari asimilasi, Baperki mengajukan konsep integrasi demi menciptakan harmoni antara etnis Tionghoa dan etnis lainnya di Indonesia tanpa menegasikan kebudayaan masing-masing etnis.
Pertentangan antara Baperki dan kelompok pro-asimilasi (LPKB) berlanjut dimasa Demokrasi Terpimpin. Nuansa kompetisi politik antar berbagai kekuatan dimasa itu juga berpengaruh pada rivalitas Baperki dan LPKB. Baperki menjadi organisasi yang dekat dengan PKI. Sementara LPKB didukung oleh AD dan kelompok nasionalis kanan.
Bung Karno sendiri tampak lebih sepakat dengan konsep integrasi yang digagas Baperki. Hal ini terlihat dalam pidatonya ketika Pembukaan Kongres Nasional k-8 Baperki. Dalam pidato itu tampak penolakan Bung Karno terhadap konsep asimilasi. Berikut isi pidato beliau :
“ Nama pun, nama saya sendiri itu, Soekarno, apa itu nama Indonesia asli ? Tidak ! Itu asalnya Sanskrit saudara-saudara, Soekarna. Nah itu Abdulgani, Arab, Ya, Cak Roeslan namanya asal Arab, Abdulgani. Nama saya asal Sanskrit, Soekarna. Pak Ali itu campuran, Alinya Arab, Sastraamidjaja itu Sanskrit, campuran dia itu.
Nah karena itu, saudara-saudara pun-ini perasaan saya persoonlijk, persoonlijk, pribadi-what is in a name ? Walau saudara misalnya mau menjadi orang Indonesia, tidak perlu ganti nama. Mau tetap nama Thiam Nio, boleh, boleh saja. Saya sendiri juga nama Sanskrit, saudara-saudara, Cak Roeslan namanya nama Arab, Pak Ali namanya campuran, Arab dan Sanskrit.
Buat apa saya mesti menuntut, orang peranakan Tionghoa yang mau menjadi anggota negara Republik Indonesia, mau menjadi orang Indonesia, mau ubah namanya, ini sudah bagus kok…Thiam Nio kok mesti dijadikan Sulastri atau Sukartini. Yah, tidak ?
Tidak ! Itu urusan prive. Agama pun prive, saya tidak campur-campur.Yang saya minta yaitu, supaya benar-benar kita menjadi orang Indonesia, benar-benar kita menjadi warganegara Republik Indonesia..”
Pemikiran Bung Karno itulah yang membuat Oei memilih Partai Indonesia (Partindo) yang berazaskan Marhaenisme ajaran Bung Karno sebagai wadah perjuangan politiknya di tahun 1960. Oei Tjoe Tat juga memimpin Gerakan Tani Marhaen ditahun 1961. Pilihan politik ini juga mengantarkan ia ke posisi Menteri Negara diperbantukan dalam Presidium Kabinet Kerja ditahun 1963.
Dalam buku Memoar Oei Tjoe Tat, Pembantu Presiden Soekarno (Hasta Mitra, 1995) yang ditulis sendiri oleh Oei , ia bercerita tentang ‘interview’ nya dengan Bung Karno ketika dipanggil ke Istana Bogor. Ia sama sekali tidak tahu tujuan Bung Karno memanggil dirinya. Saat itu Bung Karno mengujinya dengan beberapa pertanyaan mengenai loyalitas Oei sabagai kader Partindo terhadap dirinya dan revolusi nasional. Hingga akhirnya Bung Karno menunjuk Oei sebagai Menteri Negara diperbantukan dalam Kabinet Kerja. Oei yang awalnya sangat terkejut dengan keputusan Bung Karno itu, akhirnya menerima amanat tersebut.
Ada hal menarik yang diceritakan Oei , ketika ia menanyakan perihal keharusan ganti nama bagi dirinya pada saat telah menjabat Menteri. Bung Karno pun marah mendengar pertanyaan itu. Bung Karno malah berkata bila Oei sampai merubah nama ‘Tionghoa’nya hanya karena jadi Menteri, maka itu pertanda bila Oei tidak menghormati lagi orang tuanya yang telah memberikan nama tersebut. Meskipun ‘dimarahi’, namun Oei justru bertambah kagum pada Bung Karno, karena ‘omelan’ itu menunjukkan bahwa Bung Karno bukanlah seorang rasis atau asimilasionis.
Oei Tjoe Tat pun menjadi orang kepercayaan Bung Karno. Ketika Bung Karno mengadakan konfrontasi dengan Malaysia tahun 1964, Oei mendapat instruksi dari Bung Karno untuk menjalankan misi intelijen di Malaysia. Oei pun menerima tugas tersebut. Ia bekerja layaknya agen rahasia guna menyelidiki secara mendalam kekuatan musuh dan situasi di perbatasan.
Ketika konfrontasi dengan Malaysia masih berlangsung, terjadi peristiwa Gerakan Satu Oktober (Gestok) 1965 yang akan merubah wajah Indonesia. Meletusnya tragedi Gestok 1965 berakibat pada pembantaian massal para simpatisan PKI dan Bung Karno. Setelah meluasnya pembantaian massal tersebut, Oei Tjoe Tat menjadi anggota fact finding comission yang dibentuk Bung Karno untuk menginvestigasi jumlah korban jiwa akibat pembantaian tersebut. Laporan resmi komisi tersebut menyatakan bahwa jumlah korban yang hilang dan meninggal dunia adalah 80.000 orang. Namun Oei sendiri tidak yakin dengan jumlah itu. Ia berkeyakinan jumlah korban jauh lebih besar dari itu.
Konsekuensi Sebuah Loyalitas
Loyalitas Oei pada Bung Karno akhirnya menimbulkan konsekuensi yang tidak ringan. Dengan berbekal Surat Perintah 11 Maret (Supersemar), Soeharto menahan Oei Tjoe Tat bersama 14 orang menteri lainnya dalam Kabinet Dwikora yang disempurnakan pada tanggal 12 Maret 1966. Penahanan ini dilakukan sebagai bagian dari upaya de-Soekarnoisasi oleh Orde Baru. Ajaibnya, proses peradilan baru dilaksanakan di tahun 1976, sepuluh tahun setelah penahanan Oei.
Setahun kemudian, Oei dibebaskan setelah muncul desakan dari berbagai pihak termasuk Adam Malik, salah satu petinggi Orde Baru. Oei pun menjalani kehidupan sebagai pengacara, namun tetap dikontrol secara ketat oleh penguasa sebagaimana nasib mantan tahanan politik (tapol) Gestok lainnya di masa Orde Baru. Aktivitas Oei diawasi secara ketat, termasuk aktivitas menulisnya di Surat Pembaca Majalah Tempo pada tahun 1980-an.
Tahun 1992, Oei menderita gangguan prostat dan saluran kemih, sehingga harus menjalani serangkaian operasi di dalam dan luar negeri. Namun, rasa sakit yang dideritanya tidak membuat ia berhenti mengekspresikan loyalitasnya pada Bung Karno dan cita-cita revolusionernya.
Oei menerbitkan memoarnya di tahun 1995. Memoar itu berisi deskripsi Oei mengenai kiprah politiknya selama era Bung Karno, juga berbagai peristiwa yang dialami Oei terkait tragedi 1965. Buku yang diterbitkan Hasta Mitra dan menjadi sumber utama tulisan ini pun mengusik cerita sejarah versi Orde Baru. Pemerintahan Soeharto akhirnya melarang peredaran buku tersebut ditahun yang sama.
Tidak lama setelah pelarangan memoarnya, Oei wafat karena sakit prostat yang dideritanya pada tanggal 26 Mei 1996. Sang pejuang yang penuh loyalitas pun telah berpulang ke alam keabadian. Tidak hanya loyalitas pada Bung Karno, tetapi juga pada etnis Tionghoa yang telah ia bela hak-hak azasinya.
Kiranya, tauladan yang ditunjukkan Oei seumur hidupnya dapat menjadi pembelajaran yang berharga bagi kita semua, khususnya bagi generasi muda Tionghoa mengenai loyalitas terhadap sebuah idealisme. Tahun baru Imlek yang akan dirayakan warga Tionghoa dapat dijadikan momentum untuk tetap berjuang melanjutkan cita-cita Oei yang sejalan dengan cita-cita Bung Karno, yakni terwujudnya masyarakat Sosialis Indonesia yang menghormati kebhinekaan. Semoga berkat doa dan usaha kita semua, cita-cita itu dapat terwujud di Tahun Naga Air ini.
Gong Xi Fa Chai
Hiski Darmayana
Penulis adalah kader GMNI Cabang Sumedang dan alumni FISIP UNPAD*)
- Fascinated
- Happy
- Sad
- Angry
- Bored
- Afraid