Obral Aset Negara di Tengah Bencana

Akhir-akhir ini perhatian dan keprihatinan kita tercurah pada bencana alam yang diderita rakyat Indonesia di berbagai tempat, antara lain, bajir dan longsor di Wasior, tsunami di kepulauan Mentawai, dan lutusan gunung Merapi yang berdampak luas di DIY dan Jawa Tengah. Perhatian dan keprihatinan ini sangat wajar mengingat selain terjadi pada waktu yang relatif bersamaan atau beruntun, kita dihadapkan pada kondisi-kondisi masyarakat pengungsi yang tidak terlayani secara baik oleh pemerintah sebagai penanggungjawab utama dalam memenuhi segala kebutuhan pengungsi, dan tidak ada antisipasi yang memadai terhadap potensi-potensi bencana.

Pada situasi itulah, ketika hati, tenaga, dan pikiran kita memberat pada persoalan bencana, tiba-tiba tersajikan berita bahwa pemerintah telah menjual murah(obral) 20% saham PT. Krakatau Steel (KS), satu-satunya aset nasional pabrik baja. Jadi terdapat dua masalah di sini, yang pertama bersifat substansial yaitu penjualan itu sendiri, dan kedua bersifat lebih ‘teknis’ sehubungan sinyalir bahwa harga jual saham yang sangat murah tersebut merupakan hasil kongkalikong pihak-pihak di sekitar lingkaran kekuasaan. Belum habis keterkejutan pada satu kasus tersebut, pemerintah kembali mengumumkan rencana penjualan sepuluh BUMN lainnya, termasuk perusahaan-perusahaan pabrik gula milik PT. Perkebunan Nusantara.

Menjual aset-aset milik negara (milik rakyat) saat perhatian rakyat tertuju pada bencana adalah wujud kelicikan pemerintahan berkuasa SBY-Boediono melalui Menteri Negara BUMN, Mustafa Abubakar. Tindakan ini tak ubahnya penjaga rumah yang melego isi-isi rumah ketika pemiliknya sedang tertimpa musibah. Apalagi penjualan tersebut tidak menghasilkan keuntungan apa-apa bagi yang empunya, sebaliknya kehancuran-kehancuran ekonomilah yang akan diterima.

Tak pelak lagi, penjualan aset ini merupakan bukti tambahan yang mempertegas orientasi neoliberal yang dipilih pemerintahan SBY-Boediono. Sejumlah argumentasi kuno sebagai alasan privatisasi kembali menggema dalam proses ini, seperti tuntutan manajemen perusahaan yang terbuka dan bisa dipertanggungjawabkan, atau kondisi perusahaan-perusahaan yang merugi. Kita tahu bahwa argumentasi tersebut tidak berdasar, karena solusi terhadap masalah akuntabilitas dan kondisi perusahaan yang merugi bukanlah dengan menjualnya, melainkan dengan memberikan dukungan agar aset negara yang ada menjadi kuat, baik dengan merombak manajemennya maupun dengan dukungan kebijakan ekonomi secara menyeluruh. Alasan ini hanya akan mempermudah privatisasi terhadap seluruh aset nasional yang ada karena kondisi-kondisinya yang payah setelah dikuras oleh kebijakan neoliberal itu sendiri. Sejalan itu berkembang pula perdebatan tentang “harga jual” yang sesungguhnya telah keluar dari substansi “penjualan aset” sebagai tindakan yang salah.

Seluruh aset Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seharusnya, seperti sudah sering dikemukakan, adalah milik 230 juta rakyat Indonesia. Lebih jauh, dengan menyadari kepemilikan oleh rakyat, maka BUMN harus difungsikan untuk mendukung langkah-langkah memajukan perekonomian rakyat, khususnya langkah-langkah industrialisasi nasional. Persyaratan bagi berjalannya industrialisasi nasional antara lain tersedianya industri dasar termasuk di dalamnya industri baja dan industri gula. Produktivitas industri baja maupun gula nasional masih jauh dari mencukupi, atau masih dibutuhkan pembangunan industri sejenis lebih banyak lagi. Tentu saja ini hanya dapat dilakukan oleh sebuah pemerintahan persatuan nasional yang berkarakter mandiri. Karenanya, tanpa meninggalkan perhatian terhadap bencana alam yang terjadi di sekitar kita, kami berpendapat sudah waktunya kita bersatu untuk menuntut pemerintah menghentikan penjualan aset-aset negara.

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid