Menjaga Kesucian Tempat Ibadah Di Tahun Politik

Pemilu 2024 diprediksi berlangsung dengan seru karena calon-calon presidennya baru dan diharap membawa banyak perubahan positif di Indonesia. Sebelum pemilu,  tentu ada masa kampanye untuk memperkenalkan dan mempromosikan calon presiden dan calon legislatif. Masyarakat berharap kampanye berjalan secara tertib dan damai tanpa ada potensi kerusuhan antar pendukung.

Masyarakat, terutama para pemuka agama dan kontestan Pemilu 2024 beserta para pendukungnya, hendaknya  tidak menggunakan rumah ibadah untuk berkampanye. Penggunaan rumah ibadah untuk politik praktis dikhawatirkan justru akan memicu keterbelahan di masyarakat karena biasanya kampanye dilakukan dengan menyanjung atau menjelekkan seseorang termasuk calon kontestan Pemilu.

Pemilu tahun 2024 sudah di depan mata dan masa kampanye sebentar lagi akan dimulai. Masyarakat tengah bersiap menyambut pesta demokrasi tersebut, namun mereka menolak keras kampanye yang diselenggarakan di tempat ibadah karena tidak etis dan melanggar peraturan.

Namun tetap saja ada pendukung caleg (calon legislatif) nakal yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan dengan berkampanye di tempat ibadah. Tindakan ini dikecam oleh masyarakat karena mereka datang untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Tetapi dipaksa untuk mendengarkan ceramah berbalut kampanye caleg yang tidak tahu malu.

Permohonan 

Perjalanan tahapan kampanye Pemilu 2024 ternyata tidak berjalan mulus  sebab Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan anggota DPRD DKI Jakarta dari PDI Perjuangan, Yenny Ong. Alhasil, MK melarang tegas menjadikan tempat ibadah sebagai lokasi kampanye. Pasal yang digugat Yenny Ong adalah Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu yang berbunyi: Pelaksana, peserta, dan tim kampanye Pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.

Adapun bunyi Penjelasan yaitu fasilitas Pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta Pemilu hadir tanpa atribut kampanye Pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan.
Atas permohonan itu, MK mengabulkan dengan melarang kampanye di tempat ibadah.

Pelaksana, peserta dan tim kampanye Pemilu dilarang menggunakan fasilitas Pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan, kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu.

Kampanye memiliki peran penting untuk memajukan kehidupan politik dalam berdemokrasi dengan cara memberikan informasi kepada pemilih, mendorong partisipasi aktif dalam proses pemilu, serta membentuk opini publik terkait dengan berbagai isu politik. Namun, kampanye juga harus dijalankan secara bertanggung jawab agar dapat memastikan proses pemilihan berlangsung secara adil dan transparan.

Terlebih lagi, apabila dikaitkan dalam konteks pemilu sebagai sebuah kontestasi politik maka kampanye (secara pragmatis) bertujuan untuk memenangkan pemilu melalui perolehan suara sebanyak mungkin dari pemilih. Artinya, strategi kampanye yang baik akan berdampak signifikan pada hasil pemilihan dan mendorong kandidat atau partai politik meraih kemenangan. Namun dalam upaya meraih kemenangan dalam suatu kontestasi, kampanye pun berpotensi menimbulkan efek negatif. Misalnya, munculnya polarisasi, diskriminasi dan stereotype, hingga kekerasan politik yang berujung pada perpecahan di masyarakat.

Pendapat MK

Menurut Mahkamah, agar tidak ‘terjerumus’ ke dalam hal-hal tersebut, penting bagi para kandidat, partai politik, media dan masyarakat menjaga kampanye secara bertanggung jawab dan inklusif dengan menjaga kepentingan bernegara yang jauh lebih luas daripada hanya sekadar memenangkan kontestasi pemilu.

Untuk mengurangi potensi negatif kampanye, adanya pembatasan-pembatasan penyelenggaraan kampanye memiliki landasan rasionalitas yang kuat guna menjaga integritas, transparansi, dan keadilan dalam proses politik. Secara a contrario, kampanye yang tanpa pembatasan berpotensi menimbulkan penyebaran informasi palsu, fitnah, atau manipulasi dalam upaya memengaruhi pemilih. Oleh karenanya, pembatasan kampanye dapat membantu mencegah penyebaran informasi yang menyesatkan atau tidak akurat.

Selain itu, dalam perspektif peserta pemilu, pembatasan kampanye membantu  mempertahankan kesetaraan (equality) dalam pemilu, sehingga semua kandidat memiliki peluang yang setara untuk meraih dukungan. Pembatasan kampanye dalam pemilu dapat dilakukan dengan cara membatasi waktu pelaksanaan, media yang digunakan, pendanaan, serta lokasi atau tempat tertentu.

Dalam perkara a quo, isu permohonan utama adalah terkait dengan pembatasan kampanye di lokasi atau tempat tertentu, yaitu fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Menurut Mahkamah, pembatasan kampanye berdasarkan lokasi atau tempatnya adalah didasarkan pada beberapa prinsip penting yang bertujuan untuk menjaga netralitas dan integritas proses pemilu, mencegah gangguan terhadap aktivitas publik pada tempat-tempat tertentu sehingga mampu mempertahankan prinsip keseimbangan dan sekaligus menjaga prinsip netralitas serta untuk menghindari penyalahgunaan penggunaan fasilitas publik.

Bagaimanapun, prinsip keseimbangan mengharuskan adanya keseimbangan antara hak-hak dan kepentingan para kandidat atau partai politik yang berkampanye dengan hak-hak dan kepentingan masyarakat umum serta institusi publik. Sedangkan prinsip netralitas mengharuskan agar beberapa tempat publik tetap netral dari anasir politik praktis guna menjaga adanya kenetralan dalam penggunaan sumber daya publik.

Berpijak pada kedua prinsip tersebut, larangan atau pembatasan beberapa tempat publik untuk tidak boleh digunakan sebagai tempat kegiatan kampanye merupakan keniscayaan dalam penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil

Kondisi ini kemudian menimbulkan multitafsir di kalangan masyarakat sebab pengalaman Pemilu 2019 masih menyisakan polarisasi di tengah masyarakat sebab tempat ibadah dijadikan sebagai panggung dan mimbar oleh para politisi dalam menyampaikan konten kampanye.

Jika kondisi ini tetap akan dilaksanakan dalam kontestasi Pemilu 2024 mendatang maka bukan saja menimbulkan polarisasi akan tetapi berpotensi memantik isu sara yang berkepanjangan sebab dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi boleh menggunakan tempat ibadah asal tidak membawa atribut kampanye atau mendapat izin dari pengurus yang bersangkutan justru akan membuka peluang bagi para calon atau politisi sebagai mimbar bebas dalam melakukan aksi  kampanye tersebut.

Belum lagi dari sisi konten dalam penyampaian visi misi  atau citra diri dalam mengajak calon pemilih. Sementara itu Bawaslu justru mempunyai keterbatasan dalam melakukan penindakan jika memang terbukti menggunakan atribut atau menyampaikan konten ajakan kepada para calon pemilih.

Karena itu perlu adanya forum bersama Bawaslu, KPU dan FKUB serta Pemerintah Daerah untuk merespon putusan MK tersebut  agar langkah – langkah teknis dalam pengaturan kampanye pada tempat ibadah tersebut bisa dilakukan pengaturan dan batasan-batasan dalam penyampaian visi misi dan program dalam melakukan kampanye. Dengan begitu kesucian tempat ibadah tetap terjaga dalam kontestasi Pemilu tahun 2024.  Semoga!

Nasarudin Sili Luli

Penulis adalah Direktur Eksekutif  NSL Consultant Politic Strategic Champaign

Leave a Response