Mengapa DPR Tidak Mengesahkan RUU PKS/TPKS?

Rentetan kasus kekerasan seksual yang terkuak belakangan ini mengeraskan lonceng peringatan darurat kekerasan seksual di Indonesia. Setiap hari ada 35 perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual, kata Deputi V Kepala Staf Kepresidenan RI Jaleswari Pramodhawardani.

Sementara itu, sejak 2016, ada desakan kuat untuk pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual sebagai payung hukum untuk melindungi warga negara dari berbagai bentuk kejahatan seksual.

Sayang seribu kali sayang, meski lonceng peringatan darurat kekerasan seksual berdering kencang, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tetap tutup mata dan telinga. Buktinya, meski RUU PKS sudah bergulir selama 5 tahun dengan setumpuk janji-janji, tetapi belum disahkan juga.

Pada 2 Juli 2020, RUU PKS ditarik dari prolegnas prioritas. Saat itu dijanjikan bahwa RUU PKS akan dibahas di prolegnas 2021 dan dibahas oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR). Faktanya, pada Rapat Paripurna DPR ke-11 kemarin, RUU TPKS gagal disahkan sebagai RUU inisiatif DPR.

Tentu saja, kita pantas marah dan kecewa atas terkatung-katungnya RUU TPKS itu. DPR seakan menganggap tidak penting adanya perlindungan hukum bagi warga negara, terutama perempuan, dari berbagai bentuk kekerasan seksual.

Di sisi lain, pada kasus UU Cipta Kerja, proses legislasinya justru seperti bypass. Bayangkan, UU cipta kerja yang super-gemuk itu, yang merevisi 79 UU dan ribuan pasal, itu bisa dikerjakan oleh DPR hanya 8 bulan (Februari hingga Oktober 2020). Itu pun dikerjakan di tengah puncak pandemi dan gelombang protes masyarakat sipil.

Lalu, mengapa DPR tak kunjung mengesahkan RUU TPKS? mengapa anggota DPR yang perempuan, yang berjumlah 118 orang, tidak bisa membuat gebrakan politik yang memecah kebisuan politik?

Representasi Politik

Setiap kebijakan politik di DPR merupakan hasil pertarungan atau negosiasi antar semua kekuatan politik di dalamnya. Masing-masing kekuatan politik membawa dan memperjuangkan kepentingannya.

Dalam hal ini, kita bicara representasi politik. Sederhananya, representasi politik adalah aktivitas menghadirkan wajah/identitas, opini, dan kepentingan warga negara yang beragam, baik gender, suku, agama, ras, pekerjaan, dan lain-lain.

Faktanya, di DPR kita, representasi berdasarkan gender masih sangat timpang. Hanya 120 orang (20,8 persen) dari 575 orang anggota DPR yang perempuan. 

Kemudian, kalau kita lihat representasi berdasarkan latar belakang sosial dan pekerjaan, berdasarkan penelusuran Tempo dan Auriga Nusantara, sebanyak 262 orang (45 persen) anggota DPR berlatar belakang pengusaha atau pebisnis. 

Sedangkan menurut Marepus Corner, ada 318 orang (55 persen) anggota berlatar belakang pengusaha/pebisnis, 33 (6 persen) dari birokrat, dan 29 (5 persen) dari keluarga elit/dinasti politik.

Melihat konfigurasi politik itu, agaknya sulit berharap ada kebijakan politik DPR yang memihak dan melindungi hak-hak kaum perempuan.

Pertama, representasi politik berkait dengan keberpihakan politik. Representasi di DPR didominasi oleh laki-laki (80 persen). Sebagian besar mereka adalah pengusaha, keluarga elit (dinasti), dan bekas birokrat.

Padahal, menurut UN Equal Opportunities Commission (EOC) pada 2013, persentase 30 persen perempuan di parlemen merupakan jumlah minimal agar mereka bisa mempengaruhi kebijakan. Angka 30 persen dianggap sebagai “angka kritis” untuk keluar dari isolasi politik dan mengubah cara kerja politik.

Sekarang ini, persentase perempuan di parlemen masih di bawah angka kritis. Jumlah perempuan di parlemen tidak cukup signifikan untuk mendobrak konstruksi politik yang sangat maskulin dan patriarkis.

Sudah begitu, berdasarkan data Puskapol UI, dari 118 orang anggota DPR perempuan, sebanyak 41 persen diantaranya berasal dari kekerabatan politik dengan elit. Mereka bagian dari dinasti politik yang mapan.

Ditambah lagi, dari jumlah itu hanya sedikit yang punya agenda politik yang konkret untuk memperjuangkan kesetaraan gender. 

Tentu saja, dengan representasi yang masih di bawah angka kritis, itu pun tak tersatukan dalam sebuah blok politik bersama dengan agenda politik yang jelas, sulit bagi kaum perempuan untuk memenangkan agenda politik yang konkret bagi pemenuhan hak-hak perempuan dan kesetaraan gender.

Memangnya kita tidak bisa menaruh harapan pada politisi laki-laki? Itu hampir mustahil. Pertama, sebagian besar politisi laki-laki masih memegang teguh cara pandang yang patriarkis. Kedua, pengalaman dan kepentingan perempuan seringkali berbeda dengan laki-laki. Dalam banyak kasus, hanya perempuan yang bisa memahami pengalaman dan kepentingan perempuan.

Kedua, posisi gender dan sosial (keberadaan sosial) mempengaruhi sikap dan respon seseorang terhadap keadaan sosial. Ini ada kaitannya dengan sense of crisis

Komposisi DPR sekarang ini, yang didominasi laki-laki dan kalangan elit (dinasti politik, pebisnis, dll), tidak peka dengan situasi darurat kekerasan seksual. Sebab, keadaan itu tidak berhubungan langsung dengan keberadaan dan kepentingannya.

Inilah yang menjelaskan mengapa ada proses yang berbeda terkait sejumlah RUU di DPR. RUU Cipta Kerja, yang ribuan pasal itu, hanya dikerjakan 8 bulan. Revisi UU Minerba hanya butuh waktu 3 bulan. Bahkan revisi UU KPK tak sampai dua minggu.

Bandingkan dengan RUU PKS, yang sudah masuk Prolegnas sejak 2016. Kemudian RUU masyarakat adat sejak 2009. Lalu RUU perlindungan pekerja rumah tangga (PRT) sudah sejak 2004. 

Semua UU yang menyangkut kepentingan pebisnis besar, seperti UU cipta kerja dan revisi UU minerba, bisa diselesaikan dalam waktu singkat. Sementara UU yang dibutuhkan oleh rakyat banyak, seperti RUU PKS, RUU masyarakat adat, dan RUU PRT, nasibnya terkatung-katung.

Hegemoni Konservatisme

Dua dekade pasca reformasi, kita merasakan arus besar konservatisme yang sangat kuat. Fakta itu juga terkonfirmasi oleh sejumlah survei.

Arus besar konservatisme itu terjadi di ruang sosial maupun politik. Secara sosial, konservatisme hadir lewat narasi pengawasan/penegakan moralitas publik, dominasi tafsir agama dalam melihat realitas sosial, anti terhadap keberagaman (seksualitas, agama, ideologi, dan lain-lain), dan lain-lain. Secara politik, konservatisme hadir lewat regulasi yang fokus untuk menertibkan moralitas publik, memperjuangkan teokrasi, menguatnya politik identitas berbasis SARA, dan kebijakan yang mendiskriminasi minoritas (gender, seksualitas, agama, dan lain-lain).

Nah, berhadap-hadapan dengan arus besar konservatisme itu, alih-alih berpegang pada kesepakatan bersama berbangsa yang menjunjung tinggi kesetaraan, persamaan, dan Bhineka Tunggal Ika, partai dan politisi bercap nasionalis justru ikut mengeruk untung dari konservatisme itu.

Seperti temuan Michael Buehler, guru besar ilmu politik di Northern Illinois, partai yang bercap sekuler dan nasionalis, seperti PDIP dan Golkar, justru menjadi motor di balik perancangan, pengesahan, dan penerapan ratusan perda Syariah di seluruh Indonesia.

Dalam kasus RUU TPKS, ada penolakan kuat dari kelompok konservatif, terutama yang berbasis agama. Kelompok konservatif, yang mendaku penjaga benteng terakhir moralitas publik, menuding banyak poin dalam RUU PKS yang berbau liberal, membolehkan seks bebas, merusak kesucian rumah tangga, dan bertentangan dengan norma-norma agama.

Kelompok konservatif, seperti Aliansi Indonesia Cinta Keluarga (AILA) dan Indonesia Tanpa Pacaran, aktif menggalang gerakan penolakan terhadap RUU PKS, mulai dari lobi-lobi, gerilya di media sosial, hingga aksi protes di jalanan.

Melihat reaksi kaum konservatif itu, partai-partai di DPR lebih memilih menyesuaikan diri, bahkan lebih mengakomodir aspirasi mereka. Buktinya, selain mengalami penundaan, RUU PKS juga mengalami banyak perubahan.

Namanya berubah dari RUU penghapusan kekerasan seksual (PKS) menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Definisi kekerasan seksual di RUU TPKS tak lagi memasukkan prinsip consent. Selain itu, jenis-jenis kekerasan seksual yang sebelumnya 9 jenis di RUU PKS hanya menyisakan 4 jenis di RUU TPKS. 

Lalu, mengapa parpol-parpol di DPR takluk pada konservatisme? Sebab, hampir semua parpol di parlemen, sekalipun bercap sekuler dan nasionalis, sebetulnya tidak punya basis ideologi yang jelas. 

Tanpa pijakan ideologi yang jelas, parpol itu bisa berayun kemana saja demi mendulang suara. Meskipun angin konservatisme itu mengganggu kesehatan demokrasi, merusak persatuan bangsa, dan memunggungi cita-cita masyarakat adil dan makmur.

RINI HARTONO, Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Partai Rakyat Adil Makmur (DPP PRIMA)

Sumber foto: twitter @daffaamany

Share your vote!


Apa reaksi Anda atas artikel ini?
  • Fascinated
  • Happy
  • Sad
  • Angry
  • Bored
  • Afraid